Hukum IslamMateri Hukum

Tukar Uang Baru di Pinggir Jalan, Bagaimana Aturan Hukumnya?

Dhea Salsabila
1561
×

Tukar Uang Baru di Pinggir Jalan, Bagaimana Aturan Hukumnya?

Sebarkan artikel ini
Hukum tukar uang baru di pinggir jalan
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Tukar uang baru merupakan salah satu tradisi yang bisa dijumpai pada sebagian besar wilayah di Indonesia. Hal tersebut menjadi peluang bisnis baru bagi sebagian orang, yakni dengan menyediakan jasa tukar uang yang umumnya berlokasi di pinggir jalan raya.

Artikel ini membahas secara mendalam tentang fenomena tukar uang baru yang ada di pinggir jalan serta bagaimana aturan hukum yang berlaku terhadap budaya tersebut berdasarkan undang-undang dan hukum Islam.

Fenomena Tukar Uang Baru di Pinggir Jalan

Tukar uang baru menjadi aktivitas yang rutin dilaksanakan setiap bulan Ramadan atau menjelang Idul Fitri. Momen ini dimanfaatkan oleh para penyedia jasa tukar uang baru di pinggir jalan. Target pasar mereka umumnya adalah masyarakat yang tidak memiliki banyak waktu untuk mengantre tukar uang di bank.

Meski tidak ada sanksi khusus untuk penyedia jasa tukar uang di pinggir jalan, masyarakat tetap dihimbau untuk melakukan tukar uang di lembaga resmi, seperti Bank Indonesia guna menghindari kejahatan berupa pemberian uang palsu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Hukum Tukar Uang Baru di Pinggir Jalan Berdasarkan Undang-Undang

Dalam segi hukum, ketentuan mengenai penukaran uang sudah diatur dalam Pasal 22 UU Mata Uang. Guna memenuhi kebutuhan uang di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, dan dalam kondisi yang layak edar, uang rupiah yang beredar di masyarakat dapat ditukarkan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Penukaran Rupiah dapat dilakukan dalam pecahan yang sama atau pecahan yang lain; dan/atau
  2. Penukaran Rupiah yang lusuh dan/atau rusak sebagian karena terbakar atau sebab lainnya dilakukan penggantian dengan nilai yang sama nominalnya.

Pada dasarnya, penukaran uang rupiah dilakukan oleh beberapa lembaga, seperti Bank Indonesia, bank yang beroperasi di Indonesia, serta pihak lain yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia. Adapun penukaran rupiah ini secara lebih lanjut telah diatur dalam PBI 21/2019 dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur BI 19/2017.

Layanan penukaran uang rupiah dilakukan untuk penukaran uang rupiah dalam pecahan yang sama atau pecahan yang lain dan/atau penggantian uang rupiah tidak layak edar. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 23 ayat (2) PBI 21/2019.

Sementara itu, Pasal 4 Peraturan Anggota Dewan Gubernur BI 19/2017 menjelaskan bahwa layanan penukaran uang rupiah dilakukan di kantor dan/atau di luar kantor Bank Indonesia dan/atau di kantor dan/atau di luar kantor pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.

Layanan ini dapat dilakukan pada hari dan jam operasional yang sudah diatur serta ditetapkan oleh Bank Indonesia yang kemudian disiarkan pada masyarakat. Adapun daftar lokasi penukaran uang dapat diakses melalui link berikut.

Tidak hanya itu, penukaran uang juga dapat dilakukan melalui Layanan Kas Keliling yang tersedia di sejumlah wilayah. Mekanisme pemesanan dapat dilakukan secara online melalui situs PINTAR dengan menggunakan NIK.

Perlu diingat bahwa NIK yang telah didaftarkan untuk tukar uang dan berstatus “menunggu pelaksanaan penukaran”, maka NIK tersebut tidak dapat digunakan lagi untuk mendaftar penukaran uang sebelum melewati hari penukaran yang pertama.

Melihat berbagai fenomena di atas, dapat diketahui bahwa layanan tukar uang yang diatur secara resmi adalah hanya melalui di Bank Indonesia maupun pihak lain yang telah ditunjuk. Namun, baik dalam UU Mata Uang serta Peraturan Anggota Dewan Gubernur BI 19/2027, tidak ditemukan aturan mengenai sanksi apabila ada pihak yang melakukan aktivitas tukar uang baru tanpa seizin Bank Indonesia, termasuk jasa tukar uang baru yang ada di pinggir jalan. 

Hukum Tukar Uang Baru di Pinggir Jalan Berdasarkan Hukum Islam

Dilansir dari situs NU Online, jika ma’qud alaih (barang yang dijadikan akad) dalam praktik tukar uang baru adalah “uang” nya, maka tukar uang baru dengan kelebihan jumlah tertentu jelas haram karena praktik ini masuk pada kategori riba. 

Namun, jika praktik ini dilihat berdasarkan “jasa” dari orang menyediakan uang baru, maka  dihukumi boleh atau mubah menurut syariat karena praktik ini masuk pada kategori ijarah (sewa).

Hal tersebut dikemukakan oleh Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) Alhafiz Kurniawan, dalam artikelnya yang berjudul ‘Hukum Menukar Uang Saat Lebaran’.

Merujuk pada keterangan kitab Fathul Mujibil Qarib, cetakan pertama, halaman 123, ijarah (sewa) itu sejenis dengan jual beli sehingga tidak termasuk kategori riba.

‎والإجارة في الحقيقة بيع إلا أنها قابلة للتأقيت وأن المبيع فيها ليست عينا من الأعيان بل منفعة من المنافع إما منفعة عين وإما منفعة عمل

Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas).”

Adapun merujuk pada kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, di dalamnya dijelaskan bahwa terdapat beberapa pandangan ulama terkait fenomena tukar uang baru, yakni:

ﺫﻫﺐ اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻭاﻟﺤﻨﻔﻴﺔ – ﻋﺪا ﻣﺤﻤﺪ – ﻭاﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ ﻓﻲ اﻟﻤﺸﻬﻮﺭ، ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ اﻟﻘﺎﺿﻲ ﻓﻲ اﻟﺠﺎﻣﻊ ﻭاﺑﻦ ﻋﻘﻴﻞ ﻭاﻟﺸﻴﺮاﺯﻱ ﻭﺻﺎﺣﺐ اﻟﻤﺴﺘﻮﻋﺐ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﺇﻟﻰ: ﺃﻧﻪ ﻻ ﺭﺑﺎ ﻓﻲ ﻓﻠﻮﺱ ﻳﺘﻌﺎﻣﻞ ﺑﻬﺎ ﻋﺪﺩا ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﻧﺎﻓﻘﺔ؛ ﻟﺨﺮﻭﺟﻬﺎ ﻋﻦ اﻟﻜﻴﻞ ﻭاﻟﻮﺯﻥ، ﻭﻋﺪﻡ اﻟﻨﺺ ﻭاﻹﺟﻤﺎﻉ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ اﻟﺒﻬﻮﺗﻲ؛ ﻭﻷﻥ ﻋﻠﺔ ﺣﺮﻣﺔ اﻟﺮﺑﺎ ﻓﻲ اﻟﺬﻫﺐ ﻭاﻟﻔﻀﺔ اﻟﺜﻤﻨﻴﺔ اﻟﻐﺎﻟﺒﺔ اﻟﺘﻲ يعبر ﻋﻨﻬﺎ – ﺃﻳﻀﺎ – ﺑﺟﻮﻫﺮﻳﺔ اﻷﺛﻤﺎﻥ، ﻭﻫﻲ ﻣﻨﺘﻔﻴﺔ ﻋﻦ اﻟﻔﻠﻮﺱ ﻭﺇﻥ ﺭاﺟﺖ، ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ.

ﻭاﻋﺘﺒﺮ اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ اﻟﻔﻠﻮﺱ ﻣﻦ اﻟﻌﺮﻭﺽ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﻧﺎﻓﻘﺔ

Ulama Madzhab Syafii, Hanafi, -kecuali Muhammad- serta ulama Hambali dalam pendapat yang masyhur, hal ini juga merupakan pendapat al-Qadhi di dalam kitab al-Jamik, Ibnu Aqil serta al-Syirazi dan pemilik kitab al-Mustau’ab, dan lain-lain. Bahwasanya tidak ada riba di dalam uang yang dibuat transaksi walaupun diakui sebagai alat transaksi. Karena uang tidak bisa ditimbang dan ditakar (sebagaimana emas dan perak), serta tidak adanya nash yang menyatakan riba dalam uang sebagaimana dikatakan oleh al-Buhuti. Dan juga karena yang menjadi illat keharaman riba dalam emas dan perak adalah harga yang terdapat dalam keduanya yaitu material keduanya berharga. Dan hal ini tidak dimiliki oleh uang walaupun diakui sebagai alat transaksi sebagaimana pendapat ulama madzhab Syafii.

ﻭﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻓﻴﺠﻮﺯ ﺑﻴﻊ اﻟﻔﻠﻮﺱ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﺒﻌﺾ ﻣﺘﻔﺎﺿﻼ، ﻛﻤﺎ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻴﻊ ﺑﻴﻀﺔ ﺑﺒﻴﻀﺘﻴﻦ، ﻭﺟﻮﺯﺓ ﺑﺠﻮﺯﺗﻴﻦ، ﻭﺳﻜﻴﻦ ﺑﺴﻜﻴﻨﻴﻦ، ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﺇﺫا ﻛﺎﻥ ﻳﺪا ﺑﻴﺪ

Oleh karenanya diperbolehkan menjual uang dengan sesamanya secara tidak sama, sebagaimana boleh menjual satu telur dengan dua telur, satu kelapa dengan dua kelapa, satu pisau dengan dua pisau, dan lain-lain. Asalkan secara kontan.

ﻭﻗﺪ ﻓﺼﻞ اﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻓﻲ اﻟﻤﻮﺿﻮﻉ ﻓﻘﺎﻟﻮا: ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻴﻊ اﻟﻔﻠﺲ ﺑﺎﻟﻔﻠﺴﻴﻦ ﺑﺄﻋﻴﺎﻧﻬﻤﺎ ﻋﻨﺪ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﺃﺑﻲ ﻳﻮﺳﻒ ﺇﺫا ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻛﻼﻫﻤﺎ ﺃﻭ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﺩﻳﻨﺎ

Ulama madzhab Hanafi memilah permasalahan ini, mereka menyatakan: boleh menjual satu uang dengan dua uang menggunakan bendanya secara langsung menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf asalkan keduanya atau salah satunya bukan berupa hutang (harus kontan).

ﺫﻫﺐ اﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﻓﻲ اﻟﺮاﺟﺢ ﻋﻨﺪﻫﻢ – ﻭﻫﻮ ﺭﻭاﻳﺔ ﻋﻨﺪ اﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ، ﺟﺰﻡ ﺑﻬﺎ ﺃﺑﻮ اﻟﺨﻄﺎﺏ ﻓﻲ ﺧﻼﻓﻪ، ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﻣﺤﻤﺪ ﻣﻦ اﻟﺤﻨﻔﻴﺔ – ﺇﻟﻰ: ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻴﻊ اﻟﻔﻠﻮﺱ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﺒﻌﺾ ﻣﺘﻔﺎﺿﻼ ﻭﻻ ﻧﺴﺎء، ﻭﻻ ﺑﻴﻌﻬﺎ ﺑﺎﻟﺬﻫﺐ ﺃﻭ اﻟﻔﻀﺔ ﻧﺴﺎء

Ulama madzhab Maliki memiliki silang pendapat namun pendapat yang kuat dikalangan mereka -yang juga merupakan satu riwayat ulama Hambali di mana silang pendapat di kalangan ulama Hambali ini dikonfirmasi oleh Abu al-Khatib. Hal ini juga merupakan pendapat Muhammad seorang ulama bermadzhab Hanafi- bahwasanya tidak diperkenankan menjual uang dengan sesamanya secara tidak sama. Dan juga tidak boleh secara utang, dan juga tidak boleh menjual uang dengan emas atau perak secara utang.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum tukar uang baru yang ada di pinggir jalan adalah:

  1. Boleh. Hal ini didasarkan pada ulama madzhab Syafii, Hanafi dan pendapat yang dalam madzhab Hambali. Namun, dengan syarat tukar uang tersebut dilakukan secara kontan bukan secara utang.
  2. Tidak boleh. Hal ini didasarkan pada pendapat yang kuat dalam madzhab Maliki dan sebagian riwayat dalam madzhab Hambali.

Itulah uraian mengenai hukum tukar uang baru berdasarkan perspektif undang-undang maupun hukum Islam.

Referensi

Arifin, Zainal. “Pandangan Sejumlah Ulama Terkait Hukum Menukar Uang Baru.” 2022. https://jatim.nu.or.id/opini/pandangan-sejumlah-ulama-terkait-hukum-menukar-uang-baru-CvrMN

Arrahmah, Syifa. “Menukar Uang Baru Jelang Lebaran, Bagaimana Hukumnya?”. 2023. https://www.nu.or.id/nasional/menukar-uang-baru-jelang-lebaran-bagaimana-hukumnya-vzOe9

Oktavira, Aurelia Bernadetha. “Aturan Hukum Penukaran Uang Lebaran di Pinggir Jalan”. 2024. https://www.hukumonline.com/klinik/a/penukaran-uang-lebaran-lt55935fa4d11a1/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.