Umumnya, keadaan kahar dapat membuat perjanjian batal.
Contoh praktis: suatu perjanjian pengantaran logistik bahan baku menjadi batal sebab truk yang mengantar bahan baku tertimpa longsor tanah. Di sini, keadaan kahar yang timbul adalah longsor tanah. Perjanjian tersebut batal sebab longsor membuat pengantaran logistik tidak dapat dilaksanakan.
Namun, ada 1 masalah. Jika setiap keadaan kahar membuat perjanjian batal, adanya perjanjian justru bersifat kontra-produktif. Setiap orang akan membutuhkan waktu untuk berpikir bagaimana kesepakatan yang mereka rancang dapat terlaksana tanpa mengabaikan keadaan kahar.
Untuk itu, lahir gagasan bahwa keadaan kahar tidak selalu membuat perjanjian batal. Artikel ini membahas hal tersebut.
Definisi
Keadaan kahar dikenal juga sebagai keadaan memaksa. Istilah asing yang kerap digunakan adalah force majeure atau overmacht.
Keadaan kahar merupakan situasi yang kehadirannya tidak dapat diduga dan membuat para pihak dalam perjanjian tidak mampu memenuhi prestasi masing-masing.
Bentuk paling umum dari keadaan kahar adalah bencana alam. Bentuk lain adalah inflasi ekonomi, perang, keadaan huru-hara, perubahan iklim, dan kebijakan pemerintah.
Secara teoritis, ia terbagi menjadi 2 bentuk, yaitu keadaan kahar absolut dan keadaan kahar relatif.
Kahar absolut adalah keadaan yang membuat para pihak dalam perjanjian sepenuhnya tidak mampu melaksanakan prestasi mereka. Misalnya, pemasok komoditas nikel Indonesia tidak dapat mengekspor bijih nikel kepada rekanan mereka di luar negeri sebab kebijakan presiden melarang ekspor bijih nikel.
Kahar relatif adalah keadaan yang membuat para pihak dalam perjanjian dapat menunda untuk melaksanakan pretasi mereka. Misalnya, seorang petani yang berhutang kepada koperasi mengalami gagal panen sehingga ia akan berjanji untuk membayar hutang itu pada musim panen mendatang.
Ketentuan mengenai keadaan kahar diatur dalam Pasal 1245 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Pasal ini berbunyi, “Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.“
Pasal 1245 KUHPer memberi pengaman bagi pihak dalam perjanjian yang tidak mampu melaksanakan prestasinya karena keadaan kahar. Pihak yang tidak mampu melaksanakan prestasi juga dibebaskan dari ganti kerugian.
Keadaan Kahar Tak Selalu Menjadi Alasan
Pasal 1245 KUHPer tak selalu dapat menjadi alasan bagi pihak yang tidak mampu melaksanakan prestasi.
Pihak tersebut harus mampu membuktikan bahwa benar terjadi keadaan yang membuat mereka dalam keadaan demikian.
Untuk melihat apakah pemenuhan prestasi tidak dapat dilakukan karena keadaan kahar, para pihak harus mengacu pada perjanjian. Umumnya, perjanjian akan mengatur bentuk keadaan yang sesuai dengan kriteria.
Kriteria keadaan kahar juga dapat mengacu pada indikator yang diatur dalam Pasal 1245 KUHPer. Di sini, terdapat beberapa syarat yang dapat menjadi acuan.
Pertama, keadaan itu adalah keadaan yang tidak terduga. Ini berarti, pihak yang tidak mampu melaksanakan prestasi tidak dapat memperkirakan bahwa keadaan itu akan muncul.
Kedua, keadaan itu adalah keadaan yang tidak timbul berdasarkan itikad buruk dari pihak yang tidak mampu melaksanakan prestasi.
Ketiga, keadaan itu adalah keadaan yang tidak dapat dihindari. Pihak yang tidak mampu melaksanakan prestasi tidak memiliki kuasa atau kemampuan untuk menghindari keadaan tersebut.
Tidak cukup dengan hanya memahami indikator keadaan, pihak yang tidak mampu melaksanakan prestasi juga perlu memberi pembelaan subjektif yang berhubungan dengan indikator di atas.
Katakanlah, pada bentuk kedua, mereka membuktikan bahwa mereka memang tidak memiliki itikad buruk baik secara nyata maupun diam-diam untuk tidak melaksanakan prestasi.
Ambil contoh batalnya perjanjian pengantaran logistik akibat longsor yang disinggung di awal artikel ini. Ketiadaan itikad buruk dapat dibuktikan jika pihak yang melakukan pengantaran mengetahui medan perjalanan. Ia mengetahui bahwa 1 jam sebelum pengantaran akan dilakukan, tidak terjadi hujan atau keadaan apapun yang memicu terjadinya longsor.
Bentuk lain dari pembelaan subjektif adalah membuktikan ketiadaan alternatif. Di sini, pihak yang tidak mampu melaksanakan prestasi harus memberi klaim yang sah bahwa mereka tidak memiliki cara lain untuk melaksanakan prestasi itu.
Masih pada contoh pengantaran logistik sebelumnya, pihak yang tidak mampu melakukan pengantaran dapat menyatakan bahwa logistik yang diantar hanya dapat dilakukan dengan medium yang terdampak akibat longsor. Mereka tidak dapat menggunakan transportasi lain dan/atau jalur perjalanan lain sebab tidak sesuai dengan kesepakatan.
Dengan terpenuhinya ragam prasyarat di atas, keadaan memaksa dapat dianggap logis sebagai alasan batalnya perjanjian.
Lebih lanjut, batalnya perjanjian juga harus mempertimbangkan resiko.
Dalam hal ini, resiko timbul karena batalnya perjanjian diakibatkan oleh keadaan kahar. Resiko menjadi tanggungan antarpihak dalam perjanjian tersebut.
Umumnya, kalkulasi resiko dapat bersifat relatif terhadap klausul perjanjian mengenai bentuk keadaan.
Jika yang terjadi adalah kahar absolut, resiko ditanggung pihak yang tidak mampu melaksanakan prestasi dengan mengganti kerugian secara patut. Hal ini dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1545 dan 1553 dari KUHPer.
Bisa juga resiko justru ditanggung oleh pihak yang memegang prestasi yang seharusnya dilakukan pihak lain. Hal ini dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1237 dan 1444 dari KUHPer.
Namun, jika yang terjadi adalah kahar relatif, resiko bisa saja tidak secara otomatis timbul. Di sini, perjanjian tidak serta-merta menjadi batal sebab para pihak dapat mengatur kesepakatan ulang mengenai upaya untuk tetap melaksanakan perjanjian.