Hukum AdatHak Asasi ManusiaMateri Hukum

Persoalan Hak Ulayat Desa Pakel: Sejarah Konflik dan Perjuangan Warga

Muhammad Fatkhul Fikri
57
×

Persoalan Hak Ulayat Desa Pakel: Sejarah Konflik dan Perjuangan Warga

Sebarkan artikel ini
Persoalan Hak Ulayat Desa Pakel
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi Hukum – Persoalan hak ulayat menjadi perhatian sejak lama. Perhatian khusus tentang hak ulayat lahir karena berdampak secara hukum maupun sosial, terutama bagi masyarakat pedesaan Indonesia. Dilansir dari media hukumonline.com, tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat. Hak ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Sedangkan menurut G. Kertasapoetra, hak ulayat adalah hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Masyarakat memiliki hak untuk menguasai tanah, di mana pelaksanaannya diatur oleh kepala suku atau kepala desa.

Pengakuan Hak Ulayat dalam UU Pokok Agraria

UU No. 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria (UUPA) mengakui adanya hak ulayat. Pengakuan itu disertai dengan dua syarat, yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Artikel ini membahas bagaimana pengakuan sebuah hak ulayat dalam masyarakat adat, terkhususnya masyarakat petani Pakel, Banyuwangi, yang telah memperjuangkan tanah ulayatnya hingga saat ini.

Sejarah Konflik Tanah Pakel

Menurut catatan Walhi, riwayat klaim warga atas tanah di Desa Pakel bermula sejak masa penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial Belanda, melalui Bupati Banyuwangi Achmad Noto Hadi Soeryo sebagai Bupati/Asisten Residen di Banyuwangi atas nama Sri Baginda Ratu Belanda, pernah memberi hak untuk membuka hutan yang berlokasi di Desa Pakel pada 11 Januari 1929.

Dimulai pada tahun 1925, dari 2956 orang terdapat tujuh orang perwakilan masyarakat yang mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi, kepada pemerintah kolonial Belanda. Selang empat tahun kemudian, pada tanggal 11 Januari 1929, permohonan tujuh orang tersebut dikabulkan dan diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4000 bahu (3000 hektar) oleh Bupati Banyuwangi.

Meski mengantongi surat permohonan pemberian lahan (akta 1929) dari pemerintah bupati Banyuwangi Achmad Noto Hadi Soeryo, terdapat banyak intimidasi dan perlakuan kekerasan dari kolonial Belanda. Meski mendapati tindakan represif tersebut, masyarakat Pakel tetap berjuang demi memperoleh hak atas tanahnya.

Berlanjut ke pasca kemerdekaan, masyarakat Pakel tetap bertahan hidup dengan mengandalkan tanah yang telah diberikan oleh pemerintah Belanda, yakni Akta 1929, hingga pemerintah Indonesia menerbitkan UUPA 1960. Upaya reforma agraria belum sampai ke wilayah Banyuwangi, tetapi petani serta masyarakat Pakel menunggu sembari menggunakan lahan Akta 1929 untuk bertanam demi melangsungkan kehidupan mereka. Lalu, pada bulan September 1965, munculnya tragedi besar pemberontakan PKI yang membuat masyarakat Pakel terdampak. Anggapan bahwa orang yang melawan dan memperjuangkan haknya adalah PKI membuat masyarakat Pakel yang memperjuangkan tanahnya terbungkam dan tidak berani bersuara untuk memperjuangkan haknya.

Akuisisi Lahan oleh PT. Bumi Sari

Lalu, pada tahun 1970, lahan garapan petani Pakel yang sehari-hari digunakan untuk menanam diakuisisi oleh PT. Bumi Sari. Pada 13 Desember 1985, PT. Bumi Sari mendapat HGU atas tanah seluas 1.189,89 hektare yang terbagi menjadi dua sertifikat, yakni Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing seluas 1.902.600 meter persegi dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon seluas 9.995.500 meter persegi. Namun, Walhi menyebut bahwa dalam pelaksanaannya, PT. Bumi Sari mengklaim izin pengelolaan kawasan hingga ke Desa Pakel. Secara jelas, kita dapat melihat dari Sertifikat HGU yang diberikan, Desa Pakel tidak termasuk dalam penggunaan lahan untuk korporasi. Dipertegas oleh BPN Banyuwangi bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk ke dalam HGU PT. Bumi Sari.

Perjuangan Masyarakat Pakel

Di tengah konflik yang terjadi di Desa Pakel, Banyuwangi, masyarakat Pakel terus memperjuangkan dan merebut kembali hak atas tanahnya. Negara haruslah membuka mata lebar-lebar. Kemerdekaan bukan hanya sekadar simbolis saja, namun adanya kesejahteraan rakyat di dalamnya. Tertuang dalam sila kelima narasi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menjadikan negara harus memberikan implementasi secara fundamental. Pemberian HGU oleh pemerintah yang dikantongi oleh PT. Bumi Sari haruslah melihat historis dari tanah tersebut. Secara jelas, pemberian HGU hanya bisa dilakukan di atas tanah yang berstatus tanah negara.

Sementara, sebagian lahan yang diberikan kepada perusahaan merupakan tanah yang masih aktif dikuasai dan diusahakan oleh warga dan belum adanya proses pemberian ganti rugi maupun kebijakan relokasi bagi warga yang terdampak. Kategorisasi tanah yang bisa dijadikan objek HGU meliputi tanah negara dan tanah hak pengelolaan diatur dalam Pasal 21 PP No. 18/2021. Sementara tanah Desa Pakel tidak dapat dikategorikan sebagai tanah negara karena masyarakat Desa Pakel telah mengusahakan tanah tersebut jauh sebelum kemerdekaan dan adanya bukti berupa Akta Van Verwizing tahun 1929 dari pejabat yang berkuasa saat itu.

Apalagi warga sudah menguasai lahan tersebut jauh sebelum sertifikat HGU terbit. Berdasarkan hak-hak tersebut, masyarakat juga telah mengusulkan transformasi hak untuk memperbaiki status hukum instrumen hak tersebut, yang kemudian dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang namun tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah saat ini.

Permohonan Perubahan Hak atas Tanah

Pada tahun 1963 hingga 1965, masyarakat Pakel mengajukan permohonan perubahan hak atas tanah dan permohonan hak milik berdasarkan Akta 1929 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Namun, pemerintah tidak menanggapinya. Surat tersebut berisi permohonan pendaftaran tanah untuk meningkatkan hasil produksi masyarakat dan mengingatkan bahwa tanah ini adalah hak kami, yang ditujukan kepada Basuki-Syutyo Haseibu selaku Kepala Daerah Kabupaten Banyuwangi pada saat itu.

Penerbitan HGU oleh BPN Banyuwangi atas nama PT Bumi Sari merampas hak-hak masyarakat, khususnya hak untuk mandiri mengurus dan mengelola wilayah desanya, serta bertentangan dengan kewajiban Konstitusi Negara Republik Indonesia. Pasal 28 seluruhnya dan Pasal 33(3). Sebab, permasalahan HGU terletak di tengah parahnya kemiskinan di wilayah tersebut yang berakibat banyaknya warga yang tidak memiliki tanah. Sehingga, penerbitan HGU melanggar hak masyarakat dan memperpanjang sengketa agraria.

Sesuai UUPA 60, HGU dari PT Bumi Sari haruslah dievaluasi secara fundamental dan segera mempercepat proses pengembalian enclave kepada negara, serta mempercepat proses pengembalian kepada penduduk melalui Desa Pakel. Dasar pemikirannya berasal dari penjelasan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUPA 60 yang secara umum menyatakan bahwa dalam pengelolaan tanah tidak diperbolehkan penguasaan yang melampaui batas, apalagi sampai menyebabkan ketimpangan. Pasal ini sangat menekankan bahwa pengelolaan lahan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional, khususnya dalam upaya melindungi masyarakat yang rentan secara ekonomi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.