Literasi Hukum – Judicial restraint, doktrin yang menganjurkan agar pengadilan membatasi intervensinya terhadap kebijakan publik, telah menjadi topik perdebatan di banyak negara, termasuk Indonesia. Pertanyaan penting yang muncul adalah: apakah doktrin ini harus diatur secara formal oleh undang-undang, atau sebaiknya dibiarkan mengalir sebagai bagian dari praktik peradilan yang berkembang secara alami?
Sebelum itu perlu dipahami apa itu judicial restraint. Singkatnya, Judicial restraint adalah sebuah doktrin dalam sistem hukum yang menganjurkan agar pengadilan, terutama pengadilan tinggi seperti Mahkamah Agung, tidak terlalu sering atau terlalu jauh mengintervensi kebijakan publik atau keputusan yang dibuat oleh badan legislatif dan eksekutif, kecuali jika keputusan tersebut secara jelas melanggar konstitusi. Prinsip ini menekankan pentingnya menghormati peran dan kewenangan cabang-cabang pemerintahan lainnya dan hanya bertindak ketika ada kejelasan akan pelanggaran hak-hak konstitusional.
Beberapa karakteristik dari judicial restraint adalah:
- Deferensi pada Legislasi: Pengadilan cenderung memberikan penghormatan atau deferensi terhadap kebijakan yang dibuat oleh badan legislatif, menganggap bahwa badan legislatif lebih dekat dengan rakyat dan lebih memahami kebutuhan serta kehendak masyarakat.
- Pembatasan Interpretasi: Pengadilan dengan judicial restraint biasanya menghindari interpretasi konstitusi yang terlalu luas atau kreatif. Mereka cenderung berpegang pada makna asli atau literal dari teks hukum atau konstitusi.
- Prinsip Stare Decisis: Judicial restraint mendukung prinsip stare decisis, yaitu menghormati dan mengikuti preseden atau keputusan sebelumnya dari kasus-kasus yang serupa. Hal ini bertujuan untuk menjaga konsistensi dan stabilitas dalam hukum.
- Keengganan Membatalkan Undang-Undang: Pengadilan yang menerapkan judicial restraint cenderung enggan untuk membatalkan undang-undang kecuali jika undang-undang tersebut jelas-jelas melanggar konstitusi.
Di tengah dinamika politik dan hukum di Indonesia, konsep judicial restraint—doktrin yang menganjurkan agar pengadilan membatasi intervensinya terhadap kebijakan publik—memunculkan perdebatan yang kompleks. Judicial restraint diharapkan dapat menjaga keseimbangan kekuasaan antara cabang-cabang pemerintahan. Namun, di sisi lain, ia juga berpotensi mengabaikan keadilan, terutama dalam kasus-kasus di mana hak-hak konstitusional warga negara dipertaruhkan.
Manfaat Judicial Restraint
Judicial restraint memungkinkan lembaga legislatif dan eksekutif yang dipilih secara demokratis untuk menjalankan tugasnya tanpa gangguan berlebihan dari pengadilan. Sebagai contoh, dalam kasus UU Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi (MK) memilih untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki prosedur pembentukan undang-undang tersebut alih-alih membatalkannya secara keseluruhan. Menghindari interpretasi yang terlalu luas atau kreatif, pengadilan membantu menciptakan stabilitas hukum. Keputusan MK yang menegaskan pentingnya prinsip legalitas
Risiko Judicial Restraint
Judicial restraint dapat mengakibatkan pengabaian hak-hak konstitusional. Contoh yang signifikan adalah keputusan MK terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meskipun banyak pihak mengkritik pasal-pasal tertentu dalam UU ITE sebagai berpotensi mengekang kebebasan berekspresi, MK cenderung menahan diri dari membatalkan ketentuan-ketentuan tersebut, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa kebebasan sipil tidak sepenuhnya terlindungi. Selain itu, judicial restraint dapat berpotensi penindasan. Dalam situasi di mana badan legislatif atau eksekutif gagal melindungi hak-hak minoritas atau kelompok rentan, judicial restraint dapat memperburuk penindasan. Sebagai contoh, keputusan MK yang tidak membatalkan UU Ormas meskipun ada kekhawatiran bahwa undang-undang ini bisa digunakan untuk membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul.
Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menyeimbangkan Judicial Restraint dan Aktivisme Yudisial
Mahkamah Konstitusi Indonesia, sebagai penjaga konstitusi, memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan antara judicial restraint dan aktivisme yudisial. Putusan-putusan MK sering kali menjadi barometer bagaimana doktrin judicial restraint diterapkan di Indonesia. Sebagai contoh, dalam kasus judicial review terhadap UU Pemilu, MK menunjukkan sikap proaktif dengan mengoreksi ketentuan-ketentuan yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Meskipun judicial restraint menawarkan banyak manfaat dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan stabilitas hukum, pengadilan, khususnya Mahkamah Konstitusi, harus selalu siap untuk bertindak ketika hak-hak konstitusional dilanggar. Dalam konteks Indonesia, di mana dinamika politik dan sosial sering kali kompleks, penting bagi pengadilan untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara menghormati kebijakan yang dibuat oleh badan legislatif dan eksekutif, serta memastikan bahwa keadilan dan hak-hak konstitusional warga negara terlindungi. Pada akhirnya, tujuan utama dari sistem hukum haruslah melindungi keadilan dan hak-hak individu, bahkan jika hal ini berarti pengadilan harus mengambil sikap yang lebih aktif dan intervensif.
Pendekatan yang ideal adalah keseimbangan antara pengaturan formal dan fleksibilitas alami. Indonesia bisa mempertimbangkan untuk mengadopsi kerangka hukum yang memberikan panduan umum mengenai judicial restraint, namun tetap memberikan ruang bagi hakim untuk menyesuaikan keputusan mereka berdasarkan konteks dan kebutuhan spesifik dari setiap kasus.
Undang-undang yang mengatur judicial restraint sebaiknya berfungsi sebagai panduan prinsipil, bukan sebagai aturan kaku yang mengikat. Panduan ini dapat mencakup prinsip-prinsip dasar seperti penghormatan terhadap kebijakan publik yang sah, keharusan untuk melindungi hak-hak konstitusional, dan pentingnya konsistensi hukum. Dengan cara ini, kita dapat mengkombinasikan kepastian hukum dengan fleksibilitas yang diperlukan untuk memastikan bahwa keadilan selalu menjadi prioritas utama dalam setiap keputusan pengadilan.