JAKARTA, LITERASI HUKUM — Rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi Undang-Undang TNI dan Polri dinilai perlu dihentikan. Hal ini dikarenakan berbagai masalah yang mungkin muncul dari perubahan kedua undang-undang tersebut. Presiden Joko Widodo diharapkan tidak mengeluarkan surat presiden (surpres) agar revisi kedua UU ini tidak dapat dilanjutkan ke tahap pembahasan bersama DPR dan pemerintah.
Persetujuan DPR dan Langkah Selanjutnya
DPR telah menyetujui RUU perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebagai RUU inisiatif DPR pada 28 Mei 2024. Kini, kelanjutan pembahasan kedua RUU tersebut tergantung pada pemerintah. Presiden memiliki waktu 60 hari untuk mengirimkan surpres jika setuju membahas kedua RUU tersebut bersama DPR.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta, Minggu (2/6/2024), menyatakan bahwa pemerintah harus menganalisis secara mendalam dan tepat substansi dari RUU Polri dan RUU TNI. Koalisi masyarakat sipil menemukan pasal-pasal yang berpotensi merugikan masa depan bangsa Indonesia, mulai dari aspek keamanan, hubungan antarkelembagaan, perlindungan hak asasi manusia (HAM), hingga ruang demokrasi.
Isnur berharap Presiden Jokowi tidak mengeluarkan surpres untuk RUU TNI dan RUU Polri. “Jika Presiden mengirim surpres tanpa menelaah substansinya secara kritis, ada kemungkinan ada agenda tersembunyi. Jangan-jangan kedua RUU tersebut memang digodok oleh pemerintah, tetapi kemudian dimasukkan oleh DPR. Kami khawatir seperti itu. Karena tiba-tiba muncul, diusulkan, dan disetujui di Baleg dengan cepat,” ujar Isnur.
Kritik dan Saran dari Masyarakat Sipil
Menurut Isnur, jika Presiden Jokowi tetap mengirimkan surpres persetujuan pembahasan kedua RUU tersebut, publik patut mempertanyakan komitmen Presiden Jokowi terhadap demokrasi dan perlindungan HAM. “Ini akan merusak capaian demokrasi pascareformasi dan menjadi warisan buruk dari Pak Jokowi di akhir masa pemerintahannya,” ujarnya.
Usulan revisi UU TNI dan UU Polri yang disepakati sebagai RUU inisiatif DPR mendapat kritik. Di antaranya dari 23 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian. Koalisi ini menolak keras RUU Polri dan RUU TNI karena substansinya dinilai menyimpang dari prinsip negara hukum dan demokrasi yang dicita-citakan pascareformasi.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Aan Eko Widiarto, menyatakan ada dua pilihan bagi Presiden Jokowi untuk menindaklanjuti penolakan dari masyarakat sipil. Pertama, Presiden tidak perlu mengeluarkan surpres. Kedua, jika surpres tetap dikeluarkan, pemerintah harus tegas menghapus pasal-pasal yang dinilai melemahkan demokrasi. Jika DPR tetap memasukkan pasal-pasal bermasalah tersebut, pemerintah bisa menolak untuk membahasnya lebih lanjut.
“Presiden Jokowi bisa beralasan bahwa Oktober nanti akan ada presiden baru. Daripada meninggalkan fondasi demokrasi yang rapuh, sebaiknya pembahasan menunggu presiden yang baru. Dua RUU ini sangat fundamental, menyangkut alat negara yang memiliki alutsista, sehingga harus dibahas di masa yang stabil, bukan di masa peralihan,” ujarnya.
Pandangan DPR dan Pihak Eksekutif
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Supratman Andi Agtas, mengatakan pembahasan RUU TNI dan RUU Polri tinggal menunggu surpres. “Surpres wajib dikirim ke DPR paling lama 60 hari. Apakah isinya setuju, nanti di pembahasan. Siapa tahu presiden menolak semuanya. Jadi, bola ada di pemerintah,” katanya.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Golkar, Supriansa, berpendapat jika pemerintah setuju membahas dua RUU tersebut, tidak membutuhkan waktu lama karena substansi yang diubah juga tidak banyak.
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin, melihat reaksi kalangan tertentu terhadap dua RUU tersebut berlebihan. Kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI dan kemunduran demokrasi juga tidak beralasan. Ngabalin menegaskan bahwa polisi dan tentara merupakan institusi negara yang melaksanakan keputusan politik sipil, dan memahami kewenangan mereka dibatasi oleh hukum.
“Jadi, tolong, jangan menakut-nakuti dengan pernyataan yang membelenggu diri kita sendiri. Khawatir boleh, tapi tidak berlebihan, bahkan mengatakan kembali ke Orde Baru. Itu berlebihan,” ujarnya.
Proses kedua RUU menjadi UU masih panjang karena harus melewati pembahasan antara DPR dan pemerintah. Ngabalin belum memastikan apakah Presiden Jokowi akan mengirimkan surpres atau tidak. Namun, ia menegaskan komitmen Presiden Jokowi dan presiden terpilih, Prabowo Subianto, terhadap demokrasi sangat kuat. “Saya pastikan pasal demi pasal akan dibahas dengan hati-hati,” ujarnya.