Literasi Hukum – Artikel ini membahas tinjauan Pasal 12 dan 22 UUD 1945 dalam konteks keadaan darurat negara (Kegentingan Memaksa). Analisis mendalam dilakukan terhadap perbedaan konsep “keadaan bahaya” dan “kegentingan yang memaksa,” serta implikasi yuridisnya. Artikel ini juga mengevaluasi keabsahan Perpu dalam situasi darurat, termasuk contoh kasus Perpu Cipta Kerja, dan menyajikan pandangan dari para ahli hukum. Penjelasan ini penting untuk memahami mekanisme hukum yang mengatur tindakan darurat negara sesuai konstitusi.
Tinjauan Pasal 12 dan 22 UUD 1945 dalam Konteks Keadaan Darurat Negara (Kegentingan Memaksa)
Sebagai sebuah sistem yang kompleks, dalam praktiknya negara tidak hanya berjalan dalam keadaan damai tanpa hambatan melainkan juga dalam keadaan darurat. Keadaan darurat ini menuntut regulasi lebih lanjut sebagai alternatif antisipatif terhadap hal-hal yang tidak terduga dan tidak diharapkan tersebut. Lebih jauh lagi, regulasi tersebut juga diperlukan demi efisiensi dan efektivitas pranata hukum dan lembaga negara agar tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu karena keadaan darurat berdiametral dengan keadaan damai yang memungkinkan sutau negara berjalan tanpa hambatan.
Jimly dalam bukunya “Hukum Tata Negara Darurat” sebagaimana yang dikutip dari Kim Lane Scheppele menggambarkan konsep darurat pada sebuah negara. Konsep darurat secara definitif digambarkan sebagai keadaan ketika suatu negara dihadapkan pada ancaman hidup-mati yang memerlukan tindakan responsif yang dalam keadaan normal tidak mungkin dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip yang dianut oleh negara yang bersangkutan.[1] Di samping itu, Kim juga menambahkan bahwa justifikasi melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan dalam keadaan normal tersebut hanya dapat dilakukan dalam keadaan ekstrem. Dengan kata lain, negara terpaksa melakukan suatu tindakan luar biasa yang melanggar prinsip-prinsip yang dianutnya sendiri. Oleh karena itu, keadaan darurat tersebut dapat disebut sebagai keadaan luar biasa atau the state of exception. [2]
Dengan melihat gambaran tersebut, dapat ditarik benang merah mengenai konsep darurat pada sebuah negara. Pertama, adanya ancaman serius yang mengancam suatu negara. Kedua, diperlukan tindakan responsif dalam menghadapi ancaman tersebut. Ketiga, tindakan tersebut tidak dapat dilakukan dalam keadaan normal. Di samping itu, konsep darurat ini digambarkan berbeda dalam konstitusi Indonesia. Konstitusi Indonesia membagi keadaan darurat tersebut ke dalam dua bentuk, yaitu keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Pasal 12 UUD 1945 menyebut keadaan darurat tersebut dalam istilah “keadaan bahaya”. Di samping itu, Pasal 22 UUD 1945 menyebutnya dengan istilah “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Penggunaan terminologi yang berbeda ini berimplikasi pada diferensiasi implikasi yuridis keduanya. Menurut Jimly, keadaan bahaya tersebut setara dengan pengertian keadaan darurat atau state of emergency. Presiden dapat menetapkan atau menyatakan keadaan bahaya kapan saja karena termasuk wewenang Presiden sebagai kepala negara.
Sementara pada Pasal 22 UUD 1945, materi yang diatur termasuk wewenang Presiden dalam ranah kekuasan legislatif yaitu wewenang Presiden menetapkan Perpu. Jika ditelaah secara gramatikal, frasa pada Pasal 22 lebih general daripada frasa pada Pasal 12. Pasal 22 yang mengatur kegentingan memaksa itu mencakup keadaan bahaya karena keadaan bahaya itu bersifat memaksa. Sementara itu, tidak semua kegentingan yang memaksa itu bersifat bahaya. Konklusinya adalah dalam setiap keadaan apapun, Presiden dapat mengeluarkan atau menetapkan Perpu selama memenuhi syaratnya bahkan dalam keadaan normal.[3]
Syarat-syarat yang harus terpenuhi agar suatu keadaan dapat dikatakan keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa yaitu :
- Dangerous threat atau unsur ancaman yang membahayakan
- Reasonable necessity atau unsur kebutuhan yang mengharuskan
- Limited time atau unsur keterbatasan waktu[4]
Jika ketiga unsur tersebut telah terpenuhi, maka suatu keadaan negara dapat dikatakan sebagai keadaan bahaya. Namun, jika unsur yang pertama tidak terpenuhi maka keadaan tersebut termasuk ke dalam pengertian kegentingan yang memaksa. Dalam pembentukan Perpu, terdapat syarat khusus lainnya yaitu tidak tersedianya alternatif selain Perpu dalam mengatasi keadaan tersebut.[5] Dengan demikian, apabila terdapat Perpu yang tidak memenuhi unsur tersebut, maka Perpu tersebut pada hakikatnya bertentangan dengan Pasal 22 UUD 1945.
Telaah Anasir Seputar Perpu
Perpu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan produk hukum yang mendapatkan atribusi normatif dari Konstitusi. Pasal 22 UUD 1945 mengeksplisitkan termnilogi “Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang” alih-alih dengan terminologi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu. Lebih lanjut lagi, Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 menekankan frasa “Peraturan Pemerintah” yang secara eksplisit seolah menyamakan dengan Peraturan Pemerintah yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.
Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah atau PP berfungsi sebagai peraturan yang menjalankan undang-undang jelas berbeda dengan Pasal 22 UUD 1945. Pada Pasal 22 tersebut, Peraturan Pemerintah yang dimaksud merupakan peraturan dalam keadaan kegentingan yang berfungsi menampung ketentuan-ketentuan materiil yang seharusnya dituang dalam bentuk undang-undang dan menggantikan undang-undang.[6] Titik tekan penetapan Perpu adalah adanya kondisi “kegentingan yang memaksa” yang berbeda dengan PP biasa.
Kondisi “kegentingan yang memaksa” yang menjadi konsideran pembentukan Perpu ini berbeda dengan kondisi “keadaan bahaya” yang diatur regulasinya dalam Pasal 12 UUD 1945. Kedua kondisi yang distingtif ini tidak boleh disamaratakan mengingat kedua kondisi tersebut memang berbeda sejak perumusan Konstitusi. Kedua Pasal tersebut tidak mengalami perubahan baik pada perubahan pertama sampai perubahan keempat. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis produk hukum tersebut memang diatur berbeda dalam Konstitusi.
Selain itu juga terdapat perbedaan makna “kegentingan yang memaksa” dan “keadaan bahaya”. “Keadaan bahaya” bersifat objektif dalam artian berdasarkan penilaian DPR. Sementara itu “kegentingan yang memaksa” bersifat subjektif dalam artian berdasarkan penilaian Presiden yang berfungsi menangani suatu keadaan yang genting.[7] Perbedaan lainnya adalah Perpu merupakan produk hukum yang setingkat UU sedangakan PP merupakan produk hukum yang berada di bawah UU. Dengan melihat pemaparan tersebut, PP dan Perpu tidak dapat dan tidak boleh dicampuradukkan.
Telaah Unsur “Memaksa” pada Perpu Cipta Kerja
Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja merupakan Perpu yang lahir dari celah hukum pasca putusan 91/PUU-XVIII/2020 yang mengujikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pada amar putusan a quo, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yaitu jika tidak diperbaiki dalam interval dua tahun sejak putusan a quo diucapkan. Namun, pada amar putusan terdapat keganjilan yaitu UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai interval waktu yang ditentukan untuk perbaikan UU a quo. Keadaan ini sangat kontradiktif karena UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sementara itu UU a quo dinyatakan masih berlaku.
Demi mengatasi hal tersebut, Pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 yang mengandung materi substansial yang sama dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 dan bukannya melakukan perbaikan pada substansi UU a quo. Interval waktu yang diberikan oleh MK yaitu dua tahun diabaikan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan Perpu pada tanggal 30 Desember 2022 atau 13 bulan pasca Putusan 91/PUU-XVIII/2020 yang bertanggal 3 November 2021. Dengan kata lain, unsur limited time sebagai syarat akumulatif terbentuknya Perpu tidak terpenuhi.
Syarat limited time yang tidak terpenuhi cukup menjadi alasan logis inkonstitusional Perpu Cipta Kerja. Secara formal, pada konsideran “Mengingat” Pasal 22 UUD 1945 dicantumkan sebagai basis legal dan konstitusional terbentuknya Perpu tersebut. Namun, secara materiil syarat terpenuhinya kegentingan memaksa yang menjadi unsur pembentuk Perpu tidak terpenuhi. Hal ini ditambah dalam konsideran “Menimbang” bahwa penetapan Perpu tersebut sebagai pelaksana terhadap Putusan 91/PUU-XVIII/2020. Ini inkosisten karena Putusan a quo memerintahkan perbaikan pada materi UU bukan transformasi formil dari UU menjadi Perpu.
Lebih jauh lagi, menurut Dr. Despan Heryansyah, kondisi ekonomi global akibat COVID dan perang Rusia-Ukraina belum cukup untuk dikategorikan sebagai alasan dibentuknya Perpu Cipta Kerja karena masih ada alternatif lain. Alternatif yang dimaksud adalah perbaikan arah UU Cipta Kerja dengan melibatkan public participation atau partisipasi publik. Sedangkan salah satu syarat materiil pembentukan Perpu yaitu tidak tersedianya alternatif lain di samping pembentukan Perpu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembentukan Perpu dengan alasan kondisi ekonomi global yang mengancam merupakan alternatif yang keliru.[8]
Konklusi
Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik benang merah konklusif, yaitu eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja merupakan produk hukum yang tidak sesuai dengan kondisi yang membolehkan suatu Perpu dikeluarkan. Kegentingan yang memaksa yang menjadi landasan yuridis ditetapkannya Perpu tidak terpenuhi. Selain itu, kondisi negara pada saat ditetapkannya Perpu tersebut juga tidak terpenuhi dan juga menyalahi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Dengan kompleksnya hal kontroversial tersebut, hal yang diharapkan adalah agar kejadian serupa yaitu penetapan Perpu tidak sesuai dengan kondisi dan syarat-syaratnya tidak terjadi lagi. Itu karena Perpu dapat dikategorikan sebagai langkah pamungkas bagi pemerintah untuk menangani suatu kondisi di mana tidak terdapat alternatif lain. Dengan demikian, adalah tidak bijak jika produk hukum seperti Perpu dipermainkan demi kepentingan politis-ekonomis semata tanpa melihat kepentingan masyarakat publik.
[1] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007); cetakan ke-1, hlm. 58
[2] Ibid, hlm. 59
[3] Ibid, hlm. 206-207
[4] Ibid, hlm. 208
[5] Ibid, hlm. 282
[6] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (Depok: Rajawali Pers, 2017); cetakan ke-4, hlm. 55
[7] Ibid, hlm. 57
[8] Despan Heryansyah (20223 “Kegentingan Memaksa Perppu Cipta Kerja?”; diakses pada 21 Mei 2024 dari https://news.detik.com/kolom
Daftar Pustaka
- Asshiddiqie, J. (2007). Hukum Tata Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
- Asshiddiqie, J. (2017). Perihal Undang-Undang. Depok: Rajawali Pers.
- Heryansyah, D. (2023, Januari 5). Kolom. Diambil kembali dari detiknews: 2023