Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Stasiun Artikel

Transformasi Delik dalam UU TIpikor

Muhammad Haaziq Bujang Syarif
18
×

Transformasi Delik dalam UU TIpikor

Sebarkan artikel ini
Transformasi Delik dalam UU TIpikor

Latar Belakang

Sebagaimana yang telah dipaparkan pada dua artikel sebelumnya bahwa delik dalam hukum pidana diklasifikasikan menjadi delik formil dan materiil. Pengklasifikasian tersebut bukan sebatas berdampak pada rumusan delik yang berbeda, melainkan juga berdampak pada mekanisme pembuktian. Mekanisme pembuktian sangat bergantung pada rumusan delik dan tidak dapat digeneralisasikan mekanisme pembuktian pada delik yang  berbeda.

Mekanisme pembuktian delik materiil sangat bergantung pada aspek akibat atau dampak sebagai unsur lanjutan dari suatu perbuatan pidana. Tidak terpenuhinya atau tidak dapat dibuktikannya adanya akibat dari suatu perbuatan tersebut, maka perbuatan pidana tersebut dianggap belum selesai atau belum sempurna. Seperti pada contoh delik pembunuhan yang menggunakan delik materiil. Jika seseorang menembang orang lain namun ternyata orang yang ditembak tersebut tidak meninggal, maka perbuatan pidananya berupa pembunuhan dianggap belum selesai. Dengan kata lain, perbuatan penembakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pembunuhan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Setiap perbuatan pidana sudah dirumuskan sedemikian rupa sehingga masing-masing rumusan tersebut memiliki karakteristik deliknya yang terbagi menjadi dua tersebut. Namun dalam dinamikanya, delik pidana tersebut dapat bertransformasi atau berpindah dari satu jenis delik ke jenis delik lainnya. Hal ini sangat memungkinkan untuk terjadi dan pada realitanya hal ini memang pernah terjadi. Transformasi tersebut terjadi pada rumusan delik korupsi yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Delik Korupsi dalam UU Tindak Pidana Korupsi

UU Nomor 31 Tahun 1999 merupakan undang-undang yang mengatur ulang tindak pidana korupsi pasca reformasi sekaligus mencabut UU Nomor 3 Tahun 1971 yang merupakan produk Orde Baru (Orba). UU Nomor 31 Tahun 1999 yang selanjutnya disebut UU Tipikor merumuskan korupsi sebagai “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

Jika unsur pasal tersebut diurai, maka akan terlihat bahwa rumusan pasal tersebut menggunakan delik formil. Pasal ini merumuskan bahwa kerugian negara sebagai akibat tidak harus “ada” melainkan cukup berpotensi saja (potential loss). Hal ini dapat diketahui dari kata “dapat” pada pasal tersebut yang mengindikasikan bahwa unsur kerugian negara sebagai akibat dari perbuatan korupsi bisa saja “ada” bisa juga “tidak” karena hanya sebatas potensi. Oleh karena rumusan pasal ini tidak menyorot aspek akibat dari suatu perbuatan pidana, maka ia dikategorikan sebagai delik formil.

Namun dalam dinamikanya, pasal ini diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa kata “dapat” pada rumusan pasal 2 ayat (1) UU Tipikor inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. MK menilai bahwa dengan dirumuskannya pasal Tipikor tersebut dalam bentuk delik formil yang menggunakan konsep potential loss, maka akan sangat mudah terjadi kriminalisasi padahal kerugian negara tersebut belum terbukti. Dengan kata lain, MK menilai bahwa rumusan delik formil ini tidak membawa kepastian  hukum.

Implikasi dari putusan tersebut adalah transformasi dari delik formil menjadi materiil. Mengenai delik materiil ini, MK menilai bahwa kepastian hukum dapat lebih terjamin. Ini karena kerugian negara sebagai akibat korupsi harus dibuktikan terlebih dahulu (actual loss). Dengan demikian, maka pembuktian terhadap tindak pidana korupsi ini menjadi lebih ketat sehingga potensi terjadinya kriminalisasi dapat dihindari. Adanya unsur kerugian keuangan negara yang harus dibuktikan menjadikan mekanisme pembuktian tidak sebatas pembuktian unsur formil semata seperti pelaku, perbuatan, dan niat, melainkan juga akibat dari perbuatan itu sendiri.

Kesimpulan

Jenis delik dalam hukum pidana terbagi menjadi delik formil dan materiil. Dalam dinamikanya, tranformasi delik sangat dimungkinkan dan pernah terjadi. Transformasi ini terjadi karena perubahan hukum itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, perubahan ini terjadi dalam UU Tipikor yang berubah karena putusan MK. Putusan MK yang menghapus kata “dapat” dalam rumusan pasal 2 ayat (1) UU Tipikor secara yuridis mengubah sifat delik dari formil ke materiil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Aplikasi Konseptual Delik Materiil dalam Hukum Pidana
Stasiun Artikel

Delik materiil dalam hukum pidana adalah jenis tindak pidana yang dianggap selesai ketika akibat dari perbuatan tersebut terjadi. Berbeda dengan delik formil yang fokus pada terpenuhinya unsur perbuatan, delik materiil menitikberatkan pada hasil akhir, seperti terampasnya nyawa dalam kasus pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Dalam pembuktiannya, delik materiil memerlukan adanya akibat nyata dari perbuatan, sedangkan delik formil cukup membuktikan unsur perbuatan tanpa memperhatikan akibatnya. Pemahaman dan pembedaan keduanya penting untuk menjaga kepastian hukum.

Aplikasi Konseptual Delik Formil dalam Hukum Pidana
Stasiun Artikel

Delik materiil dalam hukum pidana adalah jenis tindak pidana yang dianggap selesai ketika akibat dari perbuatan tersebut terjadi. Berbeda dengan delik formil yang fokus pada terpenuhinya unsur perbuatan, delik materiil menitikberatkan pada hasil akhir, seperti terampasnya nyawa dalam kasus pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Dalam pembuktiannya, delik materiil memerlukan adanya akibat nyata dari perbuatan, sedangkan delik formil cukup membuktikan unsur perbuatan tanpa memperhatikan akibatnya. Pemahaman dan pembedaan keduanya penting untuk menjaga kepastian hukum.