Literasi Hukum – Pemerintah Indonesia menerbitkan kebijakan penting untuk menjaga ketahanan pangan nasional dengan menyediakan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan atau Food Estate. Namun, kebijakan ini menuai polemik karena mengalihfungsikan kawasan hutan lindung dan produksi untuk proyek food estate. Seiring dengan itu, masyarakat hukum adat menjadi korban karena kehilangan tanah ulayat mereka. Artikel ini membahas dampak negatif kebijakan food estate terhadap lingkungan hidup dan masyarakat adat serta kritik yang dilontarkan terhadap proyek ini.
Oleh: Jordan Mordekhai (Founder Circular Economy Society, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran)
Untuk menjaga ketahanan pangan nasional, pemerintah Republik Indonesia baru-baru ini resmi menerbitkan kebijakan krusial berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 Tentang Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food Estate, yang ketentuannya sedikit diubah dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Serta Penggunaan Kawasan Hutan, dimana Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food Estate atau yang kemudian ditulis dengan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan melegitimasi kawasan hutan produksi dan/atau kawasan hutan lindung dialihfungsikan untuk proyek food estate. Menurut Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Sigit Hardwinarto, mengatakan kebijakan ini merupakan program strategis nasional sehingga dinilai cukup mendesak dalam rangka mendukung kedaulatan pangan di masa depan.[1]
Alih-alih dinilai cukup mendesak, kebijakan food estate sebagaimana tertuang dalam peraturan tersebut justru mengalami polemik berujung kecaman lantaran beleid pengaturannya menuai kontroversial disebabkan Pasal 19 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food Estate, yang menyatakan bahwa ; “penyediaan Kawasan Hutan untuk pembangunan Food Estate dengan mekanisme penetapan KHKP, dilakukan pada: Kawasan Hutan Lindung; dan/atau Kawasan Hutan Produksi. Adapun kawasan Hutan Lindung yang dimaksud menurut pengaturan hukum tersebut ialah hutan lindung yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.[2]
Padahal, perlu diketahui seksama bahwa seandainya kawasan hutan lindung yang dimaksud pasal 19 Permen LHK itu tidak berfungsi sudah seharusnya difungsikan kembali seperti yang tertuang dalam Permen LHK No. P.105/MENLHK/SETJEND/KUM.1/12/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung, Pemberian Intensif, Serta Pembinaan dan Pengendalian Kegiatan Rehabilitas Hutan dan Lahan, bukan di alih fungsikan menjadi penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate.
Ambivalensi politik-hukum semacam ini justru menuai apresiasi ketika pemerintah seperti mengundang kita kembali kepada masa kolonialisme dimana asas domein verklaring dihidupkan kembali yang menggusur tanah-tanah sebagai sintesis politik hukum agrarian kolonial yang berbasiskan pada klaim pernyataan negara memiliki seluruh tanah yang tidak dilekati hak milik secara perorangan, seperti halnya hutan lindung. Alhasil, resultan kebijakan food estate tidak lain adalah ancaman degradasi lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat yang hidup diwilayah hutan lindung, salah satunya ialah masyarakat hukum adat.
Food Estate: Kabar Buruk bagi Ketahanan Pangan Berbasis Kearifan Masyarakat Adat
Salah satu tantangan ancaman terbesar yang ditakutkan dari program food estate adalah hilangnya kepastian atas tanah ulayat masyarakat hukum adat, khususnya bagi masyarakat adat yang belum diakui keberadaannya. Bahkan, sebuah pemberitaan media dari tempo.co baru-baru ini merilis pernyataan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, yang menyatakan bahwa; “Supaya masyarakat adat kehilangan rasa bangga akan sagunya, kehilangan ikatan dengan tanahnya, supaya ketika ada perusahaan yang datang, mereka akan bilang ‘ya sudah ambil saja, isinya cuma sagu kok’, padahal itu kan lumbung pangan mereka.”
Mencetak lahan untuk ‘senggenggam’ beras bagi masyarakat perkotaan nampak seperti ketidakadilan sosio-ekologis yang melahirkan trauma baru bagi masyarakat pasca ditemukan banyaknya kasus kriminalisasi masyarakat adat. Banyak kritik yang dilontarkan terhadap proyek ambisius ini, diantaranya merusak ekosistem, menegasikan peran masyarakat dalam menjaga lingkungan, kebijakan yang tidak proporsional antara anggaran dengan hasil yang akan dicapai, serta mengambil lahan Masyarakat Adat tanpa proses konsultasi apalagi free prior and informed consent.
Dari sisi kebijakan pemberian izin penggunaan kawasan hutan, tahun 2021 KLHK masih memberikan izin penguasaan hutan kepada 259 konsesi IUPH-HA seluas 18,4 Juta Hektare dan 295 konsesi IUPHHK-HT seluas 11,1 Juta Hektare. Selain polemik itu, KLHK sampai dengan tahun 2021 juga telah melepaskan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan dan non kehutanan dengan luas total mencapai 7,4 Juta hektar, yang didalamnya terdapat 21 ribu hektar wilayah adat telah dirampas melalui pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan Sejak tahun 2015-2020.[3]
Relevansinya, apabila kebijakan food estate tetap diselenggarakan dengan tanpa pengakuan atas wilayah kelola adat masyarakat hukum adat, maka eksistensi hutan adat akan digerogoti secara perlahan. Lebih-lebih, harus diakui bahwa implikasi Pasal 5, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan masih mengundang tanda tanya karena hutan lindung kini diplot sebagai hutan negara – sebuah domein klaim ‘milik negara’.
Pengakuan Masyarakat Adat dalam Konsep Pluralisme Hukum sebagai Satu-Satunya Jalan: Sebuah Penutup
Jadi, sudah saatnya kita harus terbuka bahwa Langkah pemerintah dalam menetapkan kebijakan food estate demi memenuhi ketahanan pangan dinilai kurang tepat untuk diterapkan bagi sejumlah pihak, terutama di dalam situasi nihilnya pengakuan masyarakat hukum adat. Perlu diingat bahwa jauh sebelum negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru terbentuk, keberadaan masyarakat hukum adat yang telah eksis hingga saat ini. Maka dari itu, salah satu jalan yang mencerminkan bahwa negara memiliki ‘adab’ terhadap keberadaan masyarakat adat yang telah eksis terlebih dahulu yaitu dengan melaksanakan kebijakan hukum (legal policy) berupa pemberian pengakuan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur mekanismenya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Kalaupun mekanisme ini dipenuhi, sebenarnya masih ada sebuah ‘ganjalan’ karena pengakuan negara yang diberikan masih bersifat prasyarat . John Griffits melalui teori legal pluralism menyampaikan bahwa; “pengakuan negara terhadap hukum adat merupakan fenomena pluralisme hukum lemah untuk menciptakan sistem hukum yang paralel di mana sentralisme/kontrol hukum negara tetap menjadi fokus utamanya, termasuk dalam hal ini negara Indonesia (keterangan ditambahkan)”.[4]
Oleh karenanya, satu-satunya jalan terbaik adalah dengan berdamai bahwa pluralisme hukum adalah bagian dari kenyataan hidup. Praktisnya, Indonesia perlu mengadakan agenda reformasi hukum secara akbar, yakni dengan mengurai restriksi yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama dalam frasa ‘sepanjang kenyataannya masih ada’ karena bunyi pasal tersebut berpotensi menafikan karakteristik hukum asli bangsa Indonesia yang bersifat living law, artinya hukum adat hidup, tumbuh dan berkembang Bersama masyarakat sehingga tidak mudah mati.
Setelah itu, pemerintah Indonesia diajak untuk merefleksikan kebijakan self-regulation melalui kebijakan pengakuan desa adat sebagai solusi alternatif terbaik yang lebih kuat dan cocok pada suasana kebatinan bangsa Indonesia yang bersifat plural saat ini. Hal itu karena Pasal 76 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyebutkan bahwa ; “Aset Desa dapat berupa… hutan milik desa”.
Pasal ini mengandung implikasi logis bahwa tanpa kehadiran perda pengakuan masyarakat hukum adat dari Pemerintah pun, hutan adat tetap eksis melalui mekanisme pengelolaan aset desa. Sementara itu, sebuah alternatif jalan terbaik dari studi perbandingan negara juga menemukan bahwa model pendekatan kolaboratif yang dilakukan Russia dalam mengakui masyarakat hukum adat dapat dicontoh melalui proses pengakuan hak asal-usul dengan mengikuti perkembangan proses etnopolitik yang melibatkan pendekatan sistemik dengan berbasis pada materi historis masyarakat hukum adat secara jelas dengan didekati dari berbagai dimensi seperti ; historical, legal-historical, value-normative, anthropological.
Dengan begitu, pengakuan negara tidak dibatasi pada sebatas norma pengaturan, namun juga penguasaan riil atas tanah secara historis sehingga hutan adat tetap eksis.[5] Barulah setelah itu, kita dapat berbicara kebijakan food estate dalam beragam varian apapun dapat diloloskan demi menjaga ketahanan pangan bangsa Indonesia di masa depan.
Jadi masihkah negara melanggengkan food estate, sekaligus meminggirkan kedudukan masyarakat hukum adat atas tanahnya?
Referensi
- [1] An nisa Ayu Mutia, Pengaturan Pembangunan Food Estate Pada Kawasan Hutan Untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Di Indonesia, Bina Hukum Lingkungan, Volume 6, Nomor 2, Februari 2022, hlm. 226
- [2] Pasal 19, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food estate.
- [3] Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Tangguh Ditengah Krisis, Catatan Akhir Tahun 2021, hlm. 24
- [4] John Griffiths, “Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual”, dalam Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisiplin, ed. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) (Jakarta: Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis [HuMa], 2005, hlm. 74-80.
- [5] Maksim Zadorin, et.all, Governance principles of collaboration between state and indigenous peoples of Arkhangelsk Governorate – Based on archive materials, Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 332, Proceeding on Advances in Social Science, Education and Humanities Research, p. 155