Literasi Hukum – Pembuktian perkara penganiayaan berat menggunakan visum et repertum, peran, tujuan ilmu kedokteran forensik dalam upaya membuktikan kebenaran materiil.
Andi Hamzah memberikan pendapat mengenai definisi penganiayaan, yaitu tindakan yang menyebabkan timbulnya cidera ataupun luka pada badan orang. Penganiayaan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti halnya memukul, menampar, menusuk, menendang, membacok, dan sebagainya. Penganiayaan dalam KUHP terdiri dari unsur sebagai berikut:
Tindak pidana penganiayaan merupakan salah satu fenomena yang tidak mudah dihilangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai modus dan jenis penganiayaan yang berlangsung, seperti halnya kekerasan fisik dan pemukulan, mengakibatkan luka dalam anggota tubuh atau tubuh korban, bahkan terkadang mengakibatkan korban mengalami cacat fisik seumur hidupnya, termasuk kematian. Selain itu, tindak pidana penganiayaan juga kerap menimbulkan dampak atau efek psikologis bagi korban misalnya ancaman, ketakutan, trauma, dan terkadangan ada korban kejahatan penganiayaan yang mengalami gangguan fisik dan kejiwaan.
Pada kasus penganiayaan, umumnya terdapat korban yang sampai meninggal dunia, tapi juga ada korban hidup dengan luka-luka akibat penganiyaan. Selain sebagai korban penganiayaan, korban juga berperan sebagai pasien, yakni sebagai seseorang yang merupakan subyek hukum dengan segala tuntutan hak dan kewajibannya. Artinya, bahwa seorang korban hidup tidak seutuhnya merupakan barang bukti, namun dapat dikemukakan dalam bentuk Visum et Repertum.
Visum et Repertum dapat bermanfaat untuk pembuktian suatu perkara berdasarkan hukum acara pidana. Seorang dokter sesuai dengan profesinya memiliki kewajiban membantu aparat penegak hukum untuk membuktikan korban apakah termasuk kasus tindak pidana atau bukan, dengan cara melakukan pemeriksaan pada korban kemudian melaporkannya dalam bentuk surat yang disebut Visum et Repertum. Pada kasus korban yang mengalami luka, seorang dokter mampu memberikan informasi terkait dengan identitas korban, jenis luka, jenis kekerasan yang menyebabkan luka, hingga menentukan derajat luka atau kualifikasi luka yang nantinya akan dituangkan dalam Visum et Repertum. Oleh karenanya, hal itu dapat digunakan sebagai alat bukti yang dapat meyakinkan hakim untuk memutuskan suatu perkara.
Visum et Repertum berupa hasil pemeriksaan ahli forensik ialah menceritakan mengenai peristiwa-peristiwa tindak pidana yang dapat menjadi alat bukti dalam pengusutan selanjutnya. Bagi pengadilan, hakim tetap dijamin kebebasannya oleh undang-undang, yang mana hakim tidak berwajiban menurut pendapat ahli apabila bertentangan dengan keyakinannya. Akan tetapi, keterangan dokter ahli dalam Visum et Repertum, dibuat berdasarkan objektivitas serta hasilnya sangat mendekati kebenaran.
Dalam pembuktian perkara pidana sebagai upaya menemukan kebenaran materiil dibutuhkan minimal dua alat saksi hal ini tertuang dalam Pasal 183 KUHP. Kewajiban dokter dalam membantu proses peradilan diatur dalam Pasal 133 KUHAP menjelaskan bahwa: “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”
Untuk dapat membuktikan telah terjadi tindak pidana, penyidik memerlukan bukti dengan bantuan peran kedokteran forensik, khususnya dokter sebagai pembuat Visum et Repertum. Kedudukan seorang dokter dalam penanganan korban kejahatan dengan menentukan Visum et Repertum wajib dijamin netralitasnya karena bantuan profesi dokter akan sangat menentukan adanya kebenaran. Dokter forensik memiliki tugas untuk memeriksa dan mengumpulkan berbagai bukti yang berkaitan dengan pemenuhan unsur-unsur delik seperti yang dinyatakan oleh undang-undang dan menyusun laporan Visum et Repertum.
Dalam pengungkapan tindak pidana penganiayaan, kedokteran forensik berperan mengumpulkan bukti-bukti dari luka-luka fisik, seperti luka tusuk, lebam, memar, cekikan, jeratan tali dari peristiwa penganiayaan yang terjadi dalam rangka menegakkan keadilan, dari tingkat penyelidikan hingga proses pemeriksaan di persidangan.
Ilmu kedokteran forensik bertujuan dalam rangka menentukan sebuah sikap pidana yang menyebabkan hilangnya nyawa atau cacatnya manusia karena dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Alat bukti Visum et Repertum akan berfungsi selaku pengganti corpus delicti (barang hasil kejahatan) yang secara nyata tidak dapat atau tidak mungkin dihadirkan dalam sidang, misalnya luka pada tubuh manusia atau korban yang telah meninggal. Oleh karena itu, Visum et Repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum karena dengan membaca Visum et Repertum, dapat diketahui secara terang apa yang telah terjadi pada seseorang, dan aparat penegak hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.
Dokter forensik berperan dalam membantu mengungkap suatu tindak pidana yang melibatkan tubuh manusia sehingga dapat memperjelas suatu tindakan pidana yang terjadi. Selain itu, ilmu kedokteran juga memiliki peranan dalam hal menentukan hubungan kausalitas antara suatu perbuatan dengan akibat yang akan ditimbulkannya dari perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada tubuh, atau yang menimbulkan matinya seseorang, yang mana timbul akibat-akibat tersebut patut diduga telah terjadi tindak pidana. Berdasarkan hasil pemeriksaan ahli forensik tersebut kemudian dapat diketahui apakah luka seseorang, tidak sehatnya seseorang tersebut diakibatkan oleh tindak pidana atau tidak.
Visum Et Repertum sebagai alat bukti surat, diatur dalam Pasal 187 KUHAP huruf c yang harus dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. yaitu: surat yang dibuat oleh ahli, memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi, termasuk laporan ahli. Seluruh alat bukti surat memiliki nilai kekuatan pembuktian bebas, sehingga hakim memiliki kebebasan dalam hal menerima maupun menolak surat sebagai alat bukti sah yang mampu meyakinkan hakim atas kesalahan terdakwa.
Penuntut umum harus melakukan pembuktian bahwa substansi surat yang diajukan selaku alat bukti saling mendukung serta memiliki kesesuaian dengan alat bukti sah lainnya, berakibat syarat minimal pembuktian sudah terpenuhi dan hakim yakin atas kesalahan terdakwa. Hal ini berkaitan dengan sistem pembuktian yang dianut dalam peradilan pidana, yakni pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Demikian juga pada keterangan seorang ahli yang menjadi alat bukti Visum Et Repertum.
Visum et Repertum merupakan laporan tentang apa yang dilihat dan ditemukan, tampak dalam pemeriksaan fisik tubuh manusia yang menggantikan barang bukti di tempat kejadian perkara (Pasal 187 KUHAP). Fungsi Visum et Repertum adalah sebagai salah satu alat bukti yang sah terkait tindak pidana penganiayaan.
Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah Visum et Repertum perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi luka. Sehubungan dengan kualifikasi luka tersebut, tujuan pemeriksaan forensik adalah untuk mengetahui penyebab luka/sakit dan derajat keparahan luka/sakit tersebut, yang mana hal ini penting untuk mengetahui rumusan delik dalam KUHP. Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik, psikis, sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek, ataupun jangka panjang. Dampak perlukaan korban tersebut memegang peranan penting bagi hakim dalam menentukan sanksi pidana yang harus dijatuhkan berdasarkan keadilan..
Kekuatan alat bukti dari Visum et Repertum diberikan pada penilaian hakim. Sasaran Visum et Repertum pada dasarnya ialah menyerahkan kepada hakim suatu fakta-fakta atau kenyataan dari alat-alat bukti atas seluruh keadaan yang bersangkutan, sehingga hakim dapat membuat keputusannya secara benar berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada. Satu hal yang dijelaskan pada kesimpulan Visum et Repertum cedera adalah kualifikasi luka atau derajat cedera. Dari aspek hukum, Visum et Repertum dinyatakan baik jika substansi yang terkandung pada Visum et Repertum dapat mencukupi rumusan delik pada KUHP.
Untuk menggambarkan kondisi luka seseorang dikualifikasikan menjadi 3 macam, yaitu : luka derajat pertama (luka golongan C), yaitu luka yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut terhadap korban, luka derajat kedua (golongan B), yaitu luka yang menimbulkan penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian sementara waktu, dan luka derajat ketiga (golongan A), yaitu luka yang mengakibatkan luka berat sehingga terhalang dalam menjalankan jabatan/pekerjaan/aktivitas.
Penentuan kualifikasi luka dalam kasus penganiayaan dihubungkan dengan pekerjaan/jabatan seseorang. Dengan demikian, urgensi penentuan “masa” sementara waktu terhalangnya menjalankan pekerjaan/aktivitas di dalam derajat/kualifikasi luka akan berhubungan dengan kualifikasi tindak pidana penganiayaan ringan, penganiayaan biasa atau penganiayaan berat dan pertanggungjawaban pidananya.
Dalam tindak pidana penganiayaan berat termasuk dalam pengertian luka berat menurut ketentuan pasal 90 KUHP. Luka berat pada tubuh adalah: “penyakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi secara sempurna, atau luka yang dapat mendatangkan bahaya maut; terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan; tidak lagi memiliki salah satu panca indera; kudung (rompong), lumpuh, berubah pikiran (akal) lebih dari empat minggu lamanya; membunuh anak dari kandungan ibu”.
Ilmu kedokteran forensik menggambarkan kondisi luka seseorang yang dikualifikasikan dalam tindak pidana penganiayaan berat adalah luka derajat ketiga (golongan A), yaitu luka yang mengakibatkan luka berat sehingga terhalang dalam menjalankan jabatan/pekerjaan/aktivitas. Perkara tindak pidana penganiayaan dengan implikasi luka berat tersebut mengakibatkan korban menjadi terganggu dalam hal aktivitas kesehariannya, bahkan kehilangan mata pencaharian. Ketentuan penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur dalam Pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa: “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Dalam kesimpulan Visum et Repertum perlu dicantumkan kualifikasi atau derajat luka sesuai dengan rumusan Pasal 90 KUHP, sehingga memudahkan interprestasi atau deskripsi luka yang sesuai. Rumusan penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 351 (2) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit, maka apabila memeriksa seorang korban dan didapati “penyakit” akibat kekerasan tersebut, maka korban termasuk dalam kategori tersebut.
Pertimbangan hakim yuridis merupakan pertimbangan hakim yang berlandaskan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap di persidangan serta telah di tetapkan oleh ketentuan perundang-undangan menjadi hal “wajib” dimuat dalam Putusan. Sesuai fakta persidangan diperoleh dari tempus delicti, locus delicti dan modus operandi tentang bagaimana tindak pidana dilakukan.
Menurut Sudarto putusan Hakim adalah puncak klimaks dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh seorang hakim. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal meliputi: “keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana serta keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana”. Majelis hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, khususnya Pasal 183 KUHAP.
Majelis Hakim harus memeriksa bahwa Visum et Repertum pada kasus yang bersangkutan i telah memenuhi syarat formal dan syarat materiil, sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti surat yang sah dalam hasil pemeriksaan yang menyatakan jenis luka pada korban, yaitu:
Selain itu, hal yang mendasar perlu menjadi pertimbangan hakim ialah terkait pertanggungjawaban pidana dalam diri pelaku. Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaarheid atau criminal responsibility yang mengarah pada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan dapat atau tidaknya seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang dilakukannya.
Dalam hal kemampuan bertanggung jawab apabila dilihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab dan menjadi dasar yang penting dalam rangka menentukan adanya unsur kesalahan, yaitu meliputi keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan dapat dipertanggungjawabkan atau normal.” Sudarto mengemukakan bahwa kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya terbagi atas beberapa unsur, yakni:
Apabila ketiga unsur ini ada dalam perbuatan yang telah dilakukan oleh si pelaku, maka orang yang bersangkutan dapat dinyatakan bersalah atau memiliki pertanggunganjawaban pidana dalam dirinya, sehingga dapat dipidana.
A resourceful and dedicated law graduate who have ability in the field of legal and compliance with good legal writing, research, and analysis skills
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini