Sekilas Isu
Dunia hukum sekali lagi berguncang hebat disebabkan putusan monumental, dalam arti negatif, yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kepada Harvey Moeis. Putusan ini mengundang kontroversi yang mencedarai rasa keadilan masyarakat jika mengutip bahasanya Prof. Mahfud MD dalam kanal YouTube-nya. Penyebabnya adalah tidak lain putusan pengadilan yang hanya menjatuhkan sanksi pidana 6.5 tahun penjara, lebih rendah dari tuntutan Jaksa sebesar 12 tahun penjara padahal kerugian negara yang disebabkan sangat fantastis yaitu Rp. 300 triliun.
Putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Moeis terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi ini menuai kontroversi yang luar biasa dari publik. Publik mulai membandingkan putusan Moeis ini dengan putusan lain dengan disparitas (ketimpangan) putusan yang menggitu menganga. Sebagai contoh, publik menyoroti putusan lain yang serupa seperti putusan terhadap Budi Said yang merugikan keuangan negara Rp. 1,1 triliun dan dijatuhi 15 tahun penjara. Adanya kejanggalan berupa disparitas putusan karena ketimpangan antara jumlah kerugian negara dengan sanksi pidana yang dijatuhkan.
Yang menarik adalah adanya isu yang mendukung putusan pengadilan ini dengan berdalih bahwa putusan pengadilan tidak saling mengikat satu dengan yang lain. Selama hakim memutus berdasarkan undang-undang, maka putusan hakim tersebut sudah benar dan pasti adil karena begitulah ketentuan undang-undang. Putusan pengadilan mengenai Moeis tersebut jika disorot dari sudut pandang normatif dan dalam paradigma positivistis memang sudah benar adanya. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sendiri sudah membatasi penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun sementara putusan pengadilannya adalah 6.5 tahun.
Hakim hanya perlu melihat ke undang-undang dan tidak perlu melihat putusan hakim yang serupa dalam pertimbangannya, itulah yang menjadi argumen pendukung putusan Moeis ini. Di samping itu, isu yang diangkat juga adalah Indonesia menganut civil law system dan bukan common law system sehingga hakim tidak terikat putusan sebelumnya atau bahkan putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Pernyataan ini menggelitik bagi penulis terutama pada argumen yang dibangun di atas dikotomi sistem hukum dan menyandarkan nilai keadilan hanya sebatas normatif belaka. Sejauh manakah relevansi dikotomi sistem hukum tersebut dan apakah nilai keadilan hanya dapat dibatasi hanya berdimensi normatif belaka?
Dikotomi Sistem Hukum, Stagnasi Progresivitas Hukum
Sistem hukum di dunia secara garis besar terbagi menjadi common law system dan civil law system. Kedua sistem ini memiliki karakterisitik dan pengikutnya masing-masing. Negara-negara yang menganut civil law system biasanya merupakan negara jajahan Perancis dan turunannya karena basis sistem hukum ini adalah Napoleon Code yang dianggap sebagai kodifikasi hukum pertama. Napoleon Code yang diadopsi di Perancis ini berkembang dan menyebar di bawah kekuasaan Perancis atas negara-negara jajahannya. Oleh karenanya Belanda dan Indonesia menganut sistem ini karena berada di bawah bayang-bayang kolonialisme Perancis.
Ciri utama sistem hukum ini adalah hakim didudukkan sebagai corong undang-undang atau hanya mendikte ulang apa yang dikatakan undang-undang. Ruang progresivitas hukum melalui inovasi hakim dalam menemukan hukum tidak terlalu luas. Semua yang termaktub dalam undang-undang harus dipatuhi dan undang-undang tidak boleh disimpangi dalam putusan hakim sekalipun. Oleh karenanya, undang-undang memberikan batas maksimal dan minimal semisal dalam hal sanksi agar hakim dapat bermanuver selama berada dalam koridor undang-undang tersebut.
Jika berbeda dengan undang-undang, maka hakim harus menjabarkan legal decidendi atau pertimbangan hukumnya demi mempertahankan argumen putusan tersebut. Yurisprudensi yang menjadi preseden bagi hakim hanya dapat diadopsi jika putusan tersebut melahirkan norma yang tidak diatur dalam undang-undang seperti “Putusan Cerobong Asap”. Implikasinya adalah terjadinya disparitas putusan yang sangat lebar karena putusan hakim yang satu dengan yang lain tidak saling terikat.
Berkebalikannya dengan civil law system, common law system mengusung adanya prinsip stare decisis atau hakim terikat dengan putusan pengadilan sebelumnya terutama pada pengadilan yang lebih tinggi. Pada sistem hukum ini, hakim tidak berpatok pada undang-undang karena memang tradisi kodifikasi hukum tidak terlalu mendapatkan tempat pada sistem hukum ini. Hakim yang akan memutus harus mempertimbangkan putusan hakim sebelumnya dan sangat dicela jika menyalahi putusan sebelumnya. Namun jika hakim tersebut menemukan ketidaksesuaian antara putusan lama dengan kasus konkret yang sedang dihadapi, maka hakim tersebut dapat menjatuhkan putusan yang berbeda selama dapat membangun argumen terhadap bentuk “penyimpangan” tersebut. Dengan adanya praktik seperti itu, disparitas putusan akan sangat jarang ditemukan karena setiap hakim terikat dengan yurisprudensi kecuali dalam keadaan khusus.
Dikotomi secara rigid antara civil law system dan common law system tidak lagi relevan dengan dinamika progresivitas hukum. Berinteraksinya suatu negara kepada dunia membuka peluang saling memengaruhi terutama pada aspek sistem hukum yang berlaku. Indonesia sendiri memang tidak menganut prinsip stare decisis ini karena menganut prinsip legal uniformity atau keseragaman hukum sebagaimana yang tertuang dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
Melalui Mahkamah Agung (MA), sistem peradilan Indonesia sendiri sudah mulai menerima prinsip stare decisis semisal dengan dikeluarkannya landmark decision yang sekaligus menjadi yurisprudensi dan SEMA. Walaupun SEMA tidak menduduki hierarki peraturan perundang-undangan yang wajib dipatuhi, SEMA sering menjadi rujukan pengadilan di bawahnya. Contohnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tentang pencatatan kawin beda agama. Di sisi lain, ada juga landmark decision MA yang konsisten memutus tentang hak anak yang berusia 12 tahun untuk menentukan sendiri akan ikut ayah atau ibunya.
Akhiri Dikotomi, Gali Nilai Keadilan
Mengutip dari Majalah Mahkamah Agung RI Edisi XXXII Tahun 2023 halaman 99, perdebatan antara prinsip stare decisis ataukah legal uniformity ini tidak lagi menjadi persoalan penting karena yang paling utama adalah mewujudkan keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keteraturan hukum. Keadilan hukum sendiri tidak boleh hanya dipahami berdimensi normatif, yaitu apa yang sesuai dengan UU itulah keadilan. Nilai-nilai keadilan sendiri harus senantiasa digali dari nilai-nilai masyarakat berdasarkan amanat Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bagaimana mungkin nilai-nilai keadilan hanya dapat dicari dari teks UU yang sejatinya sudah cacat sejak diundangkan karena akan senantia tertinggal dinamika sosial dan zaman?
Konklusi yang ingin penulis sampaikan adalah hakim di pengadilan manapun tidak boleh lagi hanya berpacu pada UU dan mengabaikan variabel lain seperti putusan-putusan sebelumnya dan nilai-nilai di masyarakat. Penulis berharap, setiap hakim di peradilan manapun dapat menegakkan prinsip keadilan yang digali dari nilai-nilai di masyarakat bukan hanya sekadar berpacu pada UU.