Literasi Hukum – Pemilu sebagai pilar demokrasi Indonesia diawasi oleh Bawaslu untuk memastikan integritas dan transparansi. Namun, tantangan dan hambatan sering membuat Bawaslu dianggap sebagai ‘pedang tumpul’ dalam menindak pelanggaran. Artikel ini menjelaskan pentingnya penguatan regulasi dan kewenangan Bawaslu untuk efektivitas pengawasan pemilu, mencerminkan kebutuhan mendesak akan reformasi dalam pengawasan pemilu demi menjaga integritas demokrasi.
Peran Strategis Badan Pengawas Pemilu dalam Mewujudkan Kedaulatan Rakyat
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi sebagaimana istilah tersebut dipopulerkan oleh Presiden kedua indonesia, Soeharto pada rapat nasional persiapan Pemilu tahun 1982. Pemilu sendiri merupakan mekanisme krusial pada demokrasi yang memungkinkan masyarakat sebagai pemilih untuk dapat memberikan mandat kepada calon pemimpin dan arah kebijakan yang dipilih.
Di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan lembaga negara yang berperan sebagai regulator dan pelaksana Pemilu yang mencakup Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Legislatif di pelbagai tingkatan mulai dari DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Provinsi, DPD RI dan DPR RI, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam mempersiapkan hingga melaksanakan Pemilu, KPU diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu. Bawaslu sendiri merupakan lembaga pengawas pemilu yang lahir pada 8 April 2008 sebagai amanat Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu sebagaimana diubah melalui Undang-Undang No.15 Tahun 2011 Jo. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Kewenangan Bawaslu
Sebagai lembaga independen yang beperan sebagai pengawas penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia. Bawaslu memilik peran yang sangat krusial yang terefleksi pada berbagai instrumen mulai dari penyusunan standar tata pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pemilu hingga pencegahan dan penindakan atas pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu.
Oleh sebabnya itu, sudah selayaknya Bawaslu memiliki netralitas yang bebas dari intervensi baik dari masyarakat, partai politik maupun pemerintah. Selain itu UU pada Pasal 93 dan 95 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mengamanatkan bahwa bahwa Bawaslu berwenang untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu, mencegah politik uang, mengawasi netralitas ASN dan TNI-Polri, menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran Pemilu, sampai memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran, administrasi Pemilu dan pelanggaran politik uang.
Hal ini diperkuat Pasal 94 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menegaskan bahwa dalam menindak pelanggaran Pemilu, Bawaslu bertugas untuk :
- menerima, memeriksa, dan mengkaji dugaaan pelanggaran pemilu;
- menginvestigasi dugaan pelanggaran pemilu;
- menentukan dugaan pelanggaran administrasi pemilu, dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara dan/atau dugaan tindak pidana pemilu; dan
- memutus pelanggaran administrasi pemilu.
Pelanggaran Kode Etik
Terkait pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, Bawaslu selanjutnya menyampaikan dugaaan pelanggaran pemilu kepada Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP), yang akan diproses melalui pemeriksaan yang pada putusannya bersifat final dan mengikat sehingga tidak potensi upaya hukum lain, dan keputusan DKPP wajib dijalankan oleh penyelenggara pemilu. Selain itu, hasil keputusan DKPP tersebut juga merupakan aspek yang juga diawasi oleh Bawaslu sesuai dengan ketentuan Pasal 93 huruf g Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Namun demikian, dengan cakupan yang begitu luas dan mengikat tersebut, pada kenyataaanya Bawaslu tidak jarang dapat diibaratkan sebagai pedang tumpul yang tidak mampu memotong atau menumpas pelanggaran Pemilu. Hal ini tercermin pada salah satu putusan DKKP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 yang pada akhirnya seperti tidak memiliki taring meski bersifat final dan mengikat.
Pada putusan tersebut anggota KPU RI masa jabatan tahun 2017-2022, Evi Novida Ginting Manik selaku Teradu VII telah dijatuhi sanksi pemberhentian tetap. Putusan tersebut ditindaklanjuti dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) No. 34/P. Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022 tertanggal 23 Maret 2020.
Kendati berwenang untuk mengawasi putusan DKPP, Bawaslu nyatanya tidak memili ruang yang memadai untuk melakukan pengawasan atas putusan DKPP sehingga tidak terdapat bentuk konkret pengawasan Bawaslu atas tindak lanjut dari putusan DKPP bahkan putusan Bawaslu sendiri.
Hal tersebut diperjelas dengan adanya hasil permohonan keberatan yang diajukan oleh Evi Novida Ginting Manik atas Keppres No. 34/P. Tahun 2020 kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Dalam keputusan PTUN Jakarta yang tertuang pada Putusan No. 82/G/2020/PTUN-JKT tertanggal 23 Juli 2020, Majelis Hakim mengabulkan permohonan Evi Novida Ginting Manik untuk membatalkan Keppres No. 34/P. Tahun 2020.
Pasca dikabulkannya permohonan tersebut terbitlah Keppres Nomor 83/P Tahun 2020 tentang Pencabutan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 yang berarti Presiden tidak mengajukan kasasi atas putusan tersebut. Tentunya hal tersebut berimbas pada timbulnya pertentangan antara Putusan No. 82/G/2020/PTUN-JKT yang kemudian dijalankan melalui Keppres Nomor 83/P Tahun 2020 tentang Pencabutan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 tidak dapat serta merta mencabut putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019.
Pertentangan tersebut menimbulkan ketidakjelasan atas status Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota KPU RI yang dalam putusan DKPP telah menyatakan pemberhentian tetap dan Keppres Nomor 83/P Tahun 2020 yang tdiak menyebutkan bahwa Evi Novida Ginting Manik dikembalikan statusnya sebagai anggota KPU RI pasca diberhentikan sebelumnya.
Kesimpulan
Lemahnya kewenangan Bawaslu dalam menyanksi pelanggaran etik KPU dapat dilihat sebagai sebuah permasalahan yang menunjukkan adanya hambatan dalam efektivitas pengawasan pemilu di Indonesia. Meskipun Bawaslu memiliki kewenangan yang luas dalam mengawasi dan menindak pelanggaran pemilu, namun pada praktiknya seringkali Bawaslu tidak mampu menjalankan perannya secara optimal.
Permasalahan tersebut nampak pada penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang harus diproses melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Meskipun putusan DKPP bersifat final dan mengikat, namun Bawaslu tampaknya tidak memiliki ruang yang memadai untuk melakukan pengawasan terhadap tindak lanjut dari putusan DKPP.
Hal ini tercermin dalam kasus tertentu, seperti dalam putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 terkait pemberhentian tetap seorang anggota KPU. Meskipun putusan tersebut telah dijalankan melalui Keputusan Presiden, namun terdapat pertentangan dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang membatalkan keputusan Presiden tersebut.
Ketidakjelasan atas status seorang anggota KPU yang telah diberhentikan juga mencerminkan kelemahan dalam mekanisme penanganan pelanggaran etik oleh Bawaslu. Diperlukan pembenahan dalam regulasi dan mekanisme pengawasan agar Bawaslu dapat menjalankan perannya secara lebih efektif, sehingga integritas dan kredibilitas proses pemilu dapat terjaga dengan baik.
Dalam konteks pentingnya peran penyelenggara pemilu sebagaimana diamanatkan secara tegas dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hingga saat ini regulasi yang mengatur lembaga-lembaga tersebut belum sepenuhnya efektif.
Ruang lingkup pengawasan Bawaslu atas putusan DKPP maupun putusannya sendiri tidak diatur secara rinci, jelas, dan terang sehingga menimbukan refleksi kewenangan Bawaslu terkadang seperti pedang tumpul. Sehingga diperlukan penguatan secara substansial terhadap regulasi yang mengatur Bawaslu, KPU, dan DKPP.