Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Hukum Bisnis

Pengaturan Doktrin Business Judgment Rule dalam Revisi UU BUMN: Melindungi Kepentingan Bisnis dan Menghindari Kriminalisasi Direksi

Suryanto Suryanto
15
×

Pengaturan Doktrin Business Judgment Rule dalam Revisi UU BUMN: Melindungi Kepentingan Bisnis dan Menghindari Kriminalisasi Direksi

Sebarkan artikel ini
Pengaturan Doktrin Business Judgment Rule dalam Revisi UU BUMN: Melindungi Kepentingan Bisnis dan Menghindari Kriminalisasi Direksi

Pendahuluan

Disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Revisi UU BUMN) menjadi langkah awal rezim baru pengelolaan BUMN. Terdapat beberapa hal krusial dalam Revisi UU BUMN, antara lain adalah perubahan definisi BUMN, pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), pengaturan business judgment rule (BJR), dan pengaturan mengenai satuan pengawas internal, komite audit, dan lainnya.[1] Revisi UU BUMN bertujuan untuk meningkatkan kinerja BUMN dan memaksimalkan kontribusi terhadap perekonomian nasional.[2]

Hal Penting dalam Revisi UU BUMN

Salah satu hal yang paling menarik dan memiliki dampak signifikan terhadap pengelolaan BUMN adalah pengaturan doktrin BJR. Dengan adanya doktrin BJR dalam Revisi UU BUMN, maka nantinya pertanggungjawaban manajemen BUMN tidak lagi berpedoman pada pertanggungjawaban penyelenggara negara (government judgment rule), tetapi mengacu pada pertanggungjawaban korporasi (BJR). Sebelum hadirnya Revisi UU BUMN, direksi BUMN yang menyebabkan kerugian bagi BUMN seringkali dijerat Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dengan menekankan pada unsur kerugian keuangan negara. Pola pertanggungjawaban tersebut telah menimbulkan perdebatan karena direksi BUMN yang memiliki itikad baik, tidak memiliki konflik kepentingan, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam memutuskan suatu kebijakan perusahaan, sekalipun atas kebijakan tersebut perusahaan mengalami kerugian, seharusnya tidak dapat diadili melalui pengadilan.[3] Maka dari itu, tulisan ini akan membahas faktor apa saja yang menjadikan pertanggungjawaban direksi BUMN menjadi diutamakan pada doktrin BJR dan apa implikasi dari mekanisme pertanggungjawaban tersebut kedepannya.

Doktrin Busines Judgment Rule dalam UU BUMN

Doktrin BJR bagi direksi diatur dalam Pasal 9F ayat (1) Revisi UU BUMN, yang menyatakan bahwa direksi BUMN tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian apabila dapat membuktikan:

  1. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan tujuan BUMN;
  3. tidak mempunyai benturan kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan
  4. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Ketentuan Pasal 9F di atas mengadopsi doktrin BJR ke dalam Revisi UU BUMN yang sebelumnya hanya terdapat dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN.[4] Preseden penerapan BJR di Indonesia dapat dilihat dalam Putusan Kasasi Nomor 121 K/Pid.sus/2020 yang membebaskan mantan Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan, dari segala tuntutan. Pertimbangan hakim dalam putusan tersebut salah satunya dikarenakan tindakan yang dilakukan oleh direksi tidak keluar dari BJR, terdakwa dalam kasus tersebut dapat membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak ada unsur kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan melawan hukum, dan kesalahan yang disengaja.

Pertanggungjawaban Direksi BUMN

 Pertanggungjawaban hukum direksi BUMN yang mengutamakan pada doktrin BJR dipengaruhi oleh dua hal utama yang juga diatur dalam Revisi UU BUMN, yaitu (i) penegasan bahwa BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dari keuangan negara, dalam hal ini termasuk kekayaan BUMN menjadi milik dan tanggung jawab BUMN serta keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN (Pasal 4A ayat 5  dan Pasal 4B) dan (ii) penegasan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dewan pengawas, karyawan BUMN, dan organ BPI Danantara bukan merupakan penyelenggara negara (Pasal 9G.)[5] Adanya Pasal 4A ayat (5) yang menyatakan bahwa kekayaan BUMN menjadi milik BUMN sejalan dengan pendapat hakim konstitusi, Harjono yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 yang berpendapat bahwa modal BUMN yang diperoleh dari kekayaan negara menjadi milik perusahaan dan hubungan negara dengan kekayaan yang dimilikinya tersebut menjadi putus karena telah dikonversi menjadi hak kepemilikan saham, hak suara dalam RUPS, dan hak untuk mendapat dividen.[6]

Dua Implikasi Penting Pengaturan BJR dalam UU BUMN

Terdapat dua implikasi utama dari diaturnya BJR dalam Revisi UU BUMN, yaitu: Pertama, pertanggungjawaban yang dikenakan bagi direksi BUMN apabila melakukan kesalahan atau lalai dalam menjalankan tugasnya (termasuk menimbulkan kerugian keuangan BUMN) akan didasarkan pada pertanggungjawaban korporasi yang diatur dalam UUPT, artinya setiap anggota direksi bertanggung jawab secara pribadi.[7] Pertanggungjawaban direksi berdasarkan UUPT terbagi menjadi dua, yaitu pertanggungjawaban secara perdata dan pertanggungjawaban secara pidana.[8] Namun, pertanggungjawaban secara pidana yang dimaksud tidak didasarkan pada UU Tipikor karena kerugian BUMN bukan lagi kerugian keuangan negara dan direksi BUMN bukan lagi penyelenggara negara. Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi kriminalisasi terhadap direksi BUMN seperti pada kasus mantan Direksi PT Pertamina, Karen Agustiawan, dan mantan Direksi PT Merpati Airline, Hotasi Nababan, pada dua kasus tersebut kerugian yang timbul dikarenakan faktor eksternal dan bukan kesalahan direksi.

Kedua, penegasan kerugian BUMN bukan lagi merupakan kerugian keuangan negara dan pengaturan BJR yang terdapat dalam Revisi UU BUMN akan membuat direksi-direksi BUMN lebih leluasa dalam mengambil kebijakan bisnis yang lebih berani untuk mencapai tujuan BUMN, yaitu memperoleh keuntungan. Selama ini jika kerugian BUMN dimaknai sebagai korupsi maka para direksi akan sulit untuk mengambil kebijakan yang berdampak luas[9] dan juga akan takut untuk melakukan aksi korporasi.[9] Padahal, BUMN sekalipun dimiliki oleh negara, tetapi tidak ada bedanya dengan korporasi pada umumnya yang membutuhkan kebebasan dalam mengembangkan bisnisnya.[10]

Kesimpulan

Revisi UU BUMN membawa banyak perubahan dalam tata kelola BUMN, antara lain menegaskan bahwa kekayaan BUMN merupakan kekayaan yang terpisah dari keuangan negara, penegasan bahwa direksi BUMN bukan lagi merupakan penyelenggara negara, dan pengaturan BJR yang sebelumnya hanya diatur dalam UUPT. Dengan berbagai perubahan tersebut, diharapkan direksi BUMN dapat lebih bebas dalam membuat kebijakan bisnis dan aksi-aksi korporasi. Selama kebijakan direksi tersebut sesuai dengan tujuan perusahaan dan tidak keluar dari koridor BJR yang terdapat dalam Pasal 9F, maka tidak perlu khawatir akan dimintai pertanggungjawaban hukum.

[11] Desak Made Setyarini, dkk, “Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum,” Jurnal Analogi Hukum, 2, no.1, (2020), 13. http://dx.doi.org/10.22225/.2.1.1608.12-16

[10] Karisna Mega Pasha, “Adakah Risiko Hukum Jabatan Direksi?,” Hukum Online, February 21, 2025.

[9] Amelia Yesidora, “Putusan Direksi BUMN Dinilai Tak Bisa Dipidana, Bagaimana Dasarnya?,” Katadata, May 23, 2024.

[8] Dimas Waraditya Nugraha, “RUU BUMN Diminta Akomodasi Aturan Penilaian Bisnis,” Kompas, January 30, 2025.

[7] Monica Wareza, “Ternyata Gara-gara Ini Komisaris-Direksi ‘stres’ Urus BUMN,” CNBC Indonesia, September 27, 2021.

[6] “Revisi UU BUMN: Perubahan Besar Tata Kelola BUMN dan Pembentukan BPI Danantara,” UMBRA, February 25, 2025.

[5] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, hlm. 237 – 238.

[4] Fharefta Akmalia dan Muhammad Rafi Syamsudi, “Pergeseran Makna Kekayaan BUMN dan Implikasinya Terhadap Pertanggungjawaban Direksi BUMN,” Hukum Online, February 22, 2025.

[3] Dara Salsabila, “Rekonstruksi Problematika pertanggungjawaban Pidana Korupsi Korporasi: Kajian Normatif Kedudukan Hukum Diametral Badan Usaha Milik Negara,” Majalah Hukum Nasional, 50, no.1 (July 27, 2020): 38, https://doi.org/10.33331/mhn.v50i1.56

[1] Ady Thea DA, “Memuat 10 Materi Pokok, DPR Sahkan RUU BUMN Jadi UU,” Hukum Online, February 4, 2025.

[2] Loc.cit.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.