Stasiun Artikel

17 Tahun Aksi Kamisan : Aksi Kemanusiaan Yang Terus Menanti Datangnya Keadilan

Arman Ramadhan
124
×

17 Tahun Aksi Kamisan : Aksi Kemanusiaan Yang Terus Menanti Datangnya Keadilan

Sebarkan artikel ini
17 Tahun Aksi Kamisan : Aksi Kemanusiaan Yang Terus Menanti Datangnya Keadilan

Literasi HukumArtikel ini membahas perjalanan Aksi Kamisan sebagai simbol perjuangan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Aksi Kamisan, yang telah berlangsung selama 17 tahun, menjadi gerakan kolektif untuk merawat ingatan atas pelanggaran HAM berat di masa lalu. Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, penegakan HAM masih menghadapi banyak tantangan, termasuk berbagai kasus pelanggaran yang belum terselesaikan. Artikel ini juga menyoroti janji kampanye Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terpenuhi, serta dampak negatif terhadap indeks demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.

Setelah berkuasa 32 tahun lamanya, rezim otoriter Orde Baru berhasil dilengserkan oleh kekuatan gerakan masyarakat sipil. Runtuhnya kekuasaan rezim tersebut juga berarti menandakan lahirnya “demokrasi baru” yang telah memberikan sejumlah keleluasaan dalam menjalankan praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, proses perjuangan demokratisasi di Indonesia harus dibayar mahal.

Dalam sejarahnya, naiknya rezim otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto ke tampuk kekuasaan ditandai dengan banjir darah pasca Gestapu 1965. Begitu pun, dengan runtuhnya tirani yang telah menimbulkan berbagai macam kerusakan di berbagai lini dan pelanggaran HAM berat yang sampai saat ini tidak dituntaskan.

Ada banyak korban tewas yang berjatuhan dari kalangan mahasiswa/masyarakat sipil, kasus pemerkosaan dan diskriminasi pada kaum minoritas, hingga hilangnya 13 orang aktivis. Peristiwa-peristiwa kelam tersebut merupakan rangkaian dari mahalnya perjuangan dalam menegakkan demokrasi dan hak asasi di Indonesia.

Selain itu, peristiwa yang telah menjadi catatan hitam dalam sejarah Republik menimbulkan luka mendalam bagi keluarga korban. Keluarga korban terus menagih, meminta, serta menuntut keadilan kepada Negara. Salah satu cara yang dilakukan oleh keluarga korban dari pelanggaran HAM berat masa lalu ialah bersolidaritas di depan Istana Negara dengan menggunakan payung, pakaian dan atribut hitam. Aksi solidaritas itu dikenal dengan Aksi Kamisan.

Awalnya, Aksi Kamisan merupakan aksi yang diprakarsai oleh tiga keluarga korban pelanggaran HAM berat, yaitu Maria Katarina Sumarsih, ibu dari Bernardus Realino Norma Irmawan, salah satu mahasiswa yang tewas dalam Peristiwa Semanggi I pada November 1998; Suciwati, istri dari mendiang Munir, seorang aktivis sekaligus simbol perjuangan hak asasi manusia yang diracun di pesawat Garuda saat dalam perjalanannya ke Belanda; serta Bedjo Untung, perwakilan dari keluarga korban yang diduga simpatisan PKI.

Kini, Aksi Kamisan sudah berjalan selama 17 tahun dengan melakukan aksi lebih dari 800 kali. Selama 17 tahun pula, mereka (baca : keluarga korban) berdiam diri di depan istana setiap hari Kamis tanpa mendapatkan jawaban pasti dari Negara dan selalu pulang ke rumah dengan tangan hampa.

Aksi Kamisan : Gerakan Kolektif Untuk Merawat Ingatan

Aksi Kamisan yang awalnya hanya dihadiri oleh tiga orang mampu menyebarkan rasa solidaritas kepada keluarga korban lainnya, dan hingga kini telah diadakan di 50 kota di seluruh Indonesia. Aksi Kamisan tidak hanya diikuti oleh dari keluarga korban, melainkan juga diikuti oleh anak-anak muda, baik mahasiswa maupun pelajar.

Meluasnya partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam Aksi Kamisan juga menandakan kepedulian serta kesadaran orang-orang akan pentingnya isu hak asasi manusia. Di samping itu, Aksi Kamisan telah menjadi semacam gerakan kolektif dalam merawat ingatan akan kesewenang-wenangan Negara terhadap warganya di masa lalu.

Tak hanya itu, aksi solidaritas tersebut telah menjadi ruang pembelajaran dan pendidikan politik bagi masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh Bivitri Susanti, seorang akademisi sekaligus pakar hukum, melalui tulisannya, “Aksi Kamisan lebih dari demonstrasi soal pelanggaran HAM. Ia telah menjadi pendidikan politik tentang civic virtue, dengan langsung mempraktikkan kegiatan warga dalam membela kebebasan dan hak-haknya yang seharusnya dipenuhi serta dilindungi negara”.

Aksi Kamisan yang telah berlangsung selama 17 tahun juga menepis tuduhan bahwa aksi tersebut hanya aksi 5 tahunan sekali atau muncul menjelang pemilu. Padahal, aksi tersebut bukanlah sebuah aksi untuk menjatuhkan tokoh atau kelompok tertentu, melainkan aksi damai yang hanya mengharapkan keadilan dan keseriusan dari negara untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Dan, sayangnya, masih banyak sekali orang-orang yang menelan mentah-mentah narasi yang mereduksi perjuangan keluarga korban untuk mendapatkan akses keadilan. Narasi-narasi yang menyatakan bahwa aksi tersebut ditunggangi, mendapatkan amplop, dan sebagainya. Tuduhan-tuduhan yang sama sekali tak berdasar dan tak pernah terbukti. Bagaimanapun juga, Aksi Kamisan akan terus ada sepanjang keadilan tidak dirasakan oleh seluruh golongan dan pesertanya akan terus berlipat ganda sampai Negara mampu menunaikan kewajibannya.

Penegakkan HAM dibawah Kepemimpinan Presiden Jokowi

Jika menarik ke belakang, tepatnya di Pemilu 2014, yang dianggap oleh sejumlah sebagai pemilu yang menentukan untuk masa depan demokrasi Indonesia. Jokowi, seorang yang bukan dari kalangan elit dan berpihak kepada kepentingan rakyat kecil dianggap sebagai orang yang mampu menyelematkan demokrasi dibandingkan lawannya Prabowo yang memiliki catatan dan rekam jejak yang buruk terkait demokrasi dan hak asasi di Indonesia.

Masuknya Jokowi ke dalam kontestasi perpolitikan nasional memunculkan harapan bagi banyak orang. Tak hanya itu, Jokowi bahkan dalam janji kampanyenya ingin menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, menjelang berakhirnya kepemimpinan Presiden Jokowi, tidak ada satupun kasus pelanggaran HAM yang berhasil dituntaskan secara serius.

Presiden Jokowi bahkan memberikan jabatan penting dan strategis kepada orang-orang yang diduga terlibat dalam berbagai kasus pelanggaran HAM. Di bawah kepemimpinannya pula, ada banyak kasus-kasus pelanggaran HAM baru lainnya. Umumnya, kasus-kasus tersebut menyangkut konflik lahan. Atas nama pembangunan, Pemerintah rela mengesampingkan nilai hak asasi dan hak warga dalam mempertahankan ruang hidupnya.

Selain itu, Pemerintah menggunakan kekuatan aparat bersenjata dan tindakan represif untuk merespon bentuk-bentuk kritik dan protes dari warga. Tak heran, indeks demokrasi dan hak asasi Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi terus menurun. Bahkan, Amnesty Internasional Indonesia dan Kontras memberikan rapor merah kepada Pemerintahan Jokowi. Hal ini dikarenakan ada banyak kasus pelanggaran HAM, baik di ruang nyata maupun ruang maya.

Kemudian, bukannya meninggalkan jejak yang baik di akhir kepemimpinannya, Presiden Jokowi justru sibuk cawe-cawe dengan kewenangannya untuk mempromosikan anaknya yang ikut serta dalam kontestasi Pemilu 2024. Jokowi tak hanya meninggalkan jejak yang buruk dalam penegakkan hukum dan hak asasi, melainkan juga telah menghancurkan tatanan demokrasi yang ideal dengan ambisinya untuk membangun dinasti.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.