Literasi Hukum – Artikel ini membahas mengenai pelaksanaan Smart contract di masyarakat dengan adanya kebebasan bekontrak yang terjadi antara para pihak.
Kontrak memiliki fungsi untuk melindungi kepentingan para pihak terhadap kepentingan atau harta kekayaan sehingga mampu meminimalisir apabila mengalami sengketa. Kondisi tersebut juga didukung dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi telekomunikasi dan informatika serta moda transportasi modern yang memberikan keleluasaan gerak transaksi barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas wilayah suatu negara.
Perkembangan kontrak terus mengalami transformasi dari yang sebelumnya dilakukan konvensional menjadi digital seiring aktivitas ekonomi yang telah berbasis elektronik. Namun, menjadi suatu perdebatan hukum dengan adanya perjanjian berbasis elektronik yang dinamakan Smart Contract atau disebut kontrak cerdas berbasis digital. Smart Contract adalah perkembangan lanjutan dari penerapan blockchain setelah adanya cryptocurrency yakni sebuah kesepakatan atau perjanjian diantara pihak-pihak yang mampu mengeksekusi klausa-klausa perjanjian secara otomatis.
Pada prinsipnya dalam melaksanakan suatu perjanjian para pihak harus melaksanakan asas-asas yang berlaku dalam perjanjian meliputi; asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract); Asas Konsensualisme (Concensualism); Asas Pacta Sunt Servanda; dan Asas Itikad baik (good faith). Beberapa asas diatas bertujuan untuk memberikan keseimbangan antara para pihak yang membuat, pelaksanaan, hingga selesainya perjanjian sehingga mampu memprediksi (predict), menyediakan (provide) dan melindunginya (protect).
Pelaksanaan Smart Contract
Dalam hal ini smart contract dapat dilakukan tanpa adanya pihak ketiga, kemudian transaksi yang dilakukan dapat dilacak serta tidak dapat diubah. Umumnya, para pihak dalam membuat suatu kontrak konvensional dalam melakukan perubahan (addendum) apabila adanya perubahan dari klausul atau isi perjanjian yang dirasa perlu diubah. Karakter dari perjanjian ini adalah untuk mengikatkan para pihak secara hukum agar dapat melaksanakan baik hak dan kewajiban dengan Batasan-batasan yang telah ditentukan.
Ciri khas dari smart contract ini memiliki suatu resiko dimana penerima hanya menerima dan pemberi yang dominan menentukan isi atau klausul dalam perjanjian tersebut. Hal ini, terdapat indikasi bahwa tidak adanya pelaksanaan asas kebebasan berkontrak antara para pihak dalam membuat suatu perjanjian sehingga potensi kerugian akan diterima oleh penerima apabila sengketa tersebut terjadi. Kebebasan berkontrak yang merupakan “ruh” dan “nafas” sebuah kontrak atau perjanjian, secara implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak pihak-pihak diasumsikan mempunyai kedudukan yang seimbang.
Mengacu pada syarat-syarat subjektif mengenai sah-nya perjanjian adalah harus adanya saling “sepakat” satu sama lain. Hal tersebut menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuat”. Oleh karena itu, secara sah suatu perjanjian maka akan sejajar dengan kekuatan hukum undang-undang yang akan melindungi para pihak. Jika dihubungkan dengan Smart Contract ini secara praktiknya dapat melakukan eksekusi ketentuan-ketentuan dalam kontrak secara otomatis tanpa harus membutuhkan intervensi manusia secara manual.
Pertama, dalam melaksanakan suatu perjanjian maka intervensi manusia atau subjek hukum harus dilakukan demi memberikan ruang atau kesempatan hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan dihindarkan. Pasalnya, mayoritas sengketa kontrak itu terjadi diakibatkan ketidakpahaman dari salah satu pihak atau dominan tingginya posisi salah satu pihak sehinga tidak adanya negosiasi sebelumnya. Pada prinsipnya, kesepakatan itu dibentuk karena kecocokan atau kesesuaian kehendak para pihak, antara penawaran (offer) dan penerima (acceptance).
Pada dasarnya kata sepakat tidak hanya dilakukan melalui lisan ataupun tulisan tetapi dapat dilakukan melalui suatu tanda atau kode. Pada smart contract sendiri, untuk melakukan eksekusi apabila seluruh syarat-syarat sudah terpenuhi dalam perjanjian tersebut. Walaupun seluruh persyaratan tersebut sudah terpenuhi tetapi isi dalam perjanjian tersebut tidak lakukan negosiasi oleh para pihak maka, disitulah keraguan dari penerapan asas kebebasan berkontrak itu terjadi.
Kedua, perbedaan dengan kontrak elektronik yang dimana dalam prosesnya masih terdapat intervensi individu di dalamnya. Secara umum kontrak elektronik diartikan sebagai kontrak dalam yang dibuat dalam bentuk elektronik. Kegiatan transaksi elektronik mengakibatkan adanya perikatan atau hubungan hukum secara elektronik dengan memadukan jaringan berbasis computer dengan sistem komunikasi yang selanjutnya difasilitasi dengan jaringan internet atau jaringan global. Penulis berpendapat bahwa dalam pelaksanaan smart contract akan lebih aman apabila masih adanya intervensi manual oleh manusia untuk terhindar dari kerugian dimasa yang akan datang.
Ketiga, Tujuan umum smart contract dijelaskan oleh Nick Szabo dalam naskah berjudul smart contract yaitu untuk melakukan transaksi yang kredibel tanpa perantara pihak ketiga. Tingkat resiko apabila tidak adanya pihak yang memandu dalam proses pembentukan suatu perjanjian maka akan mengalami suatu permasalahan terhadap isi atau klausul bilamana tidak sesuai dengan para pihak. Karakteristik dari asas kebebasan berkontrak menurut Agus Yudha Hernoko adalah harus menentukan atau memilih klausa dari perjanjian yang akan dibuatnya; menentukan objek perjanjian; menentukan bentuk perjanjian; dan menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional). Dengan begitu, adanya penentuan suatu klausa atau objek dari perjanjian tersebut akan memberikan suatu kepastian hukum dari apa yang telah diperjanjikan sebelumnya.
Oleh karena itu, smart contract tidak melaksanakan asas kebebasan berkontrak jika tidak adanya intervensi secara manual oleh manusia. Sejati hakikat perjanjian merupakan suatu alat yang mengantarkan keberhasilan suatu kepentingan-kepentingan yang saling mengikat untuk mencapai tujuan yang sesuai dari awal perjanjian tersebut. Setidaknya, dengan adanya para pihak untuk mengintervensi smart contract tersebut akan memungkinkan melakukan perubahan atau penambahan dari isi klausal perjanjian tersebut