Literasi Hukum – Dalam hukum perdata Indonesia, sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Pasal ini menetapkan empat syarat utama yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian dapat dianggap sah dan mengikat para pihak yang terlibat. Namun, salah satu kesalahpahaman yang sering muncul adalah anggapan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis agar memiliki kekuatan hukum. Padahal, berdasarkan ketentuan hukum perdata, bentuk tertulis bukanlah syarat mutlak bagi sahnya suatu perjanjian.
Syarat Sah Perjanjian
Pasal 1320 BW menetapkan empat syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
-
Kesepakatan para pihak
- Perjanjian harus didasarkan pada kesepakatan atau kehendak bebas dari para pihak yang terlibat. Kesepakatan ini tidak boleh diperoleh melalui paksaan, kekhilafan, atau penipuan.
-
Kecakapan untuk membuat perjanjian
- Para pihak yang membuat perjanjian harus memiliki kapasitas hukum, yakni telah dewasa (minimal 18 tahun atau sudah menikah) dan tidak berada dalam kondisi yang menyebabkan ketidakcakapan hukum, seperti berada di bawah pengampuan.
-
Suatu objek tertentu
- Perjanjian harus memiliki objek yang jelas dan dapat ditentukan, baik berupa barang maupun jasa yang diperjanjikan.
-
Sebab yang halal
- Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, atau kesusilaan. Jika sebab perjanjian melanggar ketentuan tersebut, maka perjanjian menjadi batal demi hukum.
Dalam ketentuan Pasal 1320 BW, tidak disebutkan bahwa perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis agar dapat dianggap sah. Dengan kata lain, perjanjian lisan pun sebenarnya sah sepanjang memenuhi keempat syarat di atas. Sebagai contoh, perjanjian jual beli yang dilakukan secara lisan antara dua pihak tetap memiliki kekuatan hukum, asalkan terdapat kesepakatan, para pihak cakap hukum, objeknya jelas, dan tujuannya tidak bertentangan dengan hukum. Namun, meskipun perjanjian lisan tetap sah, perjanjian tertulis tetap disarankan dalam praktik hukum untuk memberikan bukti yang kuat dalam hal terjadi perselisihan di kemudian hari.
Jenis Perjanjian yang Wajib Tertulis
Meskipun secara umum perjanjian tidak diwajibkan dalam bentuk tertulis, ada beberapa jenis perjanjian yang berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dibuat secara tertulis agar memiliki kekuatan hukum. Beberapa contoh perjanjian yang memerlukan bentuk tertulis antara lain:
-
Perjanjian yang bersifat formal
- Perjanjian-perjanjian tertentu, seperti perjanjian jual beli tanah (Pasal 1879 BW), perjanjian perkawinan (Pasal 29 UU Perkawinan), dan perjanjian kredit perbankan, harus dibuat dalam bentuk tertulis atau bahkan dalam akta notaris agar sah menurut hukum.
-
Perjanjian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk dibuat tertulis
- Beberapa peraturan khusus mewajibkan bentuk tertulis, seperti dalam transaksi jual beli properti yang harus dituangkan dalam akta jual beli (AJB) di hadapan notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
-
Perjanjian dengan nilai transaksi besar atau melibatkan banyak pihak
- Dalam praktik bisnis, perjanjian tertulis lebih disukai untuk memastikan kepastian hukum dan meminimalkan potensi sengketa.
Pasal 1320 BW menetapkan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, namun tidak mengharuskan perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis. Dengan demikian, perjanjian lisan tetap dianggap sah selama memenuhi syarat kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal.
Namun, dalam praktik hukum, perjanjian tertulis tetap dianjurkan untuk menghindari kesulitan pembuktian jika terjadi sengketa. Selain itu, beberapa jenis perjanjian memang diwajibkan oleh undang-undang untuk dibuat dalam bentuk tertulis, terutama yang menyangkut hak atas tanah, perkawinan, dan transaksi bernilai besar. Oleh karena itu, pemahaman yang tepat mengenai syarat sah perjanjian sangat penting bagi masyarakat agar dapat membuat dan menjalankan perjanjian dengan benar sesuai dengan hukum yang berlaku.