Literasi Hukum – Setiap kebijakan pemerintah seharusnya berpijak pada amanat konstitusi, bukan sekadar perhitungan anggaran jangka pendek. Namun, dalam praktiknya, dalih “efisiensi” justru dijadikan alat untuk memangkas anggaran sektor-sektor esensial seperti pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, hak fundamental rakyat yang dijamin dalam Pasal 31 dan Pasal 34 UUD 1945 justru dilanggar oleh negara sendiri. Negara yang seharusnya bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa dan memelihara fakir miskin malah merusak fondasi utama kesejahteraan rakyat.
Yang lebih ironis, pemangkasan ini terjadi di tengah meningkatnya belanja negara untuk kepentingan lain yang sering kali tidak berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Ketika pendidikan dan kesehatan—dua pilar utama pembangunan bangsa—dipandang sebagai beban anggaran yang harus dikurangi, maka sesungguhnya negara sedang menggali kuburnya sendiri.
Kebijakan Efisiensi yang Bertentangan dengan Konstitusi
Negara bukan hanya lalai dalam menjalankan kewajibannya, tetapi secara aktif mengambil keputusan yang merusak hak rakyat. Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa anggaran pendidikan harus dialokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD, sementara Pasal 34 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas kesehatan bagi rakyat.
Namun, ketika anggaran dua sektor ini justru dikurangi, pertanyaannya adalah: apakah pemerintah benar-benar ingin membangun bangsa ini, atau justru membiarkan rakyatnya tetap dalam kebodohan dan keterpurukan kesehatan? Logikanya, bagaimana mungkin kita berbicara tentang kemajuan bangsa jika rakyatnya tidak sehat dan tidak berpendidikan?
Dampak Pemangkasan Anggaran: Negara Gagal Melindungi Warganya
1. Pendidikan yang Terpuruk, Masa Depan yang Gelap
Pemangkasan dana pendidikan bukan sekadar masalah teknis, tetapi bentuk pembiaran sistematis terhadap kemunduran bangsa. Sekolah-sekolah kekurangan sarana, kualitas pengajaran menurun, dan semakin banyak anak yang tidak bisa mengakses pendidikan berkualitas. Pemotongan ini tidak hanya menutup pintu masa depan bagi generasi muda, tetapi juga memperkuat ketimpangan sosial yang sudah mengakar.
2. Kesehatan yang Dikorbankan, Rakyat yang Menderita
Ketika anggaran kesehatan dipangkas, siapa yang paling terdampak? Bukan mereka yang mampu membayar layanan kesehatan mahal, tetapi fakir miskin yang justru harus dilindungi oleh negara. Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa negara wajib memelihara fakir miskin, tetapi kenyataannya, mereka justru semakin sulit mengakses layanan kesehatan yang layak.
Ironisnya, negara malah memperburuk situasi dengan membatasi layanan BPJS, menaikkan harga obat-obatan, dan mengurangi subsidi kesehatan. Ini bukan sekadar pengabaian, tetapi tindakan yang secara langsung menjerumuskan rakyat ke dalam penderitaan.
3. Guru dan Tenaga Medis: Pilar Bangsa yang Disingkirkan
Guru dan tenaga kesehatan adalah tulang punggung bangsa. Namun, kebijakan pemotongan anggaran justru membuat mereka semakin terpuruk. Gaji rendah, fasilitas minim, dan kurangnya dukungan dari negara membuat banyak guru dan tenaga medis kehilangan semangat. Bagaimana mungkin kita berharap mendapatkan generasi unggul dan masyarakat yang sehat jika mereka yang bertugas mencerdaskan dan merawat rakyat justru tidak dihargai?
Manipulasi Narasi Efisiensi: Negara Memilih Kepentingan Lain di Atas Hak Rakyat
Yang lebih menyakitkan, pemangkasan anggaran pendidikan dan kesehatan ini terjadi di saat anggaran untuk proyek-proyek mercusuar, pengeluaran pejabat, dan belanja birokrasi terus meningkat. Ketika negara mengorbankan hak dasar rakyat dengan dalih efisiensi, tetapi di sisi lain tetap mengalokasikan dana besar untuk kepentingan lain yang tidak menyentuh rakyat secara langsung, maka ini bukan lagi masalah teknis anggaran—ini adalah pengkhianatan terhadap konstitusi.
Jika efisiensi benar-benar diperlukan, mengapa sektor pendidikan dan kesehatan yang dipotong? Mengapa bukan anggaran untuk birokrasi yang sering kali tidak efektif? Mengapa bukan anggaran untuk proyek-proyek yang lebih bersifat simbolis ketimbang fungsional? Kebijakan ini bukan tentang efisiensi, tetapi tentang kegagalan negara dalam menentukan prioritas.
Kesimpulan: Negara Sedang Gagal, dan Rakyat yang Menanggung Akibatnya
Pemangkasan anggaran pendidikan dan kesehatan bukan hanya kebijakan yang keliru, tetapi bukti nyata bahwa negara telah gagal menjalankan amanat konstitusi. Negara yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa malah membiarkan rakyat tetap dalam kebodohan. Negara yang seharusnya memelihara fakir miskin justru semakin membatasi akses mereka terhadap layanan kesehatan yang layak.
Jika pemerintah terus berdalih bahwa pemangkasan ini dilakukan demi keberlanjutan fiskal, maka kita harus bertanya: keberlanjutan untuk siapa? Jika efisiensi dilakukan dengan cara mengorbankan hak-hak dasar rakyat, maka itu bukan efisiensi, melainkan pengabaian hak rakyat secara sistematis.
Bangsa yang maju adalah bangsa yang menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai prioritas utama, bukan sebagai beban anggaran yang bisa dikorbankan. Jika pemerintah benar-benar ingin membangun masa depan bangsa, maka tidak ada jalan lain selain mengalokasikan anggaran yang layak untuk dua sektor ini. Jika tidak, maka pemerintah bukan hanya gagal, tetapi juga telah mengkhianati amanat konstitusi dan cita-cita pendiri bangsa.