Opini

Artificial Intelligence, Pantaskah Dianggap Sebagai Subjek Hukum?

Dedon Dianta
1306
×

Artificial Intelligence, Pantaskah Dianggap Sebagai Subjek Hukum?

Sebarkan artikel ini
artificial intelligence, brain, thinking-4389372.jpg
Ilustrasi Artificial Intelligence.

Literasi Hukum – Teknologi yang berkembang begitu pesat pada abad ini, menimbulkan berbagai penemuan canggih yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, salah satunya ialah kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang mulanya digagas pada tahun 1955 oleh John McCarty. Pada tataran konseptual, sistem yang semakin cerdas, maka sistem tersebut semakin berpeluang juga untuk menimbulkan akibat hukum. Cerdasnya sistem tersebut, lantas apakah sistem tersebut wajib diatur perlindungan hukumnya sebagaimana manusia?

Diskusi Mengenai Artificial Intelligence

Berbagai macam diskusi yang membahas mengenai Artificial Intelligence (AI) ini sangat banyak, seperti European Parliament’s Committee on Legal Affairs pada tahun 2016 tentang urgensi hukum privat terhadap kecerdasan buatan, hingga Yueh-Hsuan Weng pada tahun 2009 di Peking University yang mengulas mengenai persiapan tatanan hukum oleh pemerintah Korea Selatan dan Jepang agar terjadi hubungan yang harmonis dan antara warga negaranya dan kecerdasan buatan.

Di Indonesia, diskusi Artificial Intelligence (AI) belum banyak, sangat jelas juga bahwasannya belum ada pengaturan hukum apapun terkait dengan kecerdasan buatan di Indonesia. Namun, jika menilik secara kontekstual, maka AI dapat dimungkinkan untuk mendapatkan pengakuan sebagai terobosan subjek hukum baru.

Artificial Intelligence di Indonesia

Menilik dari pengaturan hukum yang ada saat ini, Artificial Intelligence (AI) dapat kita analisis pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Pekerja merupakan analogi yang diberikan oleh KUHPer secara tidak langsung. Pada dasarnya, AI diciptakan untuk membantu manusia dalam melakukan kegiatannya. Sehingga, AI tentunya bisa kita analogikan pekerja yang memiliki hubungan hukum dengan majikannya yang termaktub dalam Pasal 1367 ayat (1) dan (3) KUHPer dengan bunyi:

“(1) Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.” Dan (3) Majikan-majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya”

Sistem Artificial Intelligence (AI) yang memiliki karakteristik sebagai pekerja sebagaimana pada penerapannya yang membantu pekerjaan manusia. Dalam hal ini, jika ditinjau dari hubungan antara pekerja dan majikan, maka yang memiliki AI selaku pemberi kerja bertanggung jawab terhadap adanya kesalahan/kelalaian dari AI.

Di sisi lain, adanya kesamaan antara hubungan hukum antara AI dan majikan dengan hubungan hukum antara hewan dan pemilik hewan. Dengan demikian, apabila AI dianalogikan sebagai pekerja, maka dimungkinkan juga untuk menganalogikan AI sebagai hewan. Hal tersebut sebagaimana KUHPer yang mengatur bahwasannya apabila hewan menyebabkan kerugian, maka beban tanggung jawabnya dilimpahkan kepada pemilik hewan. Namun, menganalogikan AI sebagai hewan dapat diperdebatkan karena harus dianalisis lagi dari sisi teoritis dan filosofisnya.

AI dan Subjek Hukum

Menyamakan atau mengkategorikan AI sebagaimana manusia harus diakui merupakan hal yang tidak mudah. Namun, secara historis perdebatan seperti ini pernah diadakan terkait pandangan korporasi sebagai subjek hukum. Inti dari istilah tersebut, korporasi bukanlah suatu organisme, tetapi karena kebutuhan mengharuskan korporasi untuk diakui sebagai subjek hukum. Lahirlah teori organ dan teori badan hukum dari yang terkandung di dalamnya, sehingga hukum dapat memberikan pengakuan terhadap entitas selain manusia sebagai subjek hukum ( natuurlijk person ).

*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Menilik Ruang Kosong Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Opini

Artikel ini membahas keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia, fleksibilitas dalam memilih arbiter, serta tata cara pengajuan koreksi atau keberatan terhadap putusan arbitrase berdasarkan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Temukan pentingnya aturan lebih lanjut terkait tata cara pengajuan koreksi dan keberatan dalam arbitrase.

Pencatatan Palsu Surat dan Keabsahannya
Ilmu Hukum

Artikel ini membahas mengenai pencatatan surat palsu, sebuah tindakan ilegal yang melibatkan pembuatan atau pengubahan surat untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah.

Mandeknya Keadilan Dalam Kasus “Vina Cirebon”
Hukum

Masyarakat Indonesia kembali diperdebatkan dengan rilisnya film “VINA: Sebelum 7 Hari” di bioskop. Film ini mengangkat kasus pembunuhan Vina dan kekasihnya Eky di Cirebon pada 27 Agustus 2016, yang sebelumnya diduga sebagai kecelakaan tunggal.