Literasi Hukum – Artikel ini membahas bagaimana viralitas mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia. Di era digital, kejadian yang viral di media sosial seringkali mempercepat dan mempengaruhi proses hukum. Dari meningkatkan kesadaran publik hingga mempengaruhi keputusan hakim, fenomena viralitas telah menjadi sebuah supremasi dalam sistem hukum. Namun, artikel ini juga menyoroti risiko, seperti penyebaran informasi palsu dan tekanan publik yang dapat mempengaruhi keadilan. Pembahasan ini mendalam mengenai keseimbangan antara peran media sosial dalam civic engagement dan kebutuhan akan penegakan hukum yang adil dan objektif.
Viralitas: Sebuah Tumpuan Penegakan Hukum
Di era saat ini, viralitas menjadi salah satu metode instan untuk dapat menatah keadilan. Dengan modernitas teknologi, semua hal dapat diunggah dan ditelusuri di media sosial. Dimanapun, kapanpun, bagaimanapun situasinya, semua orang dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di belahan dunia. Nyatanya, teknologi juga merambah terhadap proses hukum di Indonesia. Hal ini dibuktikan dari sesuatu yang viral dapat menciptakan proses hukum yang sat-set bahkan kesadaran kolektif bagi penegak hukum. Ampuhnya “asas viralitas” dalam proses hukum sampai dengan munculnya tagar “no viral, no justice” di salah satu platform media sosial. Tampaknya viral sebagai sarana potong kompas untuk korban dalam merengkuh haknya.
Tentunya dalam mencapai suatu tujuan tertentu diperlukan eksponan penyelenggara, begitupun hukum. Hukum tidak bisa bekerja otomatis walaupun ada norma yang termaktub pada Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang merumuskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, tetap harus ada peran penegak hukum dalam prosesnya. Sayangnya kini, penegak hukum sendiri yang menjadi aktor utama dalam menumbangkan hukum. Untuk itulah, asas viralitas ini hadir sebagai pengkritik sekaligus penolong penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Dapat dikatakan pula sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat yang diciptakan oleh aparat hukum.
Viralitas dapat dikategorikan sebagai supremasi hukum tertinggi pada situasi hukum sekarang. Parahnya viralitas lebih dipercaya masyarakat dalam memproses suatu perkara daripada melaporkan ke pihak berwajib. Lantas, jika hal ini terus terjadi dalam proses pengukuhan budaya hukum, apa dampak yang ditimbulkan bagi penegakan hukum?
Mewujudkan Proses Hukum yang Sat-Set
Proses hukum yang sigap merupakan hal yang diidam-idamkan masyarakat Indonesia. Dengan adanya viralitas yang menghubungkan kekuatan kepedulian netizen dengan kesadaran penegak hukum, menjadikan proses hukum yang ditangani dapat terselesaikan dengan cepat. Entitas kriminal, seperti pelecehan seksual, penipuan, pencurian, perampokan, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), bahkan korupsi gesit diketahui oleh netizen sehingga mempermudah aparat dalam melakukan investigasi. Alhasil, trending topik yang digunakan netizen berimbas pada kinerja penegak hukum. Padahal sebelum viral, para penegak hukum tidak mengetahui kejadian tersebut sebab tidak ada laporan polisi.
Menimbulkan Kesadaran Kolektif bagi Penegak Hukum
Akibat lain dari viralnya kasus di media sosial, yaitu menimbulkan kesadaran kolektif bagi para penegak hukum. Bagaimana tidak? Kasus yang viral sejatinya akan mengiring banyak orang untuk bebas mengutarakan isi pikiran secara luwes dengan akun anonim.
Baru-baru ini, kasus viral tertuju pada lembaga bea cukai yang dinilai “main gelap” terhadap nominal bea masuk yang fantastis. Hal ini direspons sigap oleh Direktur Jenderal Bea Cukai sebagai otoritas yang disorot, kemudian menjelaskan secara rinci kasus yang menimpa importir sepatu yang viral tersebut dengan berlandaskan peraturan yang berlaku. Bayangkan saja, karena kekeliruan dalam mencantumkan harga ICF, importir harus membayar denda puluhan juta. Secara sugestif, hal ini membekas di pikiran dan hati aparat yang berwenang, ketika seandainya dia yang terjerat denda selangit tersebut padahal itu kekhilafan jasa pengiriman.
Memudahkan Penegak Hukum dalam Mencari Data
Kelihaian netizen dalam menyelami linimasa media sosial pada akun pribadi seseorang tidak diragukan lagi. Postingan dari tahun terdahulu, data pribadi pelaku, kronologi kejadian, kondisi korban, bahkan proses tindak pidana tersebut terjadi semua dapat dicari dan ditemukan dalam waktu singkat. Tak heran, jika “the power of netizen” sangat membantu penegak hukum dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan untuk proses penyidikan. Bahkan, tak jarang penemuan orang ataupun barang hilang ditemukan lebih dahulu oleh netizen. Terlepas daripada itu, perlu diperhatikan tidak semua kabar dari netizen benar adanya. Tak jarang info tersebut hoaks dan gimik semata. Jadi harus diteliti dan ditelusuri lebih jauh lagi oleh penegak hukum terutama aparat kepolisian yang menjadi tokoh pertama dalam tahapan pemrosesan hukum.
Pengaruh terhadap Keputusan yang Diambil
Semakin viral kasusnya, semakin gila pula sepak terjang netizen. Hal ini terindikasi dapat mempengaruhi eksistensi para penegak hukum termasuk hakim dalam pengambilan keputusan. Walaupun tidak secara terang-terangan, postingan keberpihakan di media sosial akan mempengaruhi hakim sebagai seorang manusia biasa. Pada dasarnya sesuatu yang viral merupakan perpaduan dari peristiwa asli dan persepsi netizen. Imbasnya adalah kesulitan lain dalam menentukan keputusan mana yang pas untuk dijalankan dengan berbagai pertimbangan yang beragam.
Berbagai konsekuensi terhadap adanya viralitas yang menjamur di era saat ini sangat mempengaruhi proses peradilan bahkan penegak hukumnya sekalipun, seperti membantu pemrosesan peradilan berjalan cepat sehingga pihak kepolisian hanya meneruskan kinerja netizen yang ajaib. Namun, tidak semua hal baik didapatkan atas metode viral ini, jika tidak berhati-hati dalam beropini dan berprasangka akan menimbulkan fitnah, main hakim sendiri, tekanan bagi pelaku, penyebaran privasi, berita hoaks, dan lainnya. Maka dari itu, diperlukan kesadaran dari berbagai kalangan untuk dapat bijak dalam menggunakan media sosial atas keterlibatan masyarakat (civic engagement) dalam membantu sesama.
Pun diharapkan bagi penegak hukum untuk mengevaluasi kinerjanya dalam penanganan perkara hukum, bukan berarti membiarkan masyarakat sebagai pengendali hukum. Penegak hukum seharusnya lebih membenah diri karena bagaimanapun tagar “no viral no justice” dapat dimaksudkan juga berupa sindiran halus dan bentuk dari ketidakpercayaan publik terhadap aturan hukum beserta aparatnya. Harusnya kebahagiaan dan keinginan masyarakat adalah paling utama. Sesuai dengan pendapat Jeremy Bentham, “hukum yang baik adalah hukum yang dapat memberikan kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi sebanyak-banyaknya orang”.