Klasifikasi Delik dalam Hukum Pidana
Literasi Hukum – Hukum pidana merupakan salah satu cabang hukum publik yang mengatur hubungan antara individu dengan negara. Hukum pidana memposisikan negara sebagai “lawan” dari pelaku tindak pidana karena negara wajib melindungi hak-hak warga negara. Sementara itu di sisi lain, pelaku tindak pidana merampas hak tersebut yang menjadi kewajiban negara melindunginya. Oleh karenanya ketika terjadi pelanggaran pidana, maka pelanggar tersebut tidak lagi berhadapan dengan korban pidana melainkan berhadapan dengan negara.
Dalam merealisasikan tujuan tersebut, hukum pidana mengatur beberapa aspek penting di antaranya adalah pembagian delik. Delik sendiri berarti perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana untuk dilakukan dan dikenakan sanksi pidana bagi pelanggarnya. Pengaturan mengenai pembagian delik ini diatur oleh hukum pidana untuk mengklasifikasikan perbuatan atau tindak pidana dan terutama pada aspek pembuktian.
Delik Formil
Delik formil secara harfiah dapat dipahami dari kata sifat yang melekat pada kata delik itu sendiri yaitu “formil”. Kata formil yang menjadi atribut kata delik tersebut berasal dari kata “form” yang berarti bentuk. Oleh karenanya dapat ditarik definisi sederhana dari formil yaitu sesuai atau berkenaan dengan bentuk luarannya.
Kata formil ini sering dipadankan dengan kata formal karena keduanya sama-sama berasal dari kata “form” yang mengacu pada sifat luar dari suatu hal atau wadah dari sesuatu. Contoh ucapan seperti “prosedur ini hanya formalistik belaka” menunjukkan bahwa “prosedur” yang dilekatkan dengan kata “formal” merupakan hanya sebatas luaran atau bukan suatu hal yang menjadi inti. Seandainya prosedur tersebut merupakan inti dari suatu hal maka tidak akan dilekatkan dengan kata “formal” tersebut.
Adapun jika dilekatkan dengan kata “delik” maka setidaknya dapat dipahami sebagai delik atau perbuatan yang mengacu pada bentuk atau “form”. Pengertian asli dari delik formil itu sendiri adalah perbuatan pidana yang telah selesai atau sempurna ketika perbuatan tersebut telah memenuhi unsur dalam undang-undang. Unsur tersebut harus dipenuhi agar perbuatan yang dianggap perbuatan pidana tersebut mempunyai bentuknya sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Undang-undang yang mengatur rumusan perbuatan pidana tersebut pada dasarnya akan mendefinisikan suatu perbuatan pidana dengan serinci mungkin agar tidak bias. Tidak bias yang dimaksud adalah agar undang-undang tersebut, baik seluruh maupun sebagian, tidak dapat digunakan dengan bebas untuk menjerat seseorang yang sebenarnya tidak melakukan perbuatan pidana tersebut.
Agar dapat menghindari bias tersebut, undang-undang yang mengatur suatu perbuatan pidana juga mengatur unsur-unsur dalam perbuatan itu sendiri seperti unsur pelaku, perbuatan, dan niat. Dua unsur pertama tersebut wajib didefinisikan secara eksplisit dan jelas dalam undang-undang. Adapun unsur ketiga tersebut dapat langsung dipahami konteksnya sehingga tidak memerlukan penyebutan secara eksplisit.
Contoh penggunaan ketiga unsur tersebut secara eksplisit dalam satu rumusan delik adalah pada Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur soal pencurian. Bunyi lengkap pasal tersebut adalah “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Jika diuraikan, maka rumusan delik pada pasal tersebut akan terklasifikasikan sebagai berikut:
- Pelaku, yaitu mencakup siapa saja baik individu maupun badan hukum yang dijelaskan dengan rumusan “Barang siapa”.
- Perbuatan, yaitu mengambil barang yang seluruh atau sebagiannya adalah milik orang lain. Dengan rumusan pasal ini, maka barang apa saja yang menjadi hak milik orang lain apakah hak milik tersebut bersifat utuh ataupun sebagian semisal dari menyewa dilarang untuk diambil.
- Maksud atau niat, yaitu tujuan baik yang tersembunyi maupun yang tampak yang menjadi dasar bagi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan pidana. Maksud atau niat perbuatan pencurian ini dijelaskan dalam rumusan “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”. Dengan demikian jika seseorang mengambil kendaraan orang lain dengan maksud memindahkannya agar tidak terkena hujan maka tidak dikategorikan sebagai pencurian karena tidak ada unsur untuk “memiliki”. Kata “memiliki” juga dapat diperluas penafsirannya sehingga mencakup “perbuatan apa saja yang merampas hak milik pemilik barang tersebut”. Oleh karenanya jika ada orang yang mengambil barang orang lain kemudian membuangnya atau menghibahkannya, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai pencurian walaupun bukan “memiliki”.
Di samping itu, rumusan pasal ini juga mengandung “secara melawan hukum”. Dengan adanya rumusan ini maka perbuatan pihak bank yang merampas ases debitur berdasarkan putusan pengadilan (sesuai hukum) atas wanprestasi debitur tidak dikategorikan sebagai “melawan hukum”.
Berdasarkan pemaparan di atas, suatu perbuatan yang memenuhi ketiga unsur tersebut secara kumulatif maka dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian. Terpenuhinya ketiga unsur tersebut telah memenuhi unsur “formil” dari suatu perbuatan karena telah memenuhi unsur yang membentuk suatu perbuatan tersebut. Semisal ada seseorang yang mengambil motor orang lain di sebuah parkiran. Orang tersebut bermaksud memiliki motor tersebut dan menjualnya kembali. Ditambah lagi bahwa orang yang mengambil tersebut tidak pernah menerima pemindahtanganan secara hak dari pemilik motor. Oleh karena itu, perbuatan tersebut dikategorikan sebagai pencurian.
Karakteristik utama delik formil ini adalah perbutan pidana tersebut dianggap selesai ketika sudah terpenuhi tanpa memperhitungkan akibat atau lanjutan dari perbuatan pidana tersebut. Semisal setelah dua hari orang tersebut mencuri motor orang lain, dia berbaik hati mengembalikannya kepada pemiliknya. Walaupun barang curian tersebut telah dikembalikan, perbuatan pencurian tersebut tetap dihitung sebagai pencurian. Ini karena delik formil tidak melihat faktor akibat atau lanjutan dari suatu perbuatan pidana. Apakah barang curian tersebut dikembalikan ataukah tidak perbuatan tersebut tetap dikategorikan sebagai pencurian.