Literasi Hukum – Kehadiran artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan membawa banyak pengaruh terhadap kehidupan manusia. Keberadaan AI tidak hanya berdampak pada perkembangan teknologi, bisnis, maupun ekonomi, tetapi juga memiliki efek disrupsi pada sektor hukum.
Melalui artikel ini, akan dibahas mengenai artificial intelligence dan pengaruhnya terhadap profesi hukum.
Mengenal Artificial Intelligence (AI)
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artificial intelligence atau kecerdasan buatan ialah suatu program komputer dalam meniru kecerdasan manusia, seperti mengambil keputusan, menyediakan dasar penalaran, dan karakteristik manusia lainnya.
Adapun Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial mendefiniskan AI sebagai bentuk pemrograman pada suatu perangkat komputer dalam melakukan pemrosesan dan/atau pengolahan data secara cermat.
Implementasi artificial intelligence di Indonesia telah membawa perubahan besar terhadap efisiensi dan inovasi pada berbagai sektor kehidupan masyarakat.
Regulasi tentang Artificial Intelligence
Pemanfaatan AI selaku teknologi terbaru memerlukan tata kelola sehingga dapat dijalankan secara aman dan efektif. Penerapan regulasi terhadap kecerdasan buatan ini penting dilakukan guna mengurangi risiko dari dampak maupun kerugian yang dapat ditimbulkan. Dengan begitu, ancaman yang mungkin muncul dari perkembangan teknologi artificial intelligence dapat diminimalisasi.
Dalam hal ini, Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria menyatakan bahwa negara Indonesia belum memiliki regulasi khusus tentang artificial intelligence. Akan tetapi, pemanfaatan teknologi ini masih dapat diakomodasi melalui kebijakan existing seperti UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE).
Di samping itu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kominfo telah menerbitkan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisian. Pada Surat Edaran (SE) tersebut dijelaskan beberapa hal, seperti apa itu kecerdasan artifisial hingga etika yang berlaku.
Merujuk pada SE di atas, etika kecerdasan artifisial merupakan landasan yang mengatur prinsip dan norma etis dalam penyelenggaraan pemrograman berbasis artificial intelligence yang didasari dengan nilai inklusivitas, transparansi, kemanusiaan, dan keamanan dalam penyelenggaraan sumber daya data yang tersedia.
Pengembangan pedoman etika artificial intelligence ini bertujuan untuk memastikan bahwa teknologi tersebut digunakan dengan mempertimbangkan prinsip etis, kehati-hatian, keselamatan, dan berorientasi pada dampak positif.
Pengaruh Artificial Intelligence terhadap Profesi Hukum di Indonesia
Profesi hukum merupakan profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh aparatur hukum dalam pemerintahan suatu negara. Profesi dalam bidang ini berperan dalam menyediakan jasa yang menangani permasalahan hukum.
Di balik sisi kompleksitas dari artificial intelligence, kehadiran teknologi ini turut membuka peluang untuk mempercepat pekerjaan profesi hukum. Salah satu kemajuan ini telah diterapkan sejak tahun 2017 di Kota Hangzhou, China. Mereka menggunakan kecerdasan artifisial dalam profesi hakim. Namun, tidak semua permasalahan dapat ditangani oleh hakim AI tersebut.
Adapun sengketa hukum yang dapat ditangani oleh hakim AI hanya terbatas pada aspek digital, seperti perdagangan online, masalah tentang hak cipta, serta klaim liabilitas pada produk-produk yang dijual pada e-commerce.
Meski beberapa kasus atau pekerjaan bisa ditangani oleh kemajuan artificial intelligence, profesi hakim tidak akan bisa sepenuhnya diambil alih oleh teknologi AI. Penggunaan kecerdasan artifisial secara yuridis telah tertuang dalam Pasal 28C Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi, meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Namun, kecerdasan artifisial jika ditinjau dari segi normatif tetap tidak bisa menggantikan profesi hakim. Hal ini merujuk pada syarat-syarat seorang hakim yang tertulis dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Melalui pasal tersebut disyaratkan bahwa untuk bisa menjadi Hakim Pengadilan Negeri, harus memenuhi kriteria berikut:
- WNI
- Bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa
- Setia pada Pancasila dan UUD 1945
- Bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam “Gerakan Kontra Revolusi G30.S./PKI” atau organisasi terlarang sejenisnya
- PNS
- Sarjana hukum
- Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun
- Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Dilanjutkan pada Pasal 15 ayat (1), syarat untuk menjadi Hakim Pengadilan Tinggi meliputi:
- Syarat-syarat seperti dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf, a, b, c, d, e, f, dan h
- Berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun
- Berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun menjadi Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri atau 15 (lima belas) tahun menjadi Hakim Pengadilan Negeri.
Tidak hanya itu, Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial juga menjelaskan tentang tanggung jawab atas penggunaan teknologi AI, yang mana salah satunya memastikan bahwa kecerdasan artifisial tidak diselenggarakan untuk menjadi penentu atas kebijakan dan/atau pengambil keputusan yang menyangkut kemanusiaan. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan artificial intelligence di Indonesia saat ini belum bisa dipakai untuk menggantikan putusan hakim. Meski begitu, teknologi AI dapat dimanfaatkan untuk memberi rekomendasi atau masukan terhadap hakim sebelum memutus suatu perkara.
Teknologi AI juga tidak dapat menggantikan profesi hukum seperti advokat karena untuk menjalankan profesi tersebut harus memenuhi aspek-aspek yang ada dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Begitu juga profesi jaksa yang harus memenuhi syarat yang telah diatur pada UU Nomor 16 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan.
Meski tidak sepenuhnya mengambil alih profesi hukum, teknologi AI memiliki pengaruh besar dalam membantu pekerjaan profesi ini. Contohnya, artificial intelligence mampu melakukan analisis data, menelaah dokumen, dan seterusnya.