Anda akan menemukan penjelasan tentang bagaimana ketertiban umum menjadi dasar bagi hakim dan lembaga peradilan untuk mengesampingkan hukum asing dalam suatu perkara Hukum Perdata Internasional, dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial, budaya, dan perkembangan masyarakat.
Selain itu, artikel ini juga menjelaskan hubungan konsep ketertiban umum dengan konsep Vested Rights (hak dan kewajiban hukum yang diperoleh) dan bagaimana hal ini berkaitan dengan pengakuan hukum asing dalam konteks lex fori (hukum yang berlaku di wilayah yurisdiksi tertentu).
Dalam tulisan ini, Anda akan memahami bagaimana konsep ini dapat memengaruhi perkawinan sesama jenis dan pengakuan hukum asing di Indonesia.
Oleh: Dedon Dianta
I. Ketertiban umum dalam Hukum Perdata Internasional
Ketertiban umum (public order) adalah suatu konsep dalam Hukum Perdata Internasional yang menjadi alasan atau dasar seorang hakim atau Lembaga peradilan untuk dapat mengesampingkan sistem hukum, hak dan kewajiban hukum asing, serta kaidah hukum asing.
Landasan dari public order pada konteks Hukum Perdata Internasional, titik tolaknya bermula dari pemikiran bahwa lembaga peradilan ialah salah satu dari struktur negara yang memiliki kedaulatan. Maka dari itu, lembaga peradilan memiliki hak untuk memilih hukum mana yang akan berlaku terhadap segala perkara yang diselesaikan dalam lembaga peradilan.
Hal tersebut menjadi suatu permasalahan apabila perkara yang sedang diselesaikan merupakan perkara yang melibatkan unsur asing, atau terdapat kewajiban dan/atau hak yang didapatkan melalui ketentuan hukum asing sehingga yurisdiksi asing terlibat di dalamnya.
Dalam hal ini, tentu membuat pertanyaan tentang sejauh mana lembaga peradilan memiliki kewajiban untuk melibatkan hukum asing dalam wilayah yurisdiksinya?
Tertuang pada Pasal 23 Algemene Bepalingen (AB), tertulis bahwasannya “door gene handelingen of overeenkomsten kan aan de wetten, die op de publieke orde of de goedezeden betrekking hebben, hare kracht ontonomen worde”
Segala kaidah dalam Hukum Perdata Internasional pada dasarnya sekedar mengatur secara garis besar yang sifatnya terlalu umum. Konsep ketertiban umum dalam Hukum Perdata Internasional merupakan nilai-nilai tidak tertulis yang tengah berkembang di masyarakat.
Beberapa ahli berpendapat bahwasannya konsep ketertiban umum merupakan suatu konsep yang bergantung pada perkembangan masyarakat dalam konteks perubahan waktu dan keadaan, sehingga konsep ketertiban umum ini tidak dapat disepakati atau dirumuskan.
Dalam konteks ini, diterimanya konsep ketertiban umum di suatu negara, bergantung kepada waktu dan keadaan negara tersebut. Berdasarkan teori tersebut, apabila terdapat sistem hukum suatu negara yang bertentangan dengan hukum asing, maka hukum asing dapat dikesampingkan.
Lembaga peradilan dalam menimbang berlakunya suatu hukum asing yang sepatutnya menjadi lex causae dalam wilayah yurisdiksinya, ada hal-hal yang menyebabkan hukum asing dikesampingkan, salah satunya karena konsep ketertiban umum.
Keadaan sosial budaya dalam masyarakat, tentunya menjadi aspek yang sangat mempengaruhi konsep ketertiban umum. Perubahan dan perkembangan pola interaksi, nilai-nilai yang diyakini dalam masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep ketertiban umum dalam suatu negara.
Problematika dunia yang belakangan ini menjadi sorotan ialah mengenai pelegalan dan penolakan di beberapa negara tentang perkawinan sesama jenis.
Keterkaitan dengan hak asasi manusia menjadikan alasan dari banyak negara yang mengakui legalitas dari perkawinan sesama jenis, sehingga negara tidak memiliki hak untuk melarang hal tersebut.
Begitupun dengan penerimaan masyarakat di negaranya. Apabila kita kaitkan dengan konsep ketertiban umum, dapat dikatakan bahwasannya negara yang melakukan penolakan perkawinan sesama jenis, dasarnya ialah karena adanya penolakan dari mayoritas masyarakat pada negara tersebut.
Konsep ketertiban umum di dalamnya terkandung tentang pedamaian dan kenyamanan dalam masyarakat yang tidak dapat disentuh, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat pada suatu negara yang juga terpengaruh terhadap adanya nilai-nilai ekonomi, sosial, budaya, dan agama.
Sebagai contoh juga, di Indonesia dapat melakukan penolakan terhadap pengakuan legal perkawinan sesame jenis. Alasan yang mendasari hal tersebut juga karena bertentangan dengan konsep ketertiban umum meski perkawinan tersebut mendapat pengakuan legal di negara lain.
Konsep ketertiban umum dalam Hukum Perdata Internasional ini juga memiliki dampak positif untuk mendukung kepentingan lex fori, tetapi menjadi dampak negatif apabila menggunakan secara berlebihan. Hal tersebut menjadi penghambat dalam hubungan internasional, memperlambat lex fori, atau bahkan menyebabkan ketidakadilan.
Konsep ketertiban umum dalam Hukum Perdata Internasional memiliki 2 fungsi, di antaranya ialah:
1) Fungsi Positif Konsep ketertiban umum dalam Hukum Perdata Internasional
Menjamin keberlakuan pengaturan tertentu dari lex fori (tidak dikesampingkan) sebagai akibat dari adanya hukum asing yang diberlakukan dalam suatu negara melalui proses pendekatan Hukum Perdata Internasional atau kaidah Hukum Perdata Internasional. Terlepas dari problematika hukum apa yang sepatutnya berlaku atau bagaimanapun isi aturan / kaidah lex fori yang bersangkutan
2) Fungsi Negatif Konsep ketertiban umum dalam Hukum Perdata Internasional
Menghindari keberlakuan dari aturan-aturan hukum asing, yang apabila keberlakuan tersebut menimbulkan pelanggaran terhadap konsep dasar lex fori
Pembahasan di atas dapat kita ketahui bahwasannya konsep ketertiban umum dalam Hukum Perdata Internasional menjadikan dasar bagi hakim/lembaga peradilan untuk mengesampingkan kaidah hukum asing yang sepatutnya merupakan lex causae dalam suatu perkara Hukum Perdata Internasional. Hal tersebut karena kaidah-kaidah hukum tersebut bertentangan dengan konsep ketertiban umum yang ada dalam masyarakat pada wilayah lex fori.
II. Hubungan konsep ketertiban Umum dengan Vested Rights
Vested Rights merupakan hak dan kewajiban hukum seseorang yang diperoleh dari adanya hubungan hukum yang memberlakukan hukum asing, Problematika dari versted rights ialah hak dan kewajiban tersebut apakah harus mendapatkan pengakuan juga dari lex fori?
Pada dasarnya, hak yang melekat pada seseorang, wajib dihormati dan diakui oleh orang lain selama tidak menyebabkan problematika yang bertentangan dengan ketertiban umum dalam wilayah lex fori.
Contoh persoalannya ialah, orang asing yang melakukan perkawinan dengan orang WNI, dilangsungkan di luar negeri. Perkawinan asing dianggap sah di Indonesia jika tidak bertentangan dengan konsep ketertiban umum, serta keduanya harus mendaftarkan perkawinannya di kantor pencatatan perkawinan. Sehingga semua hak dan kewajiban yang ada pada pasangan yang melakukan perkawinan berdasarkan hukum asing dapat memperoleh pengakuan legal di Indonesia.
Permasalahan lain sebagai contoh ialah apabila perkawinan berdasarkan hukum asing tersebut adanya unsur perbedaan agama. Hal tersebut kerap dilakukan oleh pasangan yang berkeinginan melangsungkan perkawinan, tetapi tidak bisa dilakukan di Indonesia.
Sebagaimana pasal 2 (1) UU 1/1974 yang dikuatkan dengan SEMA 2/2023, bahwasannya perkawinan hanya dapat dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing serta tidak dapat dilangsungkan apabila terdapat perbedaan agama. Pada praktiknya, setiap perkawinan beda agama berdasarkan hukum asing dapat diakui dan mencatatkan perkawinannya di Indonesia. Lantas, bagaimana tentang hak dan kewajiban dari perkawinan tersebut?
Sudah sepatutnya negara mengesampingkan hak dan kewajiban hukum seseorang apabila bertentangan dengan perundang-undangan. Adapun juga perkawinan sesama jenis tidak ada satupun peluang untuk mendapatkan pengakuan hukum di Indonesia. Diakuinya perkawinan oleh suatu negara berarti adanya pengakuan secara sah secara hukum terhadap hak dan kewajiban seseorang yang melangsungkan perkawinan berdasarkan hukum asing.