Literasi Hukum – Mahkamah Konstitusi, benteng penjaga konstitusi Indonesia, memiliki sejarah panjang dan kewenangan yang luas. Artikel ini mengupas tuntas Sejarah dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi. Temukan pula informasi tentang kewajiban Mahkamah Konstitusi dan bagaimana lembaga ini berkontribusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sejarah Mahkamah Konstitusi
Konsep pembentukan sistem peradilan independen di luar Mahkamah Agung untuk menangani kasus judicial review pertama kali diajukan oleh Hans Kelsen ketika dia menjadi bagian dari kanselir dalam reformasi Konstitusi Austria. Kemudian ide tersebut diterima dan diimplementasikan dalam Konstitusi Austria tahun 1920, yang mendirikan Mahkamah Konstitusi.
Sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi pada awalnya dimaksudkan untuk melaksanakan fungsi judicial review. Hal ini merupakan hasil dari perkembangan politik dan hukum dalam negara modern. Secara politik, keberadaan Mahkamah Konstitusi dimaknai sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara cabang-cabang pemerintahan negara. Secara hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah konsekuensi dari penerapan supremasi konstitusi.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat dimaknai dari dua perspektif, yaitu politik dan hukum. Dari perspektif politik, keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan untuk mengimbangi kekuasaan pembentukan undang-undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden, sehingga undang-undang tidak menjadi alat legitimasi untuk pemerintahan otoriter oleh mayoritas di DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.
Di sisi lain, perubahan sistem ketatanegaraan yang tidak lagi mengutamakan supremasi MPR menempatkan lembaga-lembaga negara pada posisi yang sejajar. Hal ini memungkinkan terjadinya sengketa kewenangan antar lembaga negara yang membutuhkan forum hukum untuk diselesaikan, dan Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai lembaga yang paling tepat untuk menangani permasalahan tersebut.
Dari perspektif hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah konsekuensi dari perubahan supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi. Prinsip supremasi konstitusi diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Konstitusi menjadi penentu dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat, dan menentukan substansi serta batas penyelenggaraan negara, termasuk ketentuan mengenai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang harus dilindungi, dipenuhi, dan diperjuangkan oleh negara.
Untuk memastikan konstitusi dilaksanakan tanpa pelanggaran, penting untuk memastikan bahwa ketentuan hukum tidak bertentangan dengan konstitusi itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan wewenang pengujian dan pembatalan terhadap ketentuan hukum yang bertentangan dengan konstitusi.
Dengan latar belakang tersebut, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dibentuk melalui Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian, disusunlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur lebih lanjut mengenai Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan Yang Di Miliki Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban yang telah ditetapkan dalam Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C ayat (1):
Menguji (judicial review) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Kewenangan terakhir dan yang justru yang paling penting dari keempat kewenangan ditambah satu kewajiban (atau dapat pula disebut kelima kewenangan) yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang. Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya kewenangan lain dan apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah pengujian atas konstitusionalitas UU.
Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur Undang-Undang Dasar. Pengujian dapat dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU, sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian mengenai proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak.
Sejarah pengujian (judicial review) dapat dikatakan dimulai sejak kasus Marbury versus Madison ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun 1803. Sejak itu, ide pengujian UU menjadi populer dan secara luas didiskusikan dimana-mana. Ide ini juga mempengaruhi sehingga ‘the fouding fathers’ Indonesia dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara mendalam. Adalah Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar MA diberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Akan tetapi, ide ini ditolak oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai dengan paradigma yang telah disepekati dalam rangka penyusunan UUD 1945, yaitu bahwa UUD Indonesia itu menganut sistem supremasi MPR dan tidak menganut ajaran ‘trias politica’ Montesquieu, sehingga tidak memungkinkan ide pengujian UU dapat diadopsikan ke dalam UUD 1945.
Namun, sekarang, setelah UUD 1945 mengalami perubahan 4 kali, paradigma pemikiran yang terkandung di dalamnya jelas sudah berubah secara mendasar. Sekarang, UUD 1945 tidak lagi mengenal prinsip supremasi parlemen seperti sebelumnya. Jika sebelumnya MPR dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dan dengan kekuasaan yang tidak terbatas, maka sekarang setelah Perubahan Keempat UUD 1945 MPR itu bukan lagi lembaga satu-satunya sebagai pelaku kedaulatan rakyat.
Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka di samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang legislatif, kita harus pula memahami kedudukan Presiden dan Wakil Presiden juga sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang eksekutif dengan mendapatkan mandat langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Di samping itu, karena sejak Perubahan Pertama sampai Keempat, telah terjadi proses pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR, maka mau tidak mau kita harus memahami bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judiktif dengan mengandaikan adanya hubungan ‘checks and balances’ antara satu sama lain.
Oleh karena itu, semua argumen yang dipakai oleh Soepomo untuk menolak ide pengujian undang-undang seperti tergambar di atas, dewasa ini, telah mengalami perubahan, sehingga fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari dari penerapannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.
Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar merupakan salah satu kewenangan utama Mahkamah Konstitusi (MK). Kewenangan ini diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf b UU MK.
Syarat Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
Sengketa kewenangan lembaga negara yang dapat diajukan ke MK harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
- Terjadi perselisihan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara
- Lembaga negara yang bersengketa memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945
- Perselisihan kewenangan tersebut berakibat pada terhambatnya pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga negara
Memutuskan pembubaran partai politik
Kebebasan bagi partai politik dan individu untuk berpartai adalah cermin dari kebebasan berserikat yang dijamin dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, setiap orang memiliki hak, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, untuk mendirikan dan berpartisipasi dalam kegiatan partai politik. Pembubaran partai politik oleh pihak yang bukan anggota partai tersebut merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi atau disebut sebagai inkonstitusional. Untuk melindungi prinsip kebebasan berserikat ini, disediakan mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik harus melalui prosedur peradilan konstitusi. Pemerintahlah yang memiliki hak “standing” untuk mengajukan permohonan dalam kasus pembubaran partai politik, bukan individu atau kelompok orang. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah alasan yang diajukan untuk pembubaran partai politik tersebut benar atau tidak.
Dengan demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak akan dilanggar oleh para penguasa politik, yang pada dasarnya juga merupakan anggota partai politik lain yang secara kebetulan memenangkan pemilihan umum. Mekanisme ini juga membantu mencegah terjadinya situasi di mana penguasa politik yang menang dalam pemilihan umum menindas partai politik yang kalah sebagai bentuk persaingan yang tidak sehat menjelang pemilihan umum berikutnya.
Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum memiliki tujuan untuk memilih presiden, wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta pemilihan umum terdiri dari tiga kelompok: pertama, pasangan calon presiden/wakil presiden; kedua, partai politik yang berpartisipasi dalam pemilihan umum untuk anggota DPR dan DPRD; dan ketiga, perorangan yang menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU). Jika terjadi perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum dan penyelenggara pemilihan umum yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka perselisihan tersebut dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Perselisihan yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan perhitungan hasil suara pemilihan umum yang telah ditetapkan dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan perbedaan hasil suara tersebut memengaruhi jumlah kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa perbedaan suara tersebut tidak memengaruhi alokasi kursi yang diperebutkan, maka permohonan tersebut akan dinyatakan tidak dapat diterima. Namun, jika perbedaan suara tersebut memengaruhi alokasi kursi dan bukti yang diajukan kuat serta beralasan, maka permohonan akan dikabulkan dan perolehan suara yang benar akan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, kursi yang diperebutkan akan diberikan kepada pihak yang mengajukan permohonan yang dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan tersebut tidak beralasan atau bukti yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan akan ditolak. Ketentuan-ketentuan ini berlaku untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, serta pasangan calon presiden/wakil presiden.
Kewajiban Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional. Pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir, di mana putusannya bersifat final. Ini berarti tidak ada proses hukum lebih lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang terjadi dalam pengadilan lainnya.