Garis Batas

Nikah Siri : Bentuk Perlindungan atau Penghancuran Terhadap Perempuan?

Fatih Hayatul Azhar
98
×

Nikah Siri : Bentuk Perlindungan atau Penghancuran Terhadap Perempuan?

Sebarkan artikel ini
Nikah Siri
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Di era serba praktis ini, nikah siri menjadi salah satu topik yang kadang muncul di tengah masyarakat Indonesia, baik di meja makan keluarga maupun dalam diskusi serius di warung kopi.

Bagi sebagian orang, nikah siri mungkin terdengar seperti solusi cepat dan mudah untuk berbagai masalah pernikahan—mulai dari keterbatasan finansial hingga kerumitan administrasi.

Tapi, apakah benar nikah siri adalah solusi atau justru pintu masuk menuju masalah baru?

Solusi Ekspres atau Shortcut ke Masalah Baru?

Nikah siri sering kali dianggap sebagai jalan pintas bagi pasangan yang ingin segera menikah tanpa perlu repot-repot mengurus surat-surat resmi. Mirip seperti memesan makanan di drive-thru, prosesnya cepat, langsung jadi, dan memuaskan keinginan untuk segera menikah.

Tapi, seperti makanan cepat saji, apa yang terlihat lezat di awal bisa jadi tidak begitu sehat untuk jangka panjang. Ketika pasangan memilih nikah siri, mereka mungkin tidak sadar sedang menyiapkan diri untuk masalah yang lebih besar di kemudian hari.

Karena bisa saja tiba-tiba muncul persoalan terkait warisan, hak asuh anak, atau hak-hak ekonomi lainnya. Tanpa adanya pengakuan hukum, perempuan dalam pernikahan siri sering kali kehilangan perlindungan yang seharusnya mereka miliki.

Apa yang awalnya dimaksudkan sebagai solusi justru berubah menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Jadi, apakah benar nikah siri adalah solusi cepat? Atau hanya sekadar menunda masalah yang lebih besar?

Anak Emas atau Anak yang ‘Di-siri-kan’?

Salah satu dilema terbesar dalam nikah siri adalah status hukum anak yang lahir dari pernikahan tersebut.

Anak-anak ini, meskipun lahir dari cinta orang tua mereka, sering kali tidak mendapatkan pengakuan hukum yang layak. Ibarat anak emas yang kehilangan kilau, mereka tumbuh dengan status yang tidak jelas, membuat mereka rentan terhadap berbagai diskriminasi dan kesulitan hukum.

Beberapa orang tua mungkin berdalih bahwa anak mereka tetap sah secara agama, tetapi ketika bicara soal hak-hak sipil—seperti akta kelahiran, hak waris, dan akses pendidikan—negara tidak bisa sekadar mengandalkan dokumen dari penghulu setempat.

Akibatnya, anak-anak ini harus menghadapi realitas yang keras, di mana hak-hak dasar mereka terabaikan hanya karena orang tua memilih nikah siri. Pada akhirnya, siapa yang sebenarnya diuntungkan dari situasi ini?

Dua Sisi Koin yang Sama atau Pelarian Sempit?

Nikah siri dan poligami sering kali berjalan beriringan, ibarat dua sisi koin yang sama. Banyak pria yang menggunakan nikah siri sebagai jalan untuk melegitimasi poligami tanpa perlu repot meminta izin istri pertama.

Dengan embel-embel “sah secara agama,” mereka merasa sudah mendapatkan lisensi untuk menambah istri tanpa risiko dihukum oleh negara.

Namun, jika kita telisik lebih dalam, nikah siri ini lebih mirip dengan cheat code dalam game—kelihatan seru dan menguntungkan di awal, tapi bisa berujung pada game over, terutama bagi perempuan yang terlibat.

Hak-hak mereka sering kali dilanggar, tidak diakui oleh hukum, dan mereka harus menjalani hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian.

Nikah Siri sebagai Senjata Patriarki

Nikah siri kerap dipuji sebagai bentuk perlindungan bagi perempuan, terutama dalam kasus di mana pernikahan resmi sulit dilakukan.

Namun, mari kita jujur: sering kali, nikah siri justru digunakan untuk menjerat perempuan dalam posisi yang lebih lemah. Di sinilah patriarki beraksi, dengan dalih melindungi perempuan, tapi sebenarnya malah membuat mereka semakin terpuruk.

Ibarat kucing dalam karung, perempuan yang menikah siri sering kali tidak sadar bahwa mereka sedang dijebak dalam situasi yang membuat mereka semakin tak berdaya.

Tanpa perlindungan hukum yang jelas, mereka bisa ditinggalkan kapan saja, dengan hak-hak mereka yang terabaikan.

Bukankah ini bertolak belakang dengan tujuan awal nikah siri sebagai bentuk “perlindungan”? Alih-alih melindungi, nikah siri malah menjerat perempuan dalam ketidakpastian.

Ketidakpastian Ekonomi dalam Nikah Siri

Salah satu aspek penting dalam pernikahan adalah keamanan ekonomi, sesuatu yang sering kali diabaikan dalam nikah siri. Tanpa pengakuan hukum, perempuan dalam nikah siri sering kali tidak memiliki hak atas harta gono-gini, tunjangan, atau bahkan nafkah.

Ibarat bermain catur dengan hanya pion saja—perempuan harus siap menghadapi risiko ekonomi yang tinggi, tanpa perlindungan apa pun selain janji-janji manis dari pasangan.

Ketika pernikahan siri berakhir dengan perceraian atau ditinggal pergi pasangan, perempuan sering kali harus menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka tidak punya apa-apa.

‘Main Aman’ atau Membiarkan Perempuan Terlantar?

Negara sering kali cuci tangan soal nikah siri, dengan alasan bahwa ini adalah urusan pribadi dan agama. Namun, bukankah negara seharusnya hadir untuk melindungi warganya, terutama yang paling rentan?

Dengan membiarkan nikah siri tanpa regulasi yang jelas, negara justru memperbesar peluang perempuan untuk terlantar, ibarat tamu yang diundang ke pesta tapi ditinggalkan sendirian di pojok ruangan. Ketika negara memilih untuk tidak bertindak, perempuan yang menikah siri terjebak dalam situasi yang serba tidak pasti.

Tanpa perlindungan hukum, mereka dibiarkan menghadapi berbagai masalah sendirian, mulai dari ketidakpastian ekonomi hingga hak asuh anak.

Bukankah seharusnya negara bertindak untuk memastikan bahwa setiap warga negara, termasuk mereka yang memilih nikah siri, mendapatkan perlindungan yang layak?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.