Opini

Polemik Cover Lagu: Hak Cipta, Etika Berkarya dan Konsekuensi Hukumnya

Redaksi Literasi Hukum
1274
×

Polemik Cover Lagu: Hak Cipta, Etika Berkarya dan Konsekuensi Hukumnya

Sebarkan artikel ini
Hak Cipta
Ilustrasi gambar oleh penulis.

Literasi Hukum Artikel ini membahas tentang hak cipta dan etika dalam berkarya musik, terutama dalam konteks meng-cover lagu atau menyanyikan kembali lagu milik orang lain. Artikel juga menjelaskan konsekuensi hukum dan upaya penyelesaian sengketa terkait pelanggaran hak cipta.

Di era digital dan disrupsi teknologi informasi seperti dewasa ini sebagian besar waktu, aktifitas dan interaksi manusia terpaksa beralih pada dunia maya. Entah karena sifatnya yang jauh lebih efisien dalam menjangkau banyak hal, internet dengan kepesatan teknologi yang kian berkembang memberikan beragam layanan dan fitur yang tidak hanya bersifat informatif-aktual, edukatif bahkan media hiburan yang dapat dengan mudah dinikmati oleh semua kalangan. 

Selain sebagai penikmat dan penonton, banyak orang kini marak berlomba-lomba untuk ikut terlibat berkreasi dan berkarya dengan kemampuan dan karakternya masing-masing. Dan dapat kita lihat sekarang bagaimana istilah “content creator” seolah sudah menjadi profesi baru yang menjanjikan di era digitalisasi seperti saat ini. Dan salah satu contoh kecil karya yang kerap dinikmati banyak kalangan ialah musik atau lagu. 

Dapat kita lihat, misalnya, di platform You-Tube, berapa puluh juta lagu diputar setiap harinya atau berapa ratus ribu jumlah judul lagu yang dicari setiap orang saban menitnya. Selain perihal penghasilan yang cukup besar dan menjanjikan, menyajikan suatu karya musik pada akhirnya semacam komoditas yang dapat menjangkau popularitas jauh lebih cepat. Namun, meski pun dirasa menjadi kegiatan yang mudah dan lumrah, bukan berarti setiap orang atau content creator bisa semaunya membuat atau memproduksi karyanya. Banyak ketentuan yang juga mesti diperhatikan, bahkan tidak hanya aturan tertulis tetapi juga etika dalam berkreasi. 

Hal tersebut dapat kita amati dari kejadian yang belakangan ini terjadi. Perilaku meng-cover lagu atau menyanyikan kembali lagu milik orang lain menjadi diskursus dan polemik yang kini membuat interaksi linimasa sosial media dipenuhi oleh komentar dan pendapat pro dan kontra baik menyangkut Hak Cipta, etika hingga konsekuensi hukumnya. Bahkan, sebagian musisi, pencipta atau yang mengklaim memiliki lagu yang kerap di-cover merasa keberatan entah karena si content creator tidak mencatutkan nama si pemilik lagu, tidak ada itikad baik untuk meminta izin sebelumnya atau tidak ada kesepakatan bersama bahkan sampai dinilai melanggar Hak Cipta.

Hak Cipta dan Etika Berkarya

Jika merujuk pada penjelasan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 yang dimaksud sebagai Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Bahkan Hak Cipta merupakan hak eksklusif yang tidak hanya meliputi hak ekonomi untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptannya, tetapi juga hak moral yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk misalnya tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 5 UU Hak Cipta. 

Dan sebagai pengetahuan bersama bahwa tidak semua tindakan meng-cover lagu dapat dikatakan melanggar hak cipta dengan catatan beberapa syarat dan ketentuan. Hal tersebut dapat kita lihat dalam Pasal 43 huruf d UU Hak Cipta yang menyatakan bahwa perbuatan dan penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan Pencipta atau pihak terkait, atau Pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas perbuatan dan penyebarluasan maka dengan demikian tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta.

Akan tetapi apabila si pelaku cover lagu tersebut tidak mengindahkan ketentuan tersebut baik hak moral maupun hak ekonomi dan perbuatannya tersebut dimaksud untuk tujuan komersial atau menguntungkan diri pribadi maupun kelompoknya tanpa se-izin Pencipa atau para pihak yang mempunyai hak atas karyanya tersebut, maka perbuatan meng-cover lagu tersebut dapat dikatakan telah melanggar Hak Cipta.

Konsekuesi Hukum dan Upaya Penyelesaian Sengketa

Untuk melindungi kepentingan hukum pemegang Hak Cipta maka dapat dilakukan melalui dua cara, yakni secara perdata dengan cara meminta ganti kerugian yang dapat berupa permintaan untuk menyerahkan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari hasil pelanggaran Hak Cipta melalui gugatan perdata ke Pengadilan Niaga (Pasal 99 Ayat (1) UU Hak Cipta) maupun secara pidana seperti misalnya yang ditentukan dalam Pasal 113 Ayat (2) UU Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500 Juta atau yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU ITE.

Selain upaya litigasi yang dapat ditempuh apabila timbul sengketa antara para pihak yang berselisih, adapun penyelesaian lain yang dapat dilakukan yakni melalui anternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan (alternative dispute resolution) seperti dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi maupun konsiliasi.

Akan tetapi kita masih pesimis meski sudah tersedia payung hukum yang melindungi para pelaku seni atas karyanya namun dalam praktiknya masih saja menemui kendala dan tidak ada titik temu entah karena ketidaktegasan subtansi hukumnya, budaya hukum masyarakat yang masih rendah maupun struktur penegakan hukumnya yang masih belum efektif dalam menyelesaikan sengketa. 

Sebagai alternatif penyelesaian masalah tersebut, dan berkat adanya perkembangan teknologi yang sejalan dengan aturan hukum yang berlaku, You-Tube sebagai salah satu platform media sosial terbesar dan penyumbang terbanyak lahirnya para “musisi cover” telah memiliki fitur yang dapat mendeteksi lagu yang memiliki kesamaan nada. Dan apabila diduga adanya kesamaan tersebut maka secara otomatis membagi pendapatan atau royalti pelaku cover kepada penyanyi aslinya. Bahkan tidak jarang You-Tube menindak tegas dengan memblokir video atau konten yang dinilai melanggar Hak Cipta.

Dengan demikian dapat kita pelajari bersama bahwa keberadaan pagar-pagar aturan dan etika tersebut bukan berarti membatasi para content creator dalam berekspresi, tetapi dimaksudkan untuk menciptakan suatu ruang ekosistem berkarya yang sehat dan adil yang menjadi kesepakatan dan keinginan bersama.

*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.