Jakarta, Literasi Hukum – Hakim konstitusi Anwar Usman masih menegaskan ketidaksetujuannya terhadap sanksi yang diberikan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam putusan No.2/MKMK/L/11/2023. Putusan tersebut diumumkan dalam sidang pleno terbuka MKMK pada Selasa (07/11/2023) yang lalu, menyimpulkan bahwa Anwar Usman telah melanggar berat Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Sapta Karsa Hutama.
Sanksi MKMK terhadap Anwar Usman
Anwar Usman telah dijatuhi sanksi berupa pencopotan dari jabatannya sebagai Ketua MK dan tidak diizinkan untuk mencalonkan atau diajukan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya berakhir. Selain itu, dia juga dilarang terlibat atau ikut campur dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan terkait perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Keputusan yang diumumkan oleh Ketua MKMK, Prof Jimly Asshiddiqie, memerintahkan Wakil Ketua MK untuk mengadakan pemilihan pemimpin baru dalam waktu 2×24 jam setelah pengumuman keputusan tersebut. Mengikuti instruksi tersebut, 9 hakim konstitusi mengadakan rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada hari Kamis (09/11/2023). Hasil dari rapat tersebut adalah pemilihan Suhartoyo sebagai Ketua dan Saldi Isra sebagai Wakil Ketua MK.
Meskipun menghadiri RPH, Anwar Usman sepertinya tidak setuju dengan pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK periode 2023-2028, sehingga dia mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan tersebut tercatat dengan nomor perkara 604/G/2023/PTUN.JKT dan diajukan pada tanggal 24 November 2023 oleh Anwar Usman.
Substansi Gugatan PTUN Anwar Usman
Dalam substansi gugatan tersebut terdapat empat poin utama. Pertama, mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan oleh penggugat. Kedua, menyatakan tidak sah atau batalnya Keputusan MK No.17 Tahun 2023 mengenai Pengangkatan Ketua MK untuk Masa Jabatan 2023-2028. Ketiga, mengharuskan tergugat untuk mencabut Keputusan MK No.17/2023 yang diterbitkan pada tanggal 9 November 2023. Keempat, menuntut tergugat untuk mengembalikan dan memulihkan posisi penggugat sebagai Ketua MK periode 2023-2028 seperti semula sebelum pemecatan.
Menurut laporan dari laman sipp.ptun-jakarta, proses pengadilan oleh majelis hakim PTUN Jakarta telah menghasilkan putusan sela pada Rabu (31/01/2024) yang lalu. Inti dari putusan sela tersebut adalah penolakan atas permohonan intervensi yang diajukan oleh Prof Denny Indrayana dan Pergerakan Advokat Nusantara serta Tim Pembela Demokrasi Indonesia.
Salah satu pengacara dari pihak Prof Denny Indrayana, yaitu M Raziv Barokah, mengonfirmasi bahwa putusan sela PTUN Jakarta menolak permohonan intervensi yang diajukan oleh Prof Denny Indrayana. Dia menyatakan bahwa pihaknya merasa kecewa dengan putusan sela tersebut, terutama karena Prof Denny merupakan salah satu pihak yang melaporkan Anwar Usman ke MKMK sejak Agustus 2023. Barokah menyatakan bahwa Prof Denny sebenarnya memiliki dasar hukum yang kuat dalam perkara ini.
Meskipun permintaan penundaan itu tidak diterima, Raziv dengan tegas menyatakan bahwa pihaknya akan terus mengawal perkara tersebut tanpa henti. Dia juga berkomitmen untuk mendoakan kesuksesan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Ketua MK, dan anggota MKMK lainnya agar diberi kemudahan dan kekuatan dalam menghadapi gugatan dari Anwar Usman.
Wejangan Jimly untuk Anwar Usman
Di sisi lain, Prof Jimly berharap Anwar Usman akan menunjukkan sikap yang patriotis dan bijaksana dengan menerima sanksi dari MKMK yang mencabut jabatannya sebagai Ketua MK. Menurutnya, upaya Anwar untuk mengembalikan jabatannya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta sebenarnya tidak diperlukan, karena ini berpotensi menimbulkan masalah saat menangani perselisihan hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024.
Jimly menekankan bahwa seorang negarawan seharusnya mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadinya. Secara keseluruhan, Jimly, yang pernah menjabat sebagai Ketua MK pada periode sebelumnya, meyakini bahwa putusan MKMK, seperti yang termaktub dalam putusan No.2/MKMK/L/11/2023 yang memuat serangkaian sanksi etik, telah tepat. Putusan tersebut dianggap penting untuk menghindari kemungkinan konflik kepentingan di masa depan.