Berita Hukum – Dirty Vote merupakan film dokumenter eksplanatori yang mengisahkan tentang kecurangan pemilu tahun 2024. Film yang berdurasi 1 jam 57 menit 21 detik ini tayang perdana pada Minggu (11/2/2024) pukul 11.11 melalui kanal Youtube Dirty Vote.
Dokumenter ini memuat tiga pandangan ahli hukum tata negara, yakni Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar tentang kecurangan yang terjadi dalam pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2024.
Pada pembukaan film tersebut, Bivitri mengungkap bahwa pemilu tahun ini tidak bisa dianggap baik-baik saja.
“Saya mau terlibat dalam film ini karena banyak orang yang akan makin paham bahwa memang telah terjadi kecurangan yang luar biasa, sehingga pemilu ini tidak bisa dianggap baik-baik saja,” jelas Bivitri.
Secara umum, terdapat berbagai kecurangan yang terjadi dalam pemilu tahun 2024, meliputi pemberian bantuan sosial, pemanfaatan wewenang kepala daerah, hingga kecurangan dalam lingkup KPU.
Tulisan ini berisi uraian argumen dari masing-masing ahli hukum tata negara terkait kecurangan pemilu 2024 yang disampaikan dalam film dokumenter Dirty Vote.
Dirty Vote dalam Perspektif Feri Amsari
Melalui film tersebut, Feri Amsari terlebih dahulu memberikan tanggapan terkait narasi “satu putaran” yang digaungkan oleh paslon Prabowo-Gibran dalam pemilu 2024. Menurutnya, hal tersebut tidak semudah itu untuk dilakukan. Terlebih, satu putaran harus memenuhi syarat yang tertuang dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, yakni:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”
Lebih lanjut, Feri Amsari menunjukkan Data Sebaran Kemenangan Pilpres 2009 yang menggambarkan betapa banyak dan luas wilayah kemenangan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sedangkan hasil Survei CSIS Sumatra 13-18 Desember 2023 menyebutkan bahwa pasangan Prabowo-Gibran hanya mendominasi sepertiga wilayah Provinsi Sumatra. Oleh karena itu, menurutnya tidak mudah bagi calon presiden dan wakil presiden untuk memenangkan 50% suara dalam satu putaran.
Di sisi lain, Feri tidak hanya membahas tentang di wilayah mana saja seorang calon presiden dan wakil presiden mendapat dukungan terbanyak. Melainkan juga siapa pemimpin dari wilayah tersebut. Mengingat, ketidaknetralan pejabat daerah juga bisa menjadi faktor atas jumlah suara terhadap suatu calon presiden dan wakil presiden.
Dalam hal ini, ia memberikan contoh satu fenomena yang terjadi di Sorong, Papua Barat, yang mana sang bupati, Yan Piet Moso menandatangani Pakta Integritas dengan Badan Intelijen Daerah yang berisi kesepakatan untuk siap mencari dukungan dan memberi kontribusi suara minimal 60% + 1 kepada Ganjar Pranowo dalam pemilu 2024. Menurutnya, angka tersebut dinilai tidak main-main.
Dirty Vote dalam Perspektif Zainal Arifin Mochtar
Melanjutkan pemaparan dari Feri Amsari, Zainal Arifin berpendapat bahwa penyalahgunaan wewenang kepala daerah menjadi faktor penting untuk memenangkan pemilu, khususnya dari segi persebaran wilayah.
Dalam hal ini, Zainal turut menjelaskan 3 wewenang kepala daerah yang dapat memicu kecurangan pada pemilu, yaitu:
- Memobilisasi birokrasi
- Izin lokasi kampanye
- Memberikan sanksi atau membiarkan kepala desa yang tidak netral.
Pada saat yang sama, ia juga menunjukkan contoh bahwa terdapat 6 kampanye Anies yang izinnya dicabut oleh pemda serta adanya kegiatan di GBK yang melibatkan organisasi Desa Bersatu di mana mereka mendeklarasikan dukungan terhadap paslon Prabowo-Gibran. Meskipun, pada akhirnya Bawaslu DKI menyatakan aksi Desa Bersatu telah melanggar dari konsep semula, yakni sebatas silaturahmi nasional.
Menaggapi hal tersebut, Zainal turut menjelaskan bahwa terdapat 4 wewenang kepala desa yang dapat memicu kecurangan dan disalahgunakan saat pemilu, yakni:
- Data pemilih
- Penggunaan dana desa
- Data penerima bansos, PKH, BLT
- Wewenang alokasi Bansos.
Mirisnya, selain memiliki wewenang yang berpotensi untuk dipakai dalam kecurangan, terdapat salah satu contoh permasalahan yang datang dari kepala desa di wilayah Jawa Tengah. Ia mengaku kerap mendapat tekanan dari berbagai pihak guna memenangkan paslon tertentu. Hal tersebut disertai dengan pemberian bansos secara tiba-tiba yang tidak sesuai dengan data kemiskinan desa.
Dirty Vote dalam Perspektif Bivitri Susanti
Setelah membahas mengenai kecurangan yang terjadi di level bawah, Bivitri Susanti dalam film Dirty Vote mulai mengungkap berbagai kecurangan yang terjadi di kalangan pejabat negara. Masih terkait bansos, Bivitri menyajikan data yang menunjukkan alokasi dana untuk bantuan sosial dari tahun 2014-2024. Data tersebut menunjukkan bahwa pemberian bansos melonjak naik pada setiap tahun pemilu.
Tidak hanya itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan populis lainnya, seperti kenaikan gaji PNS, TNI, Polri, dan PPPK sebesar 8% serta kenaikan gaji pensiunan PNS sebesar 12%.
Hal ini memicu pertanyaan bahwa apakah kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan atau sebatas populisme belaka. Karena ternyata, upah buruh hanya mendapat kenaikan sebesar 3,2-4,4%.
Dalam kesempatan tersebut, Bivitri turut mengajak masyarakat untuk mengingat kembali terkait kesejahteraan rakyat dan hakikat pemberian bantuan sosial.
“Bantuan sosial atau bansos bukanlah bantuan politik dan pejabat. Bantuan sosial itu sebenarnya adalah cara untuk secara cepat melaksanakan amanah Pancasila sila ke-5 soal keadilan sosial,” terang Bivitri.
Kemudian, ia juga menegaskan bahwa bantuan sosial merupakan implementasi dari Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi:
“Fakir Miskin dan Anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”
Namun, pada kenyataannya, bansos masih sering dijadikan sebagai alat untuk berpolitik. Melalui film Dirty Vote, Bivitri menjelaskan salah satu konsep dalam ilmu politik yang disebut “Gentong Babi” atau “Pork Barrel”. Istilah tersebut mengacu pada masa perbudakan di Amerika Serikat yang membuat para budak harus berebut babi yang diawetkan dalam gentong.
Konsep tersebut bermakna bahwa “Gentong Babi” adalah cara berpolitik yang menggunakan uang negara untuk digelontorkan ke daerah-daerah pemilihan oleh para politisi agar dirinya bisa dipilih kembali.
Dirty Vote dalam Perspektif Tiga Ahli Hukum Tata Negara
Setelah mengungkap dengan detail persoalan terkait bantuan sosial dan penyalahgunaan wewenang kepala daerah, tiga ahli hukum tata negara ini turut membahas mengenai puncak dari kecurangan pemilu 2024, yakni permasalahan yang terjadi dalam Mahkamah Konstitusi.
Dimulai dari partai PSI yang semula mencalonkan Gibran sebagai presiden, pada tanggal 9 Maret 2023 mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Pemilu Pasal 169 haruf q yang mengatur batas usia calon presiden dan wakil presiden yang semula 40 tahun menjadi 35 tahun.
Dalam hal ini, Feri Amsari menegaskan pada masyarakat untuk patut diingat bahwa ketua Mahkamah Konstitusi (MK) adalah paman dari Gibran itu sendiri.
Polemik selanjutnya yang dibahas dalam film Dirty Vote yakni tentang putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 yang ternyata meloloskan Gibran yang pada saat ini masih berusia 36 tahun sebagai calon wakil presiden 2024 bersama Prabowo Subianto.
Sebagai penutup film Dirty Vote, ketiga ahli hukum tata negara memberikan closing statement yang berhubungan dengan kecurangan pemilu 2024.
“Semua rencana ini tidak didesain dalam semalam juga tidak didesain sendirian. Sebagian besar rencana kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif untuk mengakali pemilu ini sebenarnya disusun bersama dengan pihak-pihak lain. Mereka adalah kekuatan yang selama 10 tahun terakhir berkuasa bersama,” tutur Feri Amsari.
“Persaingan politik dan perebutan kekuasaan, desain kecurangan yang sudah disusun bareng-bareng ini, akhirnya jatuh ke tangan satu pihak, yakni pihak yang sedang memegang kunci kekuasaan di mana ia dapat menggerakkan aparatur dan anggaran,” sambung Zainal Arifin.
“Tapi sebenarnya ini bukan desain atau rencana yang hebat-hebat amat. Skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya di banyak negara dan sepanjang sejarah. Karena itu, untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan, yang diperlukan cuma dua: mental culas dan tahan malu,” pungkas Bivitri.
Hingga saat ini, tepatnya 13 jam setelah dokumenter itu diunggah, film Dirty Vote telah ditonton oleh lebih dari 2 juta orang dan jumlah komentar mencapai hampir 17.000 orang.