JAKARTA, Literasihukum.com — Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mendalami kasus dugaan mafia peradilan yang melibatkan mantan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Rudi Suparmono. Penemuan uang tunai hingga Rp 21 miliar di kediaman Rudi semakin memperkuat indikasi adanya jaringan korupsi yang sistemik di tubuh peradilan.
Rudi Suparmono diduga mengatur komposisi hakim untuk membebaskan terdakwa penganiayaan berat, Ronald Tannur. Penggeledahan di dua lokasi, yakni di Jakarta Pusat dan Palembang, juga mengungkap barang bukti berupa uang pecahan rupiah, dollar AS, dan dollar Singapura, dengan total jauh melampaui jumlah dugaan suap awal yang hanya sekitar Rp 514 juta.
Temuan serupa juga terjadi dalam pengusutan kasus Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung, yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka. Dari rumah Zarof, penyidik menyita uang tunai dan emas senilai hampir Rp 1 triliun. Penelusuran terhadap sumber dana dan emas tersebut masih berlangsung.
Menurut peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, kasus ini menunjukkan betapa mengakarnya praktik mafia peradilan di Indonesia. Zaenur mendesak Mahkamah Agung untuk menggunakan momentum ini sebagai langkah awal reformasi internal. Ia juga mengingatkan pentingnya pengawasan eksternal yang lebih kuat dari Komisi Yudisial (KY) guna menekan korupsi di kalangan penegak hukum.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menambahkan bahwa kasus ini mencerminkan permasalahan sistemik. Ia menyarankan agar Mahkamah Agung segera memberlakukan sanksi tegas dan memperbaiki proses rekrutmen hakim untuk memastikan hanya individu berintegritas yang bisa menduduki posisi penting di pengadilan. KY pun diharapkan lebih aktif menjalin kerja sama dengan LSM untuk mengawasi kinerja hakim secara lebih efektif.Fickar.