Literasi Hukum – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menyampaikan bahwa sebanyak 270 kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada Serentak 2024 dijadwalkan akan dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto pada 6 Februari 2025 di Istana Kepresidenan, Jakarta. Dalam pernyataan resminya pada Rabu (22/1/2025), Bima menegaskan bahwa pelantikan tersebut akan berlangsung sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, khususnya Pasal 164 B yang mengatur mengenai pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. “Insyaallah, Pak Prabowo akan melantik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 164 B,” ujar Bima. (Presiden Prabowo Akan Lantik 270 Kepala Daerah Terpilih pada 6 Februari 2025, menpan.go.id, 23 Januari 2025).
Tindakan ini jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XXII/2024. Namun, beruntungnya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) segera melakukan revisi dan menunda pelantikan tersebut. Namun, apakah sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK)? Kondisi tersebut menarik untuk dikaji secara mendalam dan komprehensif. Oleh karena itu, tulisan ini guna untuk menjadi masukan sebagai pengambil kebijakan agar tidak keliru secara hukum. Pertama, perlu kiranya dijelaskan persoalan alasan kenapa para Gubernur, Bupati dan Walikota mengajukan judicial review Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi.
Karena keberadaan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada membuat kepala daerah yang terpilih di tahun 2020 (dilantik 2021), terpotong masa jabatannya hanya sampai 2024. Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyatakan, “kepala daerah hasil Pilkada 2020 menjabat hingga tahun 2024”. Sementara Pasal 162 ayat (1) dan (2) UU yang sama mengatur, “kepala daerah menjabat selama lima tahun.” Hitungan kasarannya, kepala daerah hanya menjalankan tiga tahun lebih, padahal amanat Undang-undang adalah lima tahun. MK mengabulkan sebagian permohonan dari sejumlah kepala daerah terkait Pasal 201 ayat (7) UU No. 10 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa masa jabatan mereka tidak harus berakhir pada penghujung tahun 2024. MK menilai bahwa ketentuan dalam pasal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum, melanggar asas kesetaraan dalam hukum serta pemerintahan, menciptakan ketidakpastian hukum, dan tidak sejalan dengan prinsip demokrasi serta pemilihan umum yang dijamin dalam UUD 1945. Secara sederhana, Pasal 201 ayat (7) dalam UU Pilkada dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Artinya, kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2020 tetap menjabat hingga kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 resmi dilantik. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, kapan tepatnya pelantikan kepala daerah produk pilkada serentak 2024 terpilih ini akan dilaksanakan?
Mahkamah Konstitusi (MK) menyadari bahwa persoalan ini berpotensi menimbulkan perdebatan, sehingga dalam putusannya, MK menegaskan sikapnya dengan jelas. Ada pendapat yang mengatakan bahwa jika tidak ada gugatan ke MK, maka kepala daerah terpilih tahun 2024 seharusnya bisa langsung dilantik agar segera menjalankan tugasnya. Namun, tunggu dulu, Kepala daerah yang saat ini menjabat bukanlah tanpa legitimasi, mereka juga dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada tahun 2020 dan masih menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, dalam pertimbangannya, MK memberikan catatan khusus terkait hal ini. Supaya tidak bias, penulis kutip penggalan pertimbangan MK dalam putusannya:
“[3.13.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021]. Terlebih, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024, Mahkamah telah menegaskan bahwa jadwal pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016, yaitu bulan November 2024. Meskipun penegasan terkait dengan jadwal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional tahun 2024 telah ditegaskan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024 sebagaimana ketentuan Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 yaitu bulan November 2024 walaupun tidak diamarkan dalam putusan tersebut, namun melalui putusan a quo, Mahkamah penting menegaskan kembali bahwa pertimbangan hukum putusan Mahkamah juga mempunyai kekuatan hukum mengikat sebab pertimbangan hukum merupakan ratio decidendi dari putusan secara keseluruhan.”
Lalu apa pertimbangan MK tentang pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024? Berikut penegasan MK di pertimbangan 3.17.2:
“Bahwa berkaitan dengan agenda pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional tahun 2024, Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”. Dengan adanya ketentuan tersebut maka pemungutan suara akan dilaksanakan pada bulan November 2024 sehingga pelantikan dapat dilaksanakan setelah selesainya sengketa hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi. Adapun jangka waktu penyelesaian perkara sengketa hasil pemilihan kepala daerah telah diatur dalam Pasal 157 ayat (8) UU 10/2016 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil pemilihan kepala daerah paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bagi Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah memerintahkan pemilihan ulang, atau pemungutan suara ulang, atau penghitungan suara ulang. Oleh karena itu, demi kepastian hukum dan agar tidak menghambat transisi kepemimpinan pemerintahan daerah dan jalannya roda pemerintahan daerah maka menurut Mahkamah, pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak adalah dikecualikan bagi daerah yang melaksanakan pemilihan ulang, atau pemungutan suara ulang, atau penghitungan suara ulang sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Selain itu, kemungkinan adanya pelantikan tidak serentak karena adanya faktor force majeure sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sebelum dilakukan pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan serentak secara nasional tahun 2024, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang merupakan hasil pemilihan tahun 2020 dan masih menjabat dapat terus menjalankan tugas dan jabatannya sampai pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan serentak secara nasional tahun 2024. Dalam batas penalaran yang wajar, pertimbangan Mahkamah dimaksud tidak akan mengganggu proses transisi kepemimpinan pemerintahan daerah yang berasal dari hasil pemilihan serentak secara nasional tahun 2024.”
Jadi, pertanyaan berikutnya, kapan sengketa Pilkada benar-benar selesai? Berdasarkan UU yang ada, maksimal 45 hari sejak permohonan diajukan. Namun, perlu dipahami bahwa penyelesaian sengketa Pilkada bukan hanya soal keluarnya Putusan Dismissal dari MK. Justru, setelah putusan tersebut, barulah pemeriksaan pokok perkara sengketa Pilkada di MK dimulai. Di sini, pemerintah harus lebih cermat dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Berdasarkan Putusan MK Nomor 27/PUU-XXII/2024, pelantikan seharusnya dilakukan setelah seluruh permohonan sengketa Pilkada diputus oleh MK, bukan hanya berdasarkan putusan dismissal. Satu-satunya pengecualian adalah untuk daerah yang dalam putusan MK dinyatakan harus menjalani Pemungutan Suara Ulang (PSU). Bagi kepala daerah terpilih, ada baiknya untuk lebih bersabar, karena ini bukan sekadar soal waktu, tetapi juga menyangkut legitimasi pemerintahan daerah secara hukum. Selain itu, perlu diingat bahwa kepala daerah hasil Pilkada tahun 2020 juga memiliki hak untuk menuntaskan masa jabatannya sesuai mandat yang diberikan oleh rakyat, meskipun faktanya masa jabatan mereka sudah terpangkas menjadi kurang dari lima tahun.
Jangan terburu-buru ingin segera berkuasa. Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menaati Putusan MK untuk menghindari potensi sengketa hukum lainnya. Selain itu, tahun ini merupakan tahap akhir dari transisi menuju Pilkada Serentak serta penyelarasan antara pemerintahan pusat dan daerah. Dengan demikian, jika pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024 tetap dipaksakan sebelum seluruh sengketa di MK selesai—kecuali untuk daerah yang diwajibkan menjalani Pemungutan Suara Ulang (PSU)—maka tindakan tersebut berisiko menimbulkan cacat hukum karena bertentangan dengan Putusan MK No. 27/PUU-XXII/2024.