Opini

Regulasi Medical Malpractice dalam Ketentuan Pidana pada Undang-Undang No. 17 Tahun 2023

Shenny Mutiara Irni
112
×

Regulasi Medical Malpractice dalam Ketentuan Pidana pada Undang-Undang No. 17 Tahun 2023

Sebarkan artikel ini
Regulasi Medical Malpractice dalam Ketentuan Pidana pada Undang-Undang No. 17 Tahun 2023

Literasi HukumArtikel ini mengulas regulasi terkait malpraktik medis dalam konteks hukum pidana berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023. Dibahas latar belakang meningkatnya kesadaran publik akan tuntutan hukum terhadap malpraktik medis dan perbedaan pandangan antara medical negligence dan criminal malpractice. Artikel ini menjelaskan ketidakjelasan definisi dan batasan kesalahan dalam malpraktik medis yang menyebabkan ketidakpastian hukum serta ketakutan profesi medis dalam bertindak. Juga diuraikan upaya pengaturan khusus yang membedakan kesalahan karena kelalaian dari tindakan yang disengaja dalam praktik medis, guna mencapai keadilan bagi korban dan kepastian hukum bagi pelaku medis.

Mengenai Medical Malpractice dan Tuntutan Masyarakat

Medical malpractice atau malpraktik medis, secara umum diketahui sebagai suatu kesalahan praktik. Istilah malpraktik medis pada awalnya masih menjadi istilah asing yang sebelumnya belum pernah dikenali di Indonesia. Pada tahun 80-an, istilah ini sebenarnya sudah dikenali, akan tetapi, baru menjadi sangat populer pada tahun 2003 akibat munculnya “krisis malpraktik medis”. Masyarakat kian hari menjadi semakin sadar bahwa tindakan malpraktik medis ini ternyata dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Malpraktik medis kemudian beralih menjadi permasalahan hukum.[1]

Sebagai persoalan yang baru dalam ranah hukum, tentunya tidak mudah untuk mendudukkan malpraktik medis kedalam konstruksi hukum Indonesia. Oleh karena itu, menjadi wajar pada mulanya istilah ini tidak bisa ditemukan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia (hukum positif). Untuk mencari maksud dari “medical malpractice” tersebut, pertama-tama dilakukan pendekatan yang didasarkan pada pemahaman umum dengan didukung oleh pendapat para pakar mengenai definisi dari istilah tersebut. Para pemangku jabatan yang berhadapan dengan perkara malpraktik medis, pada dasarnya sudah berupaya mengulik istilah yang mirip pada peraturan yang ada. Akan tetapi, timbul respon ketidakpuasan terutama dari profesi kedokteran.

Pengertian Medical Malpractice

Pengertian malpraktik pada awalnya diambil dari istilah dalam Bahasa Inggris yakni malpractice. Secara etimologi, malpraktik diartikan sebagai kesalahan profesional atau professional misconduct. Malpraktik sesungguhnya merupakan suatu istilah yang sudah umum serta berlaku di semua bidang profesi. Singkatnya, malpraktik itu dapat diartikan sebagai kesalahan yang disebabkan oleh suatu tenaga profesional pada masa pekerjaan tersebut sedang berlangsung. Dalam hal kesalahan tersebut dilakukan oleh tenaga medis sesaat dilakukannya tindakan medis, maka disebutlah dengan istilah malpraktik medis (medical malpractice).

Sayangnya, hingga terbitnya undang-undang kesehatan yang baru (Undang-undang No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan) sejak Agustus 2023 tempo hari, pada kenyataannya tindakan malpraktik medis tampaknya juga belum diatur secara jelas. Baik masyarakat maupun kalangan profesi kedokteran masih berpandangan bahwa regulasi hukum terkait dengan malpraktik medis ini masih belum ideal. Adanya kerancuan-kerancuan mengenai batasan dari malpraktik medis ini kemudian rasa-rasanya dinilai publik seperti menimbulkan suatu ketidakpastian.

Batasan “Kesalahan” dalam Tindakan Medical Malpractice 

Beberapa pakar berpendapat bahwa medical practice merupakan sinonim dari istilah medical negligence seperti yang dikemukakan oleh Creighton, dan Mason-Mac. Namun, adapula pakar lain seperti Guwandi yang mengatakan bahwa medical malpractice merupakan sebutan yang lebih luas daripada medical negligence karena didalamnya juga memuat unsur kesengajaan. Sedangkan untuk tindakan malpraktik medis yang dilakukan dengan sengaja maka ia disebut sebagai criminal malpractice.[2]

Berangkat dari pendapat-pendapat tersebut, telah terlihat secara jelas bahwa mulai muncul kerancuan makna dari istilah malpraktik medis itu sendiri. Sebagaimana yang telah dijabarkan diatas, perbedaan makna dalam istilah ini oleh masing-masing pakar  dititikberatkan pada adanya sikap bathin “kelalaian” dan/atau “kesengajaan” sesaat dilakukannya tindakan medis. Oleh karenanya, dalam hal peristiwa yang demikian itu demi terhindarinya kerancuan, pada Negara seperti Australia, Canada, Inggris, Malaysia, dan lain sebagainya, dalam hal malpraktik medis lebih dikenal dengan istilah medical negligence atau kelalaian medis.[3]

Ketidakragaman pengertian yang demikian, tentu menjadi rentan menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan hukumnya. Tidak adanya batasan yang jelas juga menjadikan masyarakat awam dapat cenderung untuk secara mentah menilai suatu tindakan medis sebagai tindakan malpraktik.[4] Akibatnya, masyarakat menjadi mudah untuk menyudutkan profesi kedokteran karena konotasi istilah malpraktik ini sudah terlanjur melekat pada tindakan-tindakan medis, dan sifatnya telah terkesan sangat buruk. Dari sisi lain, yang demikian ini tentu menjadikan banyak tenaga medis/kesehatan dan/atau profesi kedokteran kemudian menjadi takut untuk berbuat suatu tindakan medis karena adanya perasaan takut untuk berhadapan dengan hukum. Melihat dari sisi pandang korban tindakan malpraktis, juga kemudian sangat berpotensi tidak bisa mencapai keadilan, karena bisa saja suatu tindakan itu ternyata tidak dapat dikenai aturan hukum pidana. Misalnya saja, dalam kasus yang baru-baru ini terjadi yakni fenomena bayi tertukar.[5] Jika dilihat dari aturan hukum manapun, tentu tidak akan ditemukan aturan terkait peristiwa demikian ini. Namun, hal demikian ini sesungguhnya merupakan sesuatu yang wajar saja terjadi karena undang-undang pada dasarnya tidak mungkin mampu menuliskan secara pasti dan spesifik terkait kerugian apa saja yang sekiranya suatu hari dapat ditimbulkan oleh praktik medis.

Oleh karena itu, penulis hendak melakukan pembedaan sikap bathin “kesalahan” sebagaimana dikutip dari pandangan-pandangan pakar dapat menjadi patokan. Pada intinya tindakan medis yang menimbulkan kerugian atau akibat yang dilarang oleh hukum dapat dibedakan menjadi dua, yakni kelalaian medis (medical negligence/medical malpractice), dan kesengajaan (criminal malpractice). Sehingga, jika disepakti adanya pembeda dalam kedua tindakan medis itu, maka kemudian selanjutnya dapat dilakukan pendekatan pada aturan-aturan yang ada.

Antara Medical Malpractice dan Criminal

Seperti yang diketahui, umumnya korban-korban dari kelalaian medis akan meminta ganti kerugian secara perdata. Seperti kasus yang dialami oleh Santi Marina yang menderita kerugian karena suaranya menjadi bindeng setelah menjalani operasi amandel di Rumah Sakit Puri Cinere oleh Dr. Wardhani, Sp.THT. Pengadilan Negeri Cibinong kemudian menyatakan bahwa tergugat (Dr. Wardhani, Sp.THT) telah melakukan operasi yang tidak sesuai dengan prosedur pelayanan profesi dan standar pelayanan medis sehingga dapatlah dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. [6] Tergugat dihukum untuk membayar kerugian sebesar Rp. 520.825.375. Melihat dari kasus tersebut, maka peristiwanya dapat dikaitkan dengan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa seseorang yang menimbulkan kerugian pada orang lain diwajibkan mengganti kerugian yang dilakukan atas dasar kesalahannya. Kemudian pasa Pasal 1366 KUHPerdata menegaskan kembali bahwa kerugian itu tetap wajib diganti meskipun dilakukannya karena suatu kelalaian.

Lain halnya dengan criminal malpractice yang memang dilakukan dengan sikap bathin “sengaja” untuk mendapatkan keuntungan sendiri, sehingga berpotensi merugikan banyak orang. Untuk tindakan-tindakan dalam profesi medis yang dilarang pada dasarnya secara tegas telah diatur oleh undang-undang. UU Kesehatan yang baru telah mengatur bentuk-bentuk perbuatannya, seperti : aborsi yang tidak sesuai dengan prosedur (Pasal 428), menghalang-halangi seorang ibu untuk memberi ASI (Pasal 430), memperjualbelikan darah manusia (Pasal 431), menjual organ tubuh (Pasal 432), dan lain sebagainya. Sehingga, dalam BAB mengenai Ketentuan Pidana pada UU Kesehatan ini, maka dapat dilihat bahwa aturannya hanya merangkul bentuk-bentuk tindakan medis yang memang disebabkan karena “kesengajaan” meskipun unsur sengaja dalam pasal-pasal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit. Artinya, tidak mungkin suatu tenaga medis itu akan melakukan hal-hal tersebut jika ia tidak memiliki sikap batin sengaja.

Daftar Pustaka

[1] Muh Endriyo Susila, ‘Malpraktik Medik dan Pertanggungjawaban Hukumnya: Analisis dan Evaluasi Konseptual’ (2021) 6 Law and Justice 46.

[2] J Guwandi, Hukum medik (medcial law) (Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia 2004).

[3] Susila (n 1).

[4] Sabungan Sibarani, ‘ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN KORBAN MALPRAKTIK DILIHAT DARI SUDUT PANDANG HUKUM DI INDONESIA’ (2017) 33 Justitia et Pax <https://ojs.uajy.ac.id/index.php/justitiaetpax/article/view/1417> accessed 20 September 2023.

[5] ‘Perjalanan Kasus Bayi Yang Tertukar Di Bogor, Hasil Tes DNA Tidak Identik’ <https://www.kompas.com/tren/read/2023/08/26/074500365/perjalanan-kasus-bayi-yang-tertukar-di-bogor-hasil-tes-dna-tidak-identik> accessed 21 September 2023.

[6] Bambang Heryanto, ‘MALPRAKTIK DOKTER DALAM PERSPEKTIF HUKUM’ (2010) 10 Jurnal Dinamika Hukum <http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/151> accessed 20 September 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.