Opini

Menilik Ruang Kosong Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Geigiansyah Aulia Putra, S.H.
323
×

Menilik Ruang Kosong Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Sebarkan artikel ini
Menilik Ruang Kosong Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi HukumArtikel ini membahas keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia, fleksibilitas dalam memilih arbiter, serta tata cara pengajuan koreksi atau keberatan terhadap putusan arbitrase berdasarkan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Temukan pentingnya aturan lebih lanjut terkait tata cara pengajuan koreksi dan keberatan dalam arbitrase.

Forum penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, khususnya di Indonesia, sering menjadi pilihan utama bagi banyak pihak karena memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan menyelesaikan sengketa di Pengadilan Negeri. Beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase antara lain adalah para pihak dapat memilih arbiter secara mandiri, yang meningkatkan kualitas putusan. Selain itu, proses pengambilan keputusan lebih cepat, putusan bersifat rahasia, dan hubungan antara pihak-pihak yang bersengketa tetap terjaga.

Selain itu, dari segi hukum acara, terdapat fleksibilitas yang masih berada dalam koridor hukum. Arbiter yang ditunjuk tidak hanya terbatas pada mereka yang memiliki latar belakang hukum, tetapi juga dapat berasal dari berbagai disiplin ilmu lainnya. Hal ini menjamin kualitas putusan karena arbiter memahami sengketa dari perspektif hukum dan teknis.

Putusan yang dikeluarkan oleh majelis arbiter bersifat final dan mengikat. Artinya, tidak ada upaya hukum seperti banding, kasasi, atau upaya hukum lainnya yang dapat diajukan atas putusan arbitrase. Namun, sesuai dengan ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam waktu paling lama 14 hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbiter untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif, atau menambah atau mengurangi tuntutan dalam putusan.

Penjelasan Pasal 58 Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa “koreksi terhadap kekeliruan administratif” mencakup kesalahan pengetikan atau kesalahan dalam penulisan nama, alamat para pihak, arbiter, dan sebagainya, yang tidak mengubah substansi putusan. Adapun “menambah atau mengurangi putusan” berlaku jika putusan:

  1. Mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut oleh pihak lawan;
  2. Tidak memuat satu atau lebih hal yang diminta untuk diputus; atau
  3. Mengandung ketentuan yang saling bertentangan.

Berdasarkan ketentuan ini, putusan majelis arbitrase masih memungkinkan untuk diajukan koreksi atau keberatan, sepanjang materi koreksi atau keberatan tersebut sesuai dengan isi Pasal 58. Hal ini dimungkinkan karena arbiter, sebagai manusia, bisa saja melakukan kesalahan. Namun, yang menjadi perhatian adalah bahwa tata cara pengajuan koreksi atau keberatan serta penyampaian hasilnya belum diatur secara rinci dalam Undang-Undang tersebut. Hal ini termasuk prosedur jika salah satu pihak yang mengajukan keberatan dikabulkan oleh arbiter atau majelis arbiter.

Pentingnya pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan koreksi dan keberatan serta penyampaian hasilnya perlu diperhatikan, mengingat putusan arbitrase bersifat final dan mengikat. Tanpa adanya aturan yang jelas terkait hal ini, para pencari keadilan dapat mengalami hambatan ketika mengajukan koreksi atau keberatan terhadap putusan arbitrase yang telah dikeluarkan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pencatatan Palsu Surat dan Keabsahannya
Ilmu Hukum

Artikel ini membahas mengenai pencatatan surat palsu, sebuah tindakan ilegal yang melibatkan pembuatan atau pengubahan surat untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah.

Mandeknya Keadilan Dalam Kasus “Vina Cirebon”
Hukum

Masyarakat Indonesia kembali diperdebatkan dengan rilisnya film “VINA: Sebelum 7 Hari” di bioskop. Film ini mengangkat kasus pembunuhan Vina dan kekasihnya Eky di Cirebon pada 27 Agustus 2016, yang sebelumnya diduga sebagai kecelakaan tunggal.