Literasi Hukum – Artikel ini membahas sejarah, penerapan, dan kontroversi hukuman mati dari perspektif hukum positif Indonesia serta hukum pidana Islam, mengupas dasar filosofis, sosiologis, dan yuridisnya. Dilengkapi dengan tinjauan pro dan kontra, artikel ini juga mengeksplorasi bagaimana hukuman mati dipertahankan atau ditolak berdasarkan hak asasi manusia dan prinsip syariat.
Pendahuluan
Kematian adalah sesuatu yang pasti akan datang pada diri manusia. Seseorang tidak dapat mengatur kapan mereka mati. Kematian merupakan suatu entitas yang telah ditanamkan pada diri seorang manusia sejak lahir di dunia. Kematian merupakan takdir mubram dimana takdir mubram merupakan takdir yang telah ditetapkan Allah SWT kepada manusia ketika berada di alam ruh dan tertulis di lauhil mahfudz. Beberapa dari seseorang yang menjadikan peristiwa kematian merupakan hal yang menakutkan, dan ada juga yang menjadikan peristiwa kematian merupakan hal yang sangat dinantikan. Hukuman mati merupakan peristiwa kematian seseorang ditetapkan oleh sesama manusia. Terdapat banyak perbedaan di kalangan masyarakat akan hal ini, kalangan pro berpendapat bahwa apabila pidana mati diterapkan maka diharapkan kejahatan akan menurun, sedangkan kalangan kontra akan hal ini berpendapat bahwa hukuman mati merupakan perbuatan yang merampas kuasa Allah SWT dan menyalahi Hak Asasi Manusia.
Hukuman mati telah eksis sejak pada masa peradaban Mesopotamia yang dimana Raja Babylon menulis naskah hukum Code Of Hamurabi pada tahun 1760 SM yang dimana tertulis hukuman mati dilakukan dengan cara ditenggelamkan. Britanica Ensiklopedia menyebutkan bahwa hukuman mati dijatuhkan kepada seseorang yang telah divonis bersalah oleh hakim.
Pidana mati masih eksis hingga saat ini mengingat hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang diluar KUHP. Indonesia yang dulunya dijajah oleh belanda merupakan bukti bahwa Kitab Undang-Undang Indonesia merupakan terjemahan dari Kitab Undang-Undang belandan (wetboek van strafrecht) yang dilegalkan oleh pemerintah belanda sejak tahun 1918. Dalam perkembangannya belanda menghapuskan pidana mati pada tahun 1870. Setelah Indonesia merdeka, maka diberkalukannya kembali pidana mati hingga saat ini. Pidana mati diatur dalam Kitab undang-Undang pasal 10 KUHP Indonesia pada kategori pidana pokok hukuman mati, penjara, kurungan, denda. Hukuman mati terletak pada urutan pertama dalam hierarki pidana pokok karena pidana mati bersifat ultimum remendium yang artinya sebagai opsi terakhir sebelum melaksanakan pidana tersebut.
Hukum islam mengkategorikan hukuman mati kedalam hukuman qisash. Arti dari qisash merupakan kesamaan antara perbuatan pidana dan sanksi hukumnya. Hal ini bermakna bahwa perbuatan pidana yang dilakukan oleh si pelaku, pelaku harus membayar setimpal dengan apa yang telah dilakukannya seperti dalam pepatah “nyawa dibalas dengan nyawa”. Arab Saudi yang notabene merupakan negara yang menggunakan syari’at sebagai sistem hukum memberlakukan pidana islam atau Fiqh Jinayah yang berlaku sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabat nabi, sama seperti sistem hukum pidana positif, pidana islam di arab Saudi juga mengkategorikan hukum pidana kedalam ranah hukum publik yang dimana aturan dari hukum tersebut mengatur hubungan antara manusia dengan pemerintah.
Pidana Mati dan Eksistensinya di Indonesia Perspektif Hukum Positif
Secara tata bahasa atau etimologi, pidana mati terdiri dari konstruksi dua kata, yakni pidana dan mati. Pidana berarti penderitaan, sedangkan mati merupakan keadaan dimana jasad dan ruh dari seseorang tersebut terpisah. Jika disimpulkan dari sudut pandang etimologi, pidana mati merupakan penderitaan atau nestapa yang dijatuhkan oleh pelaku tindak pidana dengan cara memisahkan jasad dan ruh dari seseorang tersebut. Sedangkan menurut istilah atau terminology, pidana mati berarti bentuk pidana yang dilaksanakan dengan merampas jiwa pelaku tindak pidana yang menyalahi ketentuan undang-undang.
Pidana mati masuk dalam kategori pidana yang berada di urutan pertama dalam susunan pidana pokok dalam undang-undang. Pidana mati tetap eksis di Indonesia karena hal tersebut bertujuan supaya masyarakat mengerti bahwa pemerintah tidak menginginkan adanya ganjalan terhadap keharmonisan yang sangat ditakuti oleh masyarakat umum.
Seperti halnya pidana mati eksekusi pidana mati di Indonesia tidak hanya mengikuti aturan umum atau KUHP, setiap wilayah Indonesia dari aceh hingga irian. Berbeda wilayah maka penerapan eksekusi pidana mati pun berbeda seperti contoh ; aceh melakukan eksekusi pidana mati dengan menggunakan lembing, di bali eksekusi pidana mati dilakukan dengan cara ditenggelamkan, di batak eksekusi pidana mati dilaksanakan dengan sistem alternatif apabila pembunuh tidak membayar uang salah, maka eksekusi dapat dilakukan. Atas dasar tersebut maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pidana mati telah eksis di Indonesia sejak zaman kerajaan, dan bukan belanda yang memperkenalkan pidana mati di Indonesia.
Pidana mati merupakan jenis pidana yang banyak menuai pro dan kontra dalam masyarakat diantara kalangan yang pro yang mendukung adanya hukuman mati dan ada yang kontra terhadap pemberlakuan hukuman mati. Kalangan kontra menganggap bahwa diberlakukannya pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia, ditegaskan dalam kongres PBB yang ke-6 yang dalam kongresnya menegaskan bahwa mengakui hak hidup sebagai hal yang sangat asasi, yang bermakna seseorang yang didakwakan pidana mati, harus melewati prosedur atau tahap-tahap yang sangat intens yang dijatuhkan untuk suatu tindak pidana tertentu yang efeknya sangat serius terhadap masyarakat. Seorang terdakwa pidana mati harus diberi hak untuk mengajukan pengampunan, peringanan, penundaan, atau perubahan/ penggantian pidana mati setelah melewati masa tertentu. Adapun pendapan yang kontra terhadap pidana mati yang dirasa masih efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan- kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan berat. Landasan tersebut didasarkan pada masih tercantumnya hukuman mati pada Pasal 10 KUHP.
Dari beberapa hal tersebut dapat disimpulkan penerapan pidana mati di Indonesia masih tetap eksis dan masih tetap dipertahankan karena dirasa masih sangat efektif dalam menanggulangi kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan berat seperti yang tercantum diatas, sehingga penerapan pidana mati di Indonesia masih tetap di pertahankan.
Pidana Mati dan Eksistensinya di Indonesia Perspektif Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)
Hukum pidana islam merupakan hukum yang sejatinya berasal dari Allah SWT yang dituangkan melalui kitab suci Al-Qur’an. Dalam hukum islam Allah SWT memiliki otoritas dalam mengatur hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia yang secara dinamis mengikuti perkembangan dari masa ke masa. Para ulama membagi hukum islam menjadi tiga kategori, yakni hukum yang membahas masalah tasawuf, fiqh dan tauhid. Hukum pidana masuk dalam kategori fiqh bab masalah tentang jinayah, sedangkan pidana mati merupakan bagian dari fiqh jinayah, yakni masuk pada bab Qishash, tentang hukuman setimpal dengan apa yang diperbuat oleh pelaku tindak pidana, misalnya hukuman potong tangan bagi orang yang mencuri, dan hukuman mati kepada orang yang membunuh.
Hukum Pidana Islam seperti yang telah disebutkan diatas, dikategorikan menjadi tiga macam, yakni Hudud, Qishash, dan Ta’zir yang penjelasan dari ketiga macam tersebut yakni :
1. Jarimah hudud
Merupakan sanksi jarimah yang ancaman nya beripa hukuman Had, yakni hukuman yang ditentukan oleh Syara’ dan ditentukan oleh Allah SWT seperti : Zina, Qadzaf, Khamr, Pencurian, Hirabah, Riddah, Pemberontakan.
2. Jarimah Qishash dan diyat
Merupakan ketentuan yang diancam dengan hukuman yang sudah ditentukan oleh Allah SWT. Qishash dapat gugur karena perkataan maaf dari pihak korban, sementara diyat merupakan hukuman pokok pembunuhan disengaja dan pembunuhan tidak disengaja.
3. Jarimah Ta’zir
Merupakan hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan nash nya tidak diatur dalam Al-Qur’an, dan ketetapannya diserahkan kepada ulil amri.
Allah menetapkan pidana mati sebagai perintah-Nya berdasarkan syari’at islam dan tertulis dalam Al-Qur’an sehingga siapapun tidak dapat mengganggu gugat ketetapannya. Qishash dapat batal karena keluarga korban memaafkan perbuatan pelaku, matinya terdakwa, dan terjadi pemulihan hubungan kekeluargaan antara pelaku dengan korban dan keluarga pihak korban.11
Pidana mati dalam pidana islam yang didalamnya terdapat dua unsur yakni yang pertama merupakan unsur untuk memuaskan rasa benci terhadap pelaku yang merasa hak- hak nya diabaikan, sedangkan yang kedua adalah untuk melindungi kepentingan dan hak umat.
Pidana islam tidak dapat diterapkan sepenuhnya di Indonesia lantaran masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Adapun unsur pertanggungjawaban hukum pidana islam melekat pada diri seseorang yakni :
1. Berakal (‘Aqilun)
Yakni berakal yaitu orang yang tidak gila dan sadar akan apa yang dia perbuat.
2. Cukup Umur (Balighun)
Yakni dimana seorang muslim yang telah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
3. Muslim (Muslimun)
Yakni orang tersebut harus muslim, orang non muslim tidak berkewajiban melaksanakan hukum pidana islam.
Penerapan hukum islam tidak sepenuhnya ditransformasikan kedalam KUHP Indonesia tetapi pasca kemerdekaan beberapa hukum islam telah diadopsi kedalam hukum positif Indonesia seperti masalah perkawinan dan perceraian. Indonesia masih mengkaji hukum pidana islam dan masih melakukan proses pragmatisme terhadap transformasi hukum jinayah dan KUHP Indonesia.
Apabila di perbandingkan antara pidana mati menurut KUHP dan pidana mati menurut hukum positif dan hukum pidana islam. Ada baiknya apabila hukum pidana islam diterapkan kepada kejahatan tertentu yang bersifat ordinary crime, karena sisten dalam hukum pidana islam lebih memberikan efek jera karena didalam qishash terdapat keseimbangan antara hak Allah dan hak manusia. Seiring berjalannya waktu Indonesia bisa mengintegrasikan hukuman Qishash dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Kesimpulan
Dalam hukum positif didapatkan pidana mati masih eksis karena adanya ketentuan dalam KUHP yang tertuang dalam pasal 10 KUHP dan beberapa tindak pidana dalam KUHP maupun diluar KUHP masih mengatur hukuman mati terhadap pelaku kejahatan. Terdapat perbedaan alasan pemaaf dari hukum pidana mati dalam hukum positif dan hukum islam, yakni jika hukum pidana positif unsur pemaafnya adalah pemberian grasi oleh presiden yang didasarkan atas perilaku terpidana selama dipenjara, sedangkan unsur pemaaf dalam hukuman qishash dalam pidana islam yakni keluarga korban yang memaafkan perbuatan pelaku dan pelaku diharuskan membayar diyat.
Hukum pidana islam tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia lantaran karena masyarakat Indonesia tidak lain ada beberapa yang beragama bukan islam. pidana islam masih eksis di Indonesia karena lantaran apabila dari sudut pandang sosiologis normatif masyarakat Indonesia yang tidak melakukan perbuatan yang dilarang karena hal tersebut dicela oleh agama dan norma masyarakat.
Daftar Pustaka
- Ayusriadi. “Perspektid Hukum Islam Terhadap Hukuman Mati Berdasarkan Undang-Undang
- Terkait Hak Asasi Manusia Di Indonesia,” n.d.
- Hiariej, Eddy O. S. Materi Pokok Hukum Pidana. 1st ed. 5. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2016.
- Irfan, Nurul. Hukum Pidana Islam. 1st ed. Vol. 1. Jakarta: AMZAH, 2016.
- Kumalasari, Rosa. “Kebijakan Pidana Mati Dalam Perspektif HAM.” Universitas Diponegoro, 1, 2 (2018): 5–6.
- Muhammadiah. “Pidana Mati Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia.” Jakarta Islamic University Indonesia, 1, 9 (2019). https://doi.org/10.20414/jurkom.v11i1.2280.
- Nata Sukam Bangun. “Eksistensi Pidana Mati Dalam Sistem Hukum Indonesia.” Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014.
- Rizky, Fahrul. “Perbandingan Ketentuan Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Di Indonesia
- Dan Hukum Islam.” Universitas Sumatera Utara, 2019.
- Roni Efendi. “Pidana Mati Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Hukum Pidana Islam.” Institut Agama Islam Negeri Batusagkar, 1, 16 (2017): 127