Jakarta, literasihukum – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.62/PUU-XXII/2024 mencatat sejarah baru dalam politik Indonesia, khususnya terkait pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu. Dengan putusan ini, ambang batas pencalonan yang sebelumnya mewajibkan partai politik atau gabungan partai memperoleh minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional pada pemilu sebelumnya kini dihapuskan.
Prof Jimly Asshiddiqie, Ketua MK periode 2003-2008, menyampaikan apresiasi terhadap putusan tersebut. Menurutnya, terdapat tiga poin penting yang harus diperhatikan. Pertama, perubahan sikap MK dalam mengabulkan permohonan pengujian Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi tonggak penting, mengingat sebelumnya permohonan serupa selalu ditolak.
Pergeseran Pendirian Mahkamah
Menurut Prof Jimly, pergeseran pendirian MK terkait perkembangan politik, terutama munculnya hanya dua pasangan calon dalam beberapa pemilu terakhir. Pola ini, selain memecah masyarakat dalam dua kubu, juga menunjukkan dominasi petahana yang hampir selalu menang.
“Hal itu menunjukkan institusi politik yang ada belum kuat dan budaya feodal belum hilang,” ujar Prof Jimly dalam diskusi bertema Masa Depan Demokrasi Indonesia: Presidential Threshold Pasca Putusan MK.
Budaya Politik dan Dampaknya
Prof Jimly menilai bahwa lemahnya lembaga politik dan masih kuatnya budaya feodal terlihat dalam kontestasi politik. Sebagai contoh, dukungan politik dari tokoh berpengaruh sering kali menjadi penentu hasil pemilu, berbeda dengan Amerika Serikat yang lebih mengedepankan sistem meritokrasi.
“Berbeda dengan di sini, Presiden kedip-kedip mata saja pejabat langsung mengerti maksudnya,” katanya. Situasi ini juga menyebabkan partai politik cenderung pragmatis dalam membentuk koalisi, yang membuat MK mempertimbangkan ulang kebijakan ambang batas pencalonan.
Pemilu yang Lebih Inklusif
Prof Jimly juga menegaskan pentingnya pemilu yang lebih inklusif dengan melibatkan lebih banyak pasangan calon. Hal ini mencerminkan keberagaman Indonesia. Partai politik harus memastikan proses seleksi yang demokratis, seperti melalui konvensi dengan tim independen untuk menjaring calon terbaik.
“Patut disyukuri putusan MK ini diterima dengan baik oleh para pemangku kepentingan. Tinggal bagaimana pengaturannya dalam UU Pemilu,” usulnya.
Dampak bagi Kompetisi Politik
Ketua Departemen Hukum Tata Negara UII, Jamaludin Ghafur, menyatakan penghapusan presidential threshold dapat meningkatkan kompetisi dalam Pilpres. Dengan lebih banyak pilihan calon, masyarakat diharapkan lebih antusias menggunakan hak pilihnya, sementara kandidat akan lebih responsif terhadap aspirasi publik.
Prof Taufiqurrohman Syahuri dari UPN Jakarta menambahkan, penghapusan ambang batas pencalonan erat kaitannya dengan kedaulatan rakyat.
“Rakyat harus memilih calon yang melalui proses seleksi yang ketat agar kualitas pemimpin terjamin,” tutupnya.