Opini

Menakar Implementasi UU TPKS: Antara Ketersediaan Aturan dan Kesiapan Aparat

Achmad Fahmi
307
×

Menakar Implementasi UU TPKS: Antara Ketersediaan Aturan dan Kesiapan Aparat

Sebarkan artikel ini
Menakar Implementasi UU TPKS: Antara Ketersediaan Aturan dan Kesiapan Aparat
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumArtikel ini membahas implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di Indonesia, mengevaluasi ketersediaan aturan turunannya, dan kesiapan aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual. Artikel ini juga mengulas bagaimana UU TPKS mengakomodasi tindak pidana sekstorsi dan pentingnya keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif bagi korban. Selain itu, diuraikan pula peran pemerintah dalam menyusun aturan pelaksanaan yang mendukung efektivitas UU TPKS.

Dampak Teknologi dan Ancaman Kejahatan Siber Berbasis Gender

Perkembangan teknologi dan informasi telah mengantar manusia menuju peradaban baru yang menyebabkan terjadinya perpindahan realitas kehidupan dari aktivitas nyata ke aktivitas maya (virtual) di ruang digital. Dinamika perkembangan teknologi dan informasi saat ini sudah seperti pedang bermata dua, karena selain memiliki manfaat untuk berinteraksi dengan orang lain, perkembangan tersebut juga berpotensi menghadirkan bentuk kejahatan baru.

Kejahatan yang dilakukan menggunakan alat teknologi informasi seperti ini disebut dengan kejahatan siber (cybercrime). Dalam pengertian yang luas, cybercrime adalah segala tindakan melawan hukum yang dilakukan menggunakan jaringan komputer dan internet untuk mendapatkan keuntungan atau menimbulkan kerugian dari orang lain. Dalam perkembangannya, bentuk cybercrime saat ini tidak hanya sebatas kejahatan hacking, carding, cracking, tetapi berkembang menjadi kejahatan kekerasan seksual di ruang siber yang disebut dengan istilah Kekerasan Siber Berbasis Gender (selanjutnya disebut KSBG).

Menurut Komnas Perempuan, KSBG adalah suatu tindakan kekerasan berbasis gender yang dilakukan dan didukung dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yang menyasar terhadap seorang perempuan dan mengakibatkan penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis berupa pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang yang dilakukan di ruang publik atau dalam kehidupan pribadi.  Salah satu jenis KSBG yang marak terjadi di Indonesia adalah sekstorsi. Tindak pidana sekstorsi adalah bentuk KSBG yang dilakukan dengan cara memeras disertai ancaman menggunakan foto atau video bermuatan seksual milik korban.

Modus Operandi Sekstorsi

Dari beberapa kasus yang penulis ketahui, pelaku sekstorsi umumnya bertujuan untuk mendapatkan imbalan secara materi atau seksual dengan adanya unsur ancaman. Pelaku sekstorsi biasanya dilakukan oleh orang asing yang dikenal di media sosial lalu membangun kepercayaan dan berpura-pura menjalin hubungan asmara dengan korban, biasanya kasus sekstorsi sering ditemukan di aplikasi kencan daring (dating app) atau media sosial lainnya.

Kasus yang belakangan ramai diperbincangkan adalah beredarnya video memilukan seorang ibu inisial R yang dipaksa melakukan aksi pencabulan terhadap anak kandungnya yang masih di bawah umur, hal itu terjadi karena ia diancam foto-foto bermuatan seksual miliknya akan disebarkan ke media sosial oleh pelaku utamanya.

Berdasarkan aksinya tersebut, saat ini R telah ditetapkan sebagai tersangka pencabulan terhadap anaknya. Pada saat dilakukan proses pemeriksaan, R mengaku dihubungi oleh kenalannya di Facebook pada 8 Juli 2023 bernama Icha Shakila. Ia mengaku diminta oleh Icha Shakila untuk mengirimkan foto bermuatan seksual miliknya dengan iming-iming akan diberikan uang lima belas juta. Dengan dalih desakan ekonomi, akhirnya R memenuhi perintah pelaku. Namun, bukan uang yang didapat, pelaku malah memaksa Runtuk membuat video mesum dengan suami atau anaknya jika tak ingin foto seksual miliknya disebarkan ke media sosial. Atas perbuatannya R terancam hukuman hingga 12 tahun penjara dengan sangkaan pasal berlapis.

Menakar Implementasi UU TPKS: Antara Ketersediaan Aturan dan Kesiapan Aparat
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Dasar Hukum Tindak Pidana Sekstorsi

Sejak awal perkembangan internet, KSBG merupakan masalah serius yang telah menjadi fenomena global. Hal ini karena semakin meningkatnya pengguna internet yang tidak diiringi dengan sosialisasi literasi digital. Berdasarkan data Catatan Tahunan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2023 telah menerima aduan kekerasan berbasis gender di ranah publik sebanyak 1.271 aduan. Kekerasan berbasis gender yang paling mendominasi adalah KSBG dengan jumlah kasus sebanyak 838 (66 persen).

Tindak pidana sekstorsi jelas telah merampas hak dasar manusia untuk mendapatkan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman sebagaimana dijamin oleh konstitusi dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), tidak ditemukan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tindak pidana sekstorsi secara eksplisit dan komprehensif.

Hal ini karena di dalam KUHP hanya berupa aturan umum tanpa memperhatikan ciri khas sekstorsi yang dilakukan di ruang digital. Misalnya seperti ketentuan di dalam Pasal 282, 368, 369, dan 335 KUHP yang dikualifikasikan dalam delik kesusilaan, pemerasan, dan pengancaman biasa. Selain itu, pelaku sekstorsi juga dapat dipidana jika terbukti menyebarkan konten pornografi milik korban sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Akan tetapi kedua ketentuan UU tersebut belum sepenuhnya menjangkau seluruh unsur tindak pidana sekstorsi.

Sementara itu, perbuatan penyebarluasan konten bermuatan seksual oleh pelaku terhadap korban kejahatan sekstorsi juga diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (4) UU a quodiatur mengenai larangan penyebarluasan informasi dengan muatan pemerasan. Adapun ancaman pidananya adalah 6 (enam) tahun penjara dan denda satu miliar rupiah.

Pasca diundangkannya UU TPKS pada Mei tahun 2022, telah dirumuskan berbagai macam bentuk tindak pidana kekerasan seksual dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU TPKS, salah satunya adalah kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).

Salah satu bentuk KSBE merujuk pada rumusan Pasal 14 ayat (1) UU TPKS yang menyebutkan adanya unsur perekaman atau pengambilan gambar tanpa consent yang mengandung muatan seksual, kemudian mengirimkan kepada orang lain menggunakan sistem elektronik dan diancam dengan sanksi pidana penjara 4 (empat) tahun dan/atau denda dua ratus juta rupiah. Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (2) UU a quo menegaskan jika perbuatannya bertujuan untuk pemerasan atau pengancaman maka sanksinya diperberat menjadi penjara 6 tahun dan denda tiga ratus juta rupiah.

Implementasi UU TPKS

Lahirnya UU TPKS tentu menjadi angin segar dalam memberantas tindak pidana kekerasan seksual, namun dalam praktiknya implementasi UU TPKS belum cukup efektif menjadi payung hukum perlindungan korban kekerasan seksual. Hal ini terjadi karena aparat penegak hukum masih menggunakan UU ITE untuk penyelesaian kasus KSBE. Padahal aturan di dalam UU ITE idealnya tidak memiliki perspektif gender apalagi keberpihakan kepada korban.

Menurut Prof. Eddy Hiariej jika ditinjau dari segi substansinya, UU TPKS dinilai lebih unggul karena UU a quo tidak lagi berorientasi pada pembalasan saja, melainkan juga terlibat pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Dari ketiga bentuk ini, pertama keadilan korektif bertujuan untuk menghukum pelaku, kedua keadilan restoratif menekankan pada pemulihan hak korban, dan keadilan rehabilitatif ditujukan baik kepada korban maupun pelaku  kekerasan seksual.

Kehadiran UU TPKS sejatinya bertujuan untuk memberantassegala bentuk kekerasan seksual; yakni menangani, melindungi, dan memulihkan korban; melaksanakan penegakan hukum serta menjamin tidak berulangnya kekerasan seksual. selain itu, UU a quo hadir untuk pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif yang selama ini diabaikan oleh negara dalam kasus kekerasan seksual. Misalnya dalam Pasal 30 UU TPKS dengan tegasmemberikan kepastian restitusi terhadap korban.

Selain menjatuhkan pidana terhadap pelaku kekerasan seksual, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi yang harus dibayarkan terhadap korban. Lebih lanjut, mengenai hak-hak korban yang lain juga telah ditegaskan dalam Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) UU a quo yang menyebutkan bahwa hak korban meliputi: hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan yang menjadi kewajiban negara untuk memenuhi hak korban kekerasan seksual.

Meskipun UU TPKS tidak menyebut tindak pidana sekstorsi secara eksplisit, namun di dalamnya telah mengakomodasi ketentuan mengenai tindak pidana sekstorsi dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Oleh karenanya, UU a quo yang sudah berumur dua tahun ini membutuhkan tindak lanjut agar dapat diimplementasikan dan menjadi jawaban masyarakat mengenai kekerasan seksual. Tindak lanjut dapat ditempuh melalui langkah hukum dan non hukum. Mulai dari penyelesaian aturan turunannya dan pengembangan kapasitas untuk meningkatkan sumber dayaaparat penegak hukum saat menangani perkara kekerasan seksual.

Mengenai aturan pelaksanaan, dalam Pasal 91 ayat (1) UU TPKS memberikan amanat bahwa aturan turunannya harus ditetapkan dalam waktu dua tahun sejak UU a quo resmi diundangkan. Artinya, hingga batas waktu berakhir pemerintah baru menerbitkan dua aturan dari tujuh aturan yang seharusnya dibentuk. Kedua aturan turunan tersebut yakni Perpres Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan TPKS dan PP Nomor 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak.

Sedangkan lima aturan turunan lain masih dalam bentuk rancangan, di antaranya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban TPKS; RPP tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban TPKS; RPP tentang Dana Bantuan Korban TPKS; Rancangan Perpres (RPerpres) tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu dalam Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Pusat; dan RPerpres tentang Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Menilik Ruang Kosong Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Opini

Artikel ini membahas keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia, fleksibilitas dalam memilih arbiter, serta tata cara pengajuan koreksi atau keberatan terhadap putusan arbitrase berdasarkan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Temukan pentingnya aturan lebih lanjut terkait tata cara pengajuan koreksi dan keberatan dalam arbitrase.

Pencatatan Palsu Surat dan Keabsahannya
Ilmu Hukum

Artikel ini membahas mengenai pencatatan surat palsu, sebuah tindakan ilegal yang melibatkan pembuatan atau pengubahan surat untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah.

Mandeknya Keadilan Dalam Kasus “Vina Cirebon”
Hukum

Masyarakat Indonesia kembali diperdebatkan dengan rilisnya film “VINA: Sebelum 7 Hari” di bioskop. Film ini mengangkat kasus pembunuhan Vina dan kekasihnya Eky di Cirebon pada 27 Agustus 2016, yang sebelumnya diduga sebagai kecelakaan tunggal.