Literasi Hukum – Artikel ini membahas urgensi penegakan hukum pemilu yang adil dan transparan dalam konteks Pemilu di Indonesia, seperti yang diuraikan oleh Artha Debora. Dengan menggali lebih dalam tentang kompetensi dan strategi tim kuasa hukum dalam menangani gugatan pasca-pemilu, tulisan ini menyoroti pentingnya kemandirian dan objektivitas para pihak terkait, termasuk hakim Mahkamah Konstitusi. Debora juga mengkritik inkonsistensi antara perundang-undangan dan konstitusi yang mempengaruhi proses pemilihan umum. Lebih lanjut, artikel ini mengeksplorasi dinamika politik dan kebutuhan untuk kepercayaan timbal balik dalam politik, menunjukkan bagaimana keputusan politik harus memperhitungkan transparansi dan partisipasi publik yang efektif untuk memperkuat demokrasi di Indonesia.
Kesadaran Kritis Tim Kuasa Hukum Pasca Pemilu
Kesadaran kritis dari masing-masing tim kuasa hukum pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mengajukan gugatan dan menyatakan kesediaan sebagai pihak terkait harus dapat dipastikan mandiri dan bebas dalam berpikir, berbicara, dan bertindak. Tekanan sosial atau eksternal tertentu pasca pemilu semestinya tidak mengamputasi objektivitas dan integritas para pihak maupun hakim konstitusi.
Kompetensi dan strategi masing-masing tim kuasa hukum harus menunjukkan instrumentalisasi dan konstruksi menegakkan hukum secara baik dan benar. Indikator terlaksananya demokrasi yang sehat dan mapan ditentukan dengan tuntutan standar maksimalisasi transparansi. Politik transparansi dimaksudkan sebagai akses informasi dan kredibilitas untuk mengukuhkan legitimasi langkah politik.
Kontrol Yudisial atas Pemilu 2024
Kontrol atas proses dan dinamika Pemilu 2024 dengan melibatkan kekuasaan yudisial merupakan langkah yang mestinya dihormati. Persoalannya kemudian rincian pengaturan Pemilu dalam konstitusi (muatan pasal 22E UUD NRI 1945) tidak menegaskan secara tegas dan jelas keterlibatan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil.
Sementara, dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi hal tersebut dirumuskan dan dinyatakan secara tegas. Bukankah undang-undang pelaksana harus bersesuaian dengan rumusan konstitusi.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Tindakan Tim Kuasa Hukum
Pasangan nomor urut 02 pun sudah mendatangi Mahkamah Konstitusi dan telah menyatakan diri sebagai pihak terkait. Tim kuasa hukum pasangan calon nomor urut 02 menyatakan alasan permohonan yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 01 dan 03 tidak berlandaskan pada rumusan aturan yang termuat dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Tim kuasa hukum pasangan calon nomor urut 2 menambahkan alasan permohonan yang diajukan cacat formil, prosedural, dan berpotensi tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Pernyataan tim kuasa hukum juga disusul dengan keterangan yang menyatakan persoalan proses dan pelanggaran pemilu menjadi kewenangan Bawaslu, PTUN dan Mahkamah Agung.
Pendekatan Kritis dalam Menyikapi Perselisihan Hasil
Kondisi tersebut menempatkan Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutuskan hanya sebatas persoalan perselisihan hasil dari Pemilihan Presiden. Pertimbangan bernas hakim konstitusi harus dapat menyasar pada kebijakan politik yang mengedepankan kepercayaan timbal balik. Artinya diperlukan keberanian untuk melonggarkan kendali dan kesiagaan menerima risiko dikecewakan.
Kepercayaan tidak serupa dengan supremasi hukum dan pembagian kekuasaan, kepercayaan mengandalkan pada upaya mengemban misi menggaransi transparansi. Hasil sudah ditetapkan dan rangkaian penegakan akan menyusul diputuskan. Masing-masing pihak kuasa hukum para calon harus mempersiapkan diri untuk dapat mengukur dan menggali catatan kritis yang mampu mewakili suara pemilih yang rasional dan kritis.
Responsibilitas dan Realisme dalam Politik Pasca Pemilu
Pandangan masing-masing pihak kuasa hukum harus mampu merumuskan tuntutan-tuntutan yang masuk akal dan tidak terpengaruh propaganda politik. Propaganda yang dikutubkan pada memuja secara berlebih dan menyangkal secara berlebih atas kualitas dan keunggulan pemimpin politik. Landasan ini penting diperhatikan agar pasangan yang terpilih pun dapat lebih bertanggung jawab dan realistis dalam menyusun program kerja.
Mengutip pandangan Franz Magnis Suseno yang menyatakan “pilihlah calon pemimpin yang selisih kebaikannya lebih banyak dari calon pemimpin yang lain, serta yang selisih keburukannya lebih sedikit atau lebih bisa ditoleransi daripada calon pemimpin yang lain.” Pilihan politik yang telah dieksplisitkan melalui penetapan perolehan suara oleh KPU menunjukkan bahwa para pemilih dianggap telah memperhitungkan kelebihan dan kelemahan kandidat.
Pemilih rasional juga sudah mencegah terjadinya praktik politisasi identitas yang mengabaikan program yang sungguh-sungguh dapat menjawab persoalan riil masyarakat. Narasi perselisihan hasil ini juga tidak semestinya menyasar pada sentimentalisme atau prahara politik tertentu yang berorientasi pada polarisasi politik. Dinamika politik pasca pemilu 2024 harus memungkinkan pertukaran pendapat untuk menguji suatu pernyataan atau sikap politik. Suasana politik pun setelah rampungnya pemilu 2024 harus dapat menjadi sandaran untuk menentukan pilihan politik. Penegakan hukum Pemilu di Indonesia harus ditinjau ulang.
Legislator harus menjadikan persoalan ini menjadi catatan refleksif. Ujian besar bagi upaya memapankan demokrasi di Indonesia tidaklah mudah. Masih banyak ditemukan dalam praktiknya para penegak hukum termasuk legislator tergelincir pada irasionalitas politik yang berulang. Irasionalitas ini apabila tidak diselesaikan dapat memicu pembelahan bangsa. Konsentrasi akan terbelah di antara partisipasi politik terkait pemilu meliputi kampanye, pengumpulan massa, dan arak-arakan serta partisipasi politik non pemilu meliputi demonstrasi, petisi, protes, dan pemogokan massal.
Narasi pasca pemilu di tengah era hipermodernitas saat ini semestinya tidak menggiring pada kondisi psikis massa yang paranoid dan hanya menuntut pengendalian segera. Negara dan masyarakat harus berperan berdasarkan pada ruang geraknya masing-masing. Keputusan politik pun harus dikontestasikan melalui deliberasi publik. Deliberasi ini menuntut negara hadir untuk melacak suara publik sebagai acuan bagi kebijakan, keputusan, atau tindakan.