Literasi Hukum – Semua sepakat bahwa laki-laki dan Perempuan memiliki perbedaan, kita sangatlah mudah untuk membedakan dengan dapat dilihat dari fisik, karakteristik, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Jenis kelamin merupakan faktor biologis yang dibawa manusia sejak lahir beserta perannya. Perbedaan peran tersebut menjadi sebuah hal krusial yang seringkali di perdebatkan karena adanya deskriminasi ketimpangan yang disebabkan oleh perbedaan peran itu. Tidak dapat dipungkiri, adanya jarak yang begitu besar dimana salah satu pihak akan tetap merasa paling tinggi derajatnya di bandingkan pihak yang lain, hal tersebut yang menjadikan ketidakadilan dan munculnya ketidaksetaraan.
Perbedaan sosial dan jenis kelamin membuahkan hasil adanya kesetaraan gender, jika melihat fenomena sosial, Perempuan seringkali mendapatkan deskriminasi dan penindasan sehingga tidak dapat meraih hak nya dalam berkehidupan. Negara Indonesia dalam konferensi yang telah di tetapkan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) pada tahun 1979 telah menyetujui/meratifikasi di tahun 1984, yang kemudian diubah menjadi UU No. 7 tahun 1984 mengenai penghapusan segala bentuk deskriminasi terhadap Perempuan. Namun sosialisasi terhadap masyarakat mengenai UU tersebut sangatlah kurang tersampaikan dengan baik, penetapan UU tersebut sangatlah terasa tidak sanggup dalam menangani kasus deskriminasi terhadap Perempuan, yang pada faktanya banyak sekali Perempuan tidak memperoleh haknya dan selalu mendapatkan bentuk kekerasan fisik, mental, sosial dan ekonomi,dapat terjadi dirumah, tempat bekerja maupun di masyarakat.
Diskriminasi Terhadap Perempuan
Citra, peran dan posisi perempuan telah diciptakan oleh budaya, dimana kedudukan perempuan diidealkan untuk memiliki sifat feminim, lemah, lembut, penurut. Sedangkan laki-laki diidealkan untuk memiliki sifat yang maskulin, kuat, pekerja keras, mengayomi dan siap menjadi pemimpin bagi keluarga. Keberadaan perempuan seringkali tidak diperhitungkan, pemisahan posisi dan peran yang tidak seimbang memberikan ketimpangan serta ketidak adilan peran, dimana perempuan berposisi dalam domestic sementara laki laki berada di sektor publik.
Peran Perempuan terbelenggu dalam sector domestic, berbicara mengenai hak, ia sangat terbatas dalam berperilaku maupun melakukan sesuatu, berbeda dengan laki-laki yang terasa bebas kemana saja serta melakukan apapun tanpa perlu mempertimbangkan banyak hal. Kasus kekerasan seksual yang terjadi sangat begitu besar dan didominasi oleh Perempuan yang menjadi korban, dari hal tersebut dapat kita perjuangkan hak hak perempuan dalam berkehidupan, mereka juga berhak keluar kemanapun yang ia mau layaknya laki-laki.
Tingginya paham patriarki oleh masyarakat dapat menjadi faktor yang menyebabkan ketimpangan peran, atas kebebasan laki – laki dalam berperilaku, sebenarnya ia juga bisa menjadi korban dalam kekerasan seksual, namun tak sedikit masyarakat yang menyangkal bahwa laki laki tidak bisa menjadi korban karena dia bersifat maskulin.
Perempuan sulit dalam meraih haknya
Sebagai contoh peristiwa, terdapat seorang perempuan yang ia ingin dirinya bisa nongkrong di warung kopi maupun di cafe dengan waktu yang bebas, ia pun kemudian nongkrong lalu pulang kerumah di waktu larut malam.
Ia merasa pernyataan mengenai perempuan tidak boleh keluar malam itu tidaklah diatur dalam regulasi manapun, maka dari itu dia ingin meraih kebebasan lalu membuktikan bahwa perempuan keluar malam itu tidaklah harus dicap sebagai wanita nakal atau berperilaku buruk. Ketika menuju perjalanan pulang terdapat segerombolan laki-laki sedang nongkrong disamping jalan, ia mendapatkan perilaku cat calling dari segerombolan pria tersebut, busana yang dipakai perempuan itu pun bisa dikatakan sudah tertutup, meskipun tidak tertutup itu adalah hak mereka menentukan fashion atas dirinya tanpa intervensi pihak manapun. Singkatnya ia diperkosa dan dari sini siapa yang salah? Pasti semua sepakat bahwa yang salah laki-laki.
Pada nyatanya tidaklah sedikit yang menyatakan dan menyalahkan bahwa perempuanlah yang salah, padahal apapun perbuatanya ketika tidak melanggar aturan dan hak orang lain sah-sah saja untuk dilakukan. Dari sisi keamanan pun tidaklah bisa dijamin perempuan keluar dan pulang pada malam hari hak keselamatannya bisa diperoleh.
Supremasi hukum sangatlah perlu ditegakkan demi keberlangsungan kehidupan aman bagi perempuan, menghapus deskriminasi bahwa perempuan bukanlah objek seksual, namun mereka adalah insan yang wajib dipenuhi dan dijamin hak nya.
Efek maskulinitas, laki-laki sulit menjadi korban
Pada umumnya, perempuan seringkali menjadi sasaran pelecehan atau kekerasan seksual. Akibat konstruksi masyarakat, perempuan seringkali berada pada posisi inferior atau kelas dua dan sering dianggap lemah serta tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri sehingga pantas untuk dilecehkan. Kehadiran KOMNAS PEREMPUAN menegaskan bahwa pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan merupakan hal yang krusial sehingga memerlukan penanganan serius.
Namun secara terkhusus melihat berdasarkan pemberitaan dalam media massa, pelecehan seksual juga kerap terjadi dan dialami laki-laki. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami anak laki-laki, dalam health.liputan6.com, Dr. Gina Anindyajati, Sp. Kj mengatakan di Asia Pasifik terdapat sekitar 1,5% sampai 7,7% laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual. Pelecehan seksual yang terjadi dan dialami oleh laki-laki tidak terlepas dari perspektif masyarakat mengenai maskulinitas, Maskulinitas merupakan identitas laki-laki yang dipengaruhi oleh ras, kelas, dan budaya. Maskulinitas merupakan konstruksi kelelakian terhadap laki-laki yang menjunjung tinggi nilai-nilai superioritas, kekuatan, kekuasaan, kejantanan, tangguh, dan memiliki fisik yang atletis.
Stigma maskulinitas yang dikaitkan dengan laki-laki seringkali membebani laki-laki, dalam hal ini pelecehan seksual yang dialami laki-laki, baik secara verbal maupun non-verbal, menimbulkan penindasan dalam hierarki laki-laki,terutama tentang laki-laki atau perempuan dengan posisi hierarki lebih tinggi yang melakukan ketidakadilan terhadap laki-laki yang berada di posisi lebih rendah.
Perlunya penanganan secara fundamental dalam kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki, sedikitnya lembaga yang dapat menaungi untuk dijadikan tempat melapor serta tebalnya stigma masyarakat dalam menilai laki -laki tidak mungkin menjadi korban kekerasan seksual membuat penyintas tidak dapat speal up atas kasus yang telah di terimanya. Mereka juga mengalami hal yang sama layaknya korban kekerasan seksual, rasa trauma yang sangat mendalam membuat hancurnya mental kesehatan penyintas.