Jakarta, LITERASI HUKUM— Mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rudi Suparmono, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus suap terkait vonis bebas pelaku penganiayaan berat, Ronald Tannur. Rudi diduga terlibat dalam pengaturan komposisi hakim yang bertugas untuk memberikan vonis bebas kepada Ronald.
Rudi dijemput di Palembang, Sumatera Selatan, dan dibawa ke Jakarta untuk diperiksa sebagai saksi. Ia tiba di Kejaksaan Agung pada Selasa (14/1/2025) sekitar pukul 17.30 WIB. Setelah diperiksa selama dua jam, ia ditetapkan sebagai tersangka. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, dalam konferensi pers Selasa malam, menjelaskan bahwa Rudi bersama tiga hakim PN Surabaya, yaitu Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, diduga menerima suap dari pengacara Ronald, Lisa Rachmat, untuk memengaruhi putusan pengadilan.
Rudi menerima suap sebesar 43.000 dolar Singapura dari Lisa dan dijanjikan tambahan 20.000 dolar Singapura dari Erintuah. Barang bukti berupa uang tunai dalam berbagai mata uang, termasuk rupiah, dolar AS, dan dolar Singapura, dengan total Rp 21 miliar, disita dari dua rumah milik Rudi yang terletak di Jakarta Pusat dan Palembang. Uang tersebut masih ditelusuri asal-usulnya oleh tim penyidik. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, Rudi akan ditahan selama 20 hari di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Saat ini, Rudi menjabat sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Palembang. Sebelumnya, ia pernah memimpin PN Jakarta Pusat selama delapan bulan, dari April hingga November 2024. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyatakan bahwa penetapan Rudi sebagai tersangka berdasarkan dua alat bukti yang cukup.
Kronologi Kasus
Kasus ini berawal dari permintaan ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja, kepada Lisa Rachmat untuk membantu mengurus vonis bebas Ronald di PN Surabaya. Pada Oktober 2023, Meirizka menyerahkan uang Rp 1,5 miliar kepada Lisa. Selanjutnya, Lisa bertemu Ketua PN Surabaya saat itu, Rudi Suparmono, dan menanyakan komposisi hakim yang akan menangani kasus Ronald. Rudi menginformasikan bahwa hakim yang akan menangani adalah Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo.
Pada Juni 2024, Lisa memberikan amplop berisi uang sebesar 140.000 dolar Singapura kepada Erintuah di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Uang tersebut kemudian dibagikan kepada para hakim, yakni 38.000 dolar Singapura untuk Erintuah dan masing-masing 36.000 dolar Singapura untuk Mangapul dan Heru. Selain itu, Lisa juga memberikan 20.000 dolar Singapura kepada Rudi dan 10.000 dolar Singapura kepada panitera Siswanto.
Pada Juli 2024, majelis hakim yang terdiri dari Erintuah, Mangapul, dan Heru membebaskan Ronald Tannur dari segala tuduhan. Sebelum pembacaan putusan, Erintuah bahkan menyusun redaksional vonis bebas tersebut, yang sempat direvisi oleh Heru.
Kasus ini terungkap setelah operasi tangkap tangan terhadap ketiga hakim oleh Kejaksaan Agung pada Oktober 2024. Tiga hakim tersebut kini diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta atas dugaan penerimaan suap senilai Rp 1 miliar dan 308.000 dolar Singapura atau setara Rp 3,6 miliar.
Aspek Hukum
Menurut Abdul Qohar, penetapan Rudi sebagai tersangka tidak memerlukan persetujuan Mahkamah Agung (MA) karena ia terjerat dalam kasus operasi tangkap tangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum. Meski demikian, Wakil Ketua MA, Suharto, menyatakan bahwa ia belum mendapatkan informasi terkait penahanan Rudi dan akan melakukan pengecekan lebih lanjut.
Sementara itu, Lisa Rachmat telah dilimpahkan ke jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (8/1/2025). Jaksa menduga bahwa uang yang diberikan kepada para hakim bertujuan untuk memengaruhi putusan bebas terhadap Ronald Tannur.
Kini, penyelidikan masih berlanjut untuk mengungkap lebih banyak pihak yang terlibat, termasuk asal-usul uang Rp 21 miliar yang ditemukan di rumah Rudi.