Literasi Hukum – Perkawinan dini masih menjadi salah satu persoalan mendesak di Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengubah batas usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan bertujuan untuk memperkuat perlindungan terhadap anak dari dampak negatif pernikahan usia dini. Namun, di banyak daerah, terutama di wilayah dengan pengaruh kuat adat istiadat, praktik perkawinan dini tetap berlangsung. Hal ini menimbulkan tantangan serius dalam implementasi undang-undang tersebut dan menyoroti perlunya sinergi antara hukum nasional dan hukum adat dalam pencegahan perkawinan dini.
Hukum adat diakui dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan konstitusional ini memberikan landasan kuat bagi hukum adat untuk tetap eksis dan memainkan peran signifikan dalam mengatur hubungan-hubungan sosial di komunitas-komunitas adat. Namun demikian, dalam konteks perkawinan dini, penerapan hukum adat di beberapa daerah bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan hak anak yang diakui secara internasional, khususnya terkait dengan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.
Perkawinan anak, terutama anak perempuan, membawa konsekuensi yang luas, baik dari segi kesehatan, sosial, maupun hukum. Anak-anak yang menikah pada usia muda berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan, yang dapat membahayakan kesehatan ibu dan anak. Secara sosial, anak yang menikah dini sering kali kehilangan akses terhadap pendidikan dan peluang ekonomi, yang memperbesar siklus kemiskinan antargenerasi. Dari sudut pandang hukum, perkawinan dini melanggar hak-hak anak yang dilindungi oleh berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan kewajiban negara untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal.
Hukum adat sebenarnya dapat memainkan peran yang konstruktif dalam mencegah perkawinan dini, asalkan dikelola dengan baik dan diberdayakan untuk sejalan dengan norma-norma perlindungan anak yang diatur dalam hukum nasional dan internasional. Di beberapa komunitas adat di Indonesia, terdapat norma yang mendukung penundaan perkawinan hingga usia dewasa. Misalnya, di beberapa daerah, hukum adat mengharuskan calon pengantin untuk mencapai usia tertentu dan memenuhi syarat kematangan ekonomi maupun kesiapan fisik sebelum menikah. Hal ini menunjukkan bahwa hukum adat, bila diformulasikan dengan tepat, dapat menjadi instrumen yang mendukung upaya pemerintah dalam menunda usia pernikahan dan melindungi hak-hak anak.
Namun, tantangan yang dihadapi adalah bahwa di banyak daerah, hukum adat tetap mengizinkan perkawinan anak, yang kerap didorong oleh faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Tekanan untuk menjaga kehormatan keluarga, ketidakmampuan ekonomi, serta keterbatasan akses terhadap pendidikan sering kali menjadi pendorong utama praktik perkawinan dini. Untuk itu, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dari pemerintah, yang melibatkan tokoh-tokoh adat dalam proses edukasi dan advokasi mengenai dampak negatif perkawinan dini. Tokoh adat memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk pandangan masyarakat dan dapat menjadi agen perubahan yang efektif apabila dilibatkan dalam upaya pencegahan perkawinan anak.
Kolaborasi antara hukum nasional dan hukum adat dalam pencegahan perkawinan dini sangat penting. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang tidak hanya memperketat pengawasan terhadap praktik perkawinan anak, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan tersebut diterima oleh masyarakat lokal dengan cara yang menghargai adat istiadat setempat. Pendekatan ini harus bersifat dialogis, di mana pemerintah dan masyarakat adat dapat bekerja sama untuk menyesuaikan norma adat dengan prinsip-prinsip perlindungan anak. Pengalaman di beberapa daerah yang telah berhasil mengintegrasikan norma adat dengan kebijakan perlindungan anak dapat menjadi model bagi daerah lain di Indonesia.
Selain intervensi hukum, pendidikan juga harus diprioritaskan sebagai strategi pencegahan perkawinan dini. Pemerintah harus memastikan bahwa anak-anak, terutama di komunitas adat, memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas dan berkelanjutan. Pendidikan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak anak serta membuka peluang ekonomi yang dapat mengurangi ketergantungan pada pernikahan sebagai solusi atas tekanan sosial dan ekonomi. Dengan demikian, pendidikan menjadi kunci utama untuk memutus siklus perkawinan dini dan meningkatkan kualitas hidup anak-anak di daerah adat.
Kesimpulannya, hukum adat memiliki potensi besar dalam mencegah perkawinan dini di Indonesia, asalkan ada upaya sinergi antara pemerintah dan masyarakat adat untuk mengharmoniskan norma adat dengan prinsip-prinsip perlindungan hak anak yang diakui. Pemerintah harus mengambil pendekatan yang lebih dialogis dan inklusif dalam merumuskan kebijakan yang melibatkan tokoh adat serta mengedepankan pendidikan sebagai instrumen penting dalam upaya pencegahan. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia dapat menurunkan angka perkawinan dini dan memastikan perlindungan optimal bagi generasi muda.