Hal menarik ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo – Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut bukan tanpa alasan sebab jika dilihat dari jumlah strukturalnya memang sangat banyak. Tak kurang Prabowo melantik 108 orang yang ditugaskan untuk membantu dirinya selama lima tahun mendatang yang terdiri dari 7 Menteri Koordinator, 41 Menteri, 55 Wamen dan pejabat lain setingkat Menteri.
Tentu penunjukkan tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah pemilihannya berdasarkan kualitas atau hanya sekadar bagi-bagi jabatan. Bahkan, demi menyediakan tempat bagi tim suksesnya kala maju dalam kontestasi pemilihan Presiden, Prabowo banyak memecah Kemenkoan dan Kementerian. Sebagai contohnya, Kemenkoan Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan yang dijabat oleh Yusril Ihza Mahendra yang tak lain merupakan ketua tim hukum Prabowo – Gibran di perhelatan pilpres kemarin.
Kemenkoan yang dipimpin Yusril tersebut hadir sebagai pemecahan terhadap Kemenkoan Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) sebab bidang Politik dan Keamanan diekslusi menjadi Kemenkoan sendiri dibawah koordinasi Budi Gunawan yang merupakan eks pimpinan Badan Intelijen Negara (BIN). Selain itu ada nomenklatur Kemenkoan baru yaitu Kemenkoan bidang Pangan yang dikoordinir oleh Zulkifli Hasan, Kemenkoan Pemberdayaan Masyarakat yang dipimpin oleh Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan terakhir yaitu Kemenkoan bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan yang diketuai oleh Agus Harimurti Yudhoyono.
Selain itu, di tingkat Kementerian teknis juga ada beberapa pemecahan. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) misalnya yang dibagi menjadi tiga yaitu Kementerian Hukum yang dijabat oleh Supratman Andi Agtas, kemudian Kementerian HAM yang dijabat oleh Natalius Pigai lalu Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan yang dijabat oleh mantan Wakapolri, Komjen Agus Indriyanto. Lalu ada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dipecah menjadi dua yaitu Kementerian Pekerjaan Umum yang dipimpin oleh Dodi Hanggodo dan Kementerian Perumahan Rakyat dibawah komando Maruar Sirait.
Kemeterian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) juga dipecah menjadi dua yaitu Kementerian Pariwisata yang dijabat oleh Widyanti Putri dan Kementerian Ekonomi Kreatif atau Kepala Badan Ekonomi Kreatif yang dijabat oleh Teuku Rifki Harsya. Ada juga Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) yang dipecah juga menjadi dua Kementerian yaitu Kementerian Koperasi yang diketuai oleh ketua Projo sekaligus mantan Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Budi Arie dan Kementerian UMKM yang dipimpin oleh Maman Abdurrahman. Sertaa ada beberapa Kementerian lain yang juga mengalami pemecahan dan tak bisa disebutkan serta dijelaskan satu persatu.
Selain ada pemecahan di sektor Kementerian teknis, Prabowo juga melantik beberapa utusan khusus yang sebelumnya tidak ada di zaman Jokowi – Ma’ruf Amin. Sebut saja Utsus bidang Ketahanan Pangan yang dijabat Muhammad Mardiono, Ketua Umum PPP. Utsus bidang Kerukunan Beragama yang dijabat oleh Gus Miftah sebelum akhirnya mengundurkan diri akibat kontroversi penghinaan terhadap penjual es teh. Ada juga Rafi Ahmad yang ditugaskan sebagai utsus bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni serta beberapa utsus lainnya yang tidak bisa disebutkan semuanya saking banyaknya.
Komposisi kabinet yang sangat obesitas tersebut menimbulkan satu pertanyaan besar terkait dengan efisiensi kerja dan garis koordinasinya. Sebab, hal tersebut akan berkenaan dengan penyelarasan aturan Kementerian terkait yang akan memakan waktu lama. Di zaman periode awal Jokowi berkuasa dibutuhkan kurang lebih dua setengah tahun untuk membenahi aturan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sebelumnya di zaman Susilo Bambang Yudhoyono dipisah antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, sehingga proses penyelarasan aturannya memakan waktu yang cukup lama.
Dengan melihat jumlah Kemenkoan dan Kementerian yang banyak serta muncul beberapa nomenklatur baru tentu proses penyelarasan aturan tingkat kementeriannya juga akan memakan waktu yang panjang dan menyisakan tingkat efisiensi kerja lembaga atau kementerian yang bersangkutan. Sebagai contoh Kemenkumham yang dipecah menjadi tiga, maka penyelarasan aturan perlu dilakukan agar tidak adanya tumpang tindih regulasi. Dalam hal ini perlu adanya pemisahan dan pemilahan aturan yang harus dilakukan sebelum tiga kementerian itu bisa bekerja optimal.
Mengingat salah satu penghambat terjadinya efisiensi aturan atau regulasi dalam proses pelaksanaan layanan adalah aturan ditingkat kementerian yang sering tumpang tindih sehingga menciptakan alur birokrasi yang rumit. Tentu kerumitan dari segi alur birokrasi tersebut membuat pelayanan terhadap masyarakat menjadi lambat dan berbelit.
Sebagai penutup, komposisi kabinet obesitas ini perlu ada penekanan dan kontrol yang lebih ketat. Jangan sampai dengan jumlah kabinet yang besar ada kementerian yang tidak kerja. Mungkin sekarang masih terlalu awal untuk melakukan evaluasi, namun sudah terlihat ada beberapa Kementerian yang belum kelihatan kinerjanya. Satu alasan yang pasti perlu adanya penyesuaian dan pembagian kerja agar beberapa nomenklatur Kementerian baru dapat bekerja akan tetapi dari sini sudah dapat disimpulkan bahwa pembentukan kabinet gemuk ini akan nir-efisien.
Dari segi pragmatisme politik, pembentukan kabinet jumbo dan obesitas ini merupakan balas budi kepada mereka yang telah membantu Prabowo – Gibran dalam kontestasi Pilpres kemarin baik kepada partai politik koalisi, individu atau kelompok tertentu yang memerlukan adanya transaksi jabatan. Prabowo – Gibran jelas punya PR besar dalam melakukan pembuktian kepada masyarakat terutama terkait dengan kualitas para pembantunya. Terlebih, Prabowo pernah berujar, tidak ada Menteri titipan dan siapa saja yang tidak bekerja dengan benar akan diganti. Mari tunggu saja apakah ungkapan tersebut benar adanya atau hanya omong kosong belaka. Jangan hanya garang kepada masyarakat tapi lembek kepada orang-orang terdekatnya.