Literasi Hukum – Pemilihan Umum Serentak tahun 2024 yang telah dilaksanakan pada 14 Februari 2024 telah berlangsung. Masyarakat telah menggunakan hak pilihnya kendati masih ada Sebagian yang memutuskan tidak memilih dengan ragam alasan. Itu pilihan memilih adalah pilihan, tidak memilih pun sebuah pilihan. Persoalannya justru setelah hasil rilis hitung cepat yang dilaksanakan sejumlah Lembaga survei mempertontonkan perolehan hasil yang saling diperdebatkan dan dipertanyakan. Hasil hitung cepat yang diperoleh telah menyasar pada kemenangan pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden nomor urut 2. Kondisi ini menuai pro-kontra. Bagian dari pendukung rival politik pasangan nomor urut 2 (01 dan 03) saling memberikan klaim dan mempertanyakan transparansi hasil yang diperoleh dalam skala hitung cepat.
Tak pelak lagi, masyarakat dibuat gundah dengan hasil hitung cepat. Metode hasil hitung cepat yang digunakan pun memancing rasa penasaran publik hingga bermunculan banyak hasil kajian dan analisis. Kritik pun mulai bermunculan lantas apakah sebenarnya perolehan hasil hitung cepat itu bagian dari intrik politik atau justru hasil yang tiap lima tahun pesta rakyat terselenggara hanya menuai polemik? Masyarakat harus terus disadarkan dengan kesadaran politik yang beradab dan tidak sebatas pada persetujuan atas pernyataan yang simpang-siur. Kesimpangsiuran ini tampak dari masih masifnya penyerangan personal dan komunal tertentu tanpa memikirkan implikasi yang mungkin terjadi di kemudian hari.
Apakah kondisi demikian yang dijadikan landasan berdemokrasi? Berpijak awal dari terbitnya putusan etis Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi hingga kondisi menyedihkan dari intrik dan pola kekuasaan eksekutif yang dianggap sangat kuat. Perhelatan pemilu tahun 2024 pun dinilai menjadi pemilu terburuk sepanjang masa reformasi karena telah memprakarsai dibukakannya keran kesempatan bagi anggota keluarga tertentu dengan mengubah rumusan aturan yang telah berlaku. Dan berlanjut dengan dugaan dan tuduhan yang menyasar pada catatan historis personal pada masa lampau tanpa kemudian dapat dipertanggungjawabkan pada penyandingan hasil analisis dan kajian yang mendalam dan rasional.
Pertanyaan selanjutnya apakah sebenarnya tuntutan atas hukum yang adil dan pelaksanaan demokrasi yang bermartabat hanya menghadirkan asumsi dan tuduhan tak berdasar saja? Asumsi mestinya disokong oleh bukti dan bukti dapat dijelaskan melalui kritik dan analisis data yang reliabilitasnya dapat diterima. Suara publik yang dianggap perlu diperhatikan dalam suatu negara yang menjunjung demokrasi harus mengacu pada penerimaan atas realitas yang terjadi. Mengkritik merupakan bagian dari perhatian praktik demokrasi di suatu negara namun di tengah-tengah permasalahan politik maupun hukum. Kondisi demikian semestinya tidak menjadikan kerangka demokrasi menjadi tumpuan manipulasi hukum. Semua harus berjalan sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Masyarakat harus mampu menerima perbedaan dan merasakan bahwa negara adalah untuk semua.
Formulasi Indonesia sebagai negara hukum masih berkutat pada pemenuhan sisi formal yang menggabungkan aspek-aspek utama dari bangunan negara hukum. Hingga kemudian formulasi tersebut diisi oleh sisi substansial. Realitas yang kemudian harus diterima oleh masyarakat adalah hukum tanpa substansi yang kehilangan esensi. Negara yang direpresentasikan oleh otoritas pemerintahan yang merumuskan hukum sebagai formalitas guna menampung hak-hak manusia sebagai substansi pokok dari hukum. Masyarakat harus diajak untuk selalu menentukan dan membedakan landasan kehidupan politik dalam kelakuan sehari-hari masyarakat. Realitas sosial semestinya tidak menjadikan munculnya dominasi relasi kuasa dan penindasan.
Kehidupan sosial masyarakat harus terbangun sebaiknya tidak diatur oleh perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan adalah akar dari penindasan artinya fenomena sosial yang muncul sebagai konsekuensi dari kehendak dan perjuangan manusia untuk memperoleh kekuasaan. Akar dari penindasan adalah kekuasaan menjadi aspek yang menguasai manusia. Selain itu kekuasaan yang diupayakan untuk hadir bersumber dari akar kehendak berkuasa dan memperjuangkan kekuasaan. Kondisi demikian memunculkan sisi animalitas manusia. Apakah kemudian kekuasaan yang eksis dan diakui tersebut harus diakui pada keterbatasannya saat berhadapan dengan kekuasaan yang lain?
Sisi animalitas manusia telah menciptakan semacam perhatian untuk merumuskan landasan keyakinan yang baik yang mampu membedakan landasan kebaikan tertinggi dan keterarahan pada kebaikan. Landasan kebaikan yang memperhatikan keterarahan pada kebaikan sebaiknya juga tidak sekadar dan berkadar hanya pada menghendaki kehendak untuk berkuasa. Masyarakat harus merasakan bahwa negara hadir dan berperan untuk semua tanpa adanya segregasi tertentu. Masyarakat juga harus diyakinkan bahwa negara yang direpresentasikan melalui kekuasaan pemerintahan harus dapat menjamin cita-cita kebersamaan.
Pra pemilu 2024 tepatnya pada kesempatan debat capres dan cawapres yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) masyarakat dihebohkan dengan berbagai gimmick dan narasi yang disampaikan oleh masing-masing pasangan calon. Perdebatan diawali dengan penyampaian visi-misi pasangan calon dan kemampuan para calon untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan oleh panelis. Masing-masing pasangan calon juga diharuskan untuk memberikan respon dan tanggapannya atas pertanyaan dan pernyataan yang disampaikan antar pasangan calon selama durasi debat berlangsung.
Tanggal 14 Februari 2024 menjadi saksi dari momentum untuk menentukan pilihan masing-masing untuk kurun waktu lima tahun mendatang. Banyak tanggapan silih berganti dan berupaya untuk menebar kegeraman politik hingga sentimen politik antar masing-masing pasangan calon. Setiap pendukung pasangan calon saling mengklaim kemenangan pasangan calon pilihannya hingga tudingan atas hasil hitung cepat. Tentu hal ini wajar dalam iklim negara (yang mengaku dan diakui) sebagai negara demokrasi. Namun, apakah dalam batas penalaran yang wajar saling klaim dan saling menuding itu adalah hal yang diwajibkan bahkan dibenarkan juga dalam ritme demokrasi di Indonesia? Demokrasi di Indonesia dapat dikatakan masih jauh dari kedewasaan berpolitik dan bernegara. Setiap pihak saling memperebutkan kepentingan hingga hasrat politiknya secara vulgar. Lantas, apakah Indonesia masih layak dan patut untuk disebut sebagai negara demokrasi? Apakah demokrasi Indonesia hanyalah khayalan bak di negeri dongeng saja? Atau justru demokrasi hanyalah paksaan bagi negara berbentuk Republik yang semestinya belum mampu untuk berproses di taraf demokratisasi?
Visi-misi yang disampaikan oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden juga masih diorientasikan pada kepentingan politik jangka pendek tanpa konsiderasi berkelanjutan atas dampak yang kemungkinan dapat timbul di masa mendatang. Masing-masing pasangan calon mengusulkan program unggulannya kepada publik. Publik yang menentukan dan memutuskan program kebijakan pasangan calon yang mana yang layak dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia pada jangka pendek, menengah, hingga jangka panjang. Pertanyaan lebih lanjutnya apakah cakupan pandangan preskriptif mengenai ketercapaian tujuan menuju Indonesia Emas 2045 merupakan suatu kepastian yang akan terjadi atau suatu kemungkinan yang akan berjalan stagnan atau bahkan terseok-seok? Kiranya dibutuhkan kegigihan dan kesiapan yang cukup memadai untuk secara bertahap mewujudkan tujuan itu. Terpenting kehidupan politik Indonesia setidaknya tidak memberikan dampak yang negatif bagi pola dan struktur perkembangan masyarakat. Masyarakat harus tetap mengemban tugas dan fungsi sebagai kritikus pemerintah. Pemerintah pun harus tetap mengemban kepercayaan serta amanah pelaksanaan fungsi dan tanggung jawab yang telah diserahkan kepadanya.