Literasi Hukum – Wacana pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mencuat dari tindak lanjut atas surat yang dilayangkan Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Bukan sekadar soal hukum, isu ini menyentuh inti dari integritas kepemimpinan nasional, keadilan dalam kontestasi kekuasaan, dan kekhawatiran akan menguatnya politik dinasti. Polemik ini semakin kompleks sejak Mahkamah Konstitusi mengubah batas usia calon presiden dan wakil presiden, yang dikaitkan dengan relasi keluarga antara pemohon dan salah satu hakim konstitusi.
Dalam konteks ini, pemakzulan tidak semata-mata dipahami sebagai prosedur hukum, tetapi juga sebagai ekspresi ketidakpuasan politik dan moral. Tulisan ini mencoba menguraikan secara sistematis aspek hukum, politik, dan etika dari wacana tersebut, agar publik dapat melihat persoalan ini secara jernih dan menyeluruh.
Landasan Konstitusional Pemakzulan
Konstitusi Indonesia secara tegas mengatur mekanisme pemakzulan presiden dan wakil presiden dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Proses ini hanya dapat dijalankan jika terdapat dugaan pelanggaran hukum berat, seperti korupsi, pengkhianatan terhadap negara, atau perbuatan tercela. Tahapan pemakzulan melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi, hingga keputusan akhir di tangan MPR dengan dukungan dua pertiga dari anggota yang hadir.
Prof. Jimly Asshiddiqie mengingatkan bahwa pemakzulan tidak hanya berkaitan dengan aspek hukum, melainkan juga mencerminkan moral politik dan keseimbangan kekuasaan antar lembaga. Hingga kini, belum pernah ada presiden atau wakil presiden yang dimakzulkan secara formal sejak amandemen konstitusi. Hal ini menandakan bahwa pemakzulan adalah mekanisme luar biasa, yang hanya relevan dalam keadaan yang betul-betul mendesak.
Dimensi Hukum dalam Usulan Pemakzulan
Secara normatif, usulan pemakzulan Gibran memang dapat diajukan. Namun, pertanyaan krusialnya: adakah pelanggaran hukum berat yang terbukti secara konkret? Prof. Saldi Isra menekankan pentingnya bukti yang kuat dan objektif, bukan sekadar opini atau tekanan politik. Mahkamah Konstitusi diberi waktu maksimal 90 hari untuk menilai usulan DPR, sebelum MPR mengambil keputusan akhir.
Prof. Mahfud MD berpandangan bahwa proses ini, meskipun dilandasi hukum, sangat bergantung pada konfigurasi politik di DPR dan MPR. Ia menegaskan bahwa pemakzulan adalah “keputusan politik dalam kerangka hukum”, yang menggabungkan dimensi yuridis dan dinamika kekuasaan.
Aspek Politik dalam Pemakzulan
Secara politik, pemakzulan Gibran bermula dari surat Forum Purnawirawan TNI. Namun, dengan koalisi pemerintah menguasai sekitar 470 kursi di DPR, peluang keberhasilan terlihat kecil. Di sinilah MPR berpotensi menjadi medan kompromi antar fraksi dalam memenuhi ambang dua pertiga suara. Dalam konteks Asia Tenggara, pemakzulan kerap bergeser dari penegakan hukum menjadi instrumen delegitimasi politik. Pengalaman Filipina dengan kasus Wakil Presiden Sara Duterte menjadi cermin bahwa pemakzulan bukan hanya alat hukum, tetapi juga alat tawar-menawar politik.
Oleh sebab itu, langkah ini harus dihitung matang. Ia bisa membuka krisis legitimasi baru, apalagi jika publik memandangnya lebih sebagai manuver kekuasaan daripada penegakan etika.
Etika Demokrasi dalam Dinamika Pemakzulan
Demokrasi tidak hanya bertumpu pada hukum, tetapi juga pada standar moral bersama. Dalam kasus Gibran, perdebatan seputar dugaan politik dinasti, konflik kepentingan di Mahkamah Konstitusi, dan proses pencalonan yang kontroversial, menjadi ujian besar terhadap etika demokrasi.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi titik balik yang dianggap sebagian kalangan mencederai independensi lembaga yudisial. Dalam sistem presidensial, pemimpin dituntut menjaga netralitas dan menjunjung tinggi prosedur demokratis.
Masyarakat sipil memiliki peran penting untuk memastikan bahwa proses seperti pemakzulan tidak disalahgunakan, namun juga tidak diabaikan saat etika publik terganggu. Prof. Denny Indrayana mengingatkan bahwa due process of law harus dijaga, dengan integritas kelembagaan sebagai pilar utamanya.
Menjaga Marwah Demokrasi
Pemakzulan bukan sekadar instrumen hukum, tetapi juga refleksi dari kematangan politik dan kualitas etika publik. Ketika proses ini digulirkan, seluruh elemen bangsa baik elit politik, masyarakat sipil, dan lembaga negara perlu memastikan bahwa ia tidak berubah menjadi komoditas politik jangka pendek.
Supremasi hukum dan prinsip checks and balances harus menjadi landasan utama. Dalam situasi seperti ini, lebih baik bagi bangsa untuk bersikap hati-hati, objektif, dan bijaksana. Menjaga marwah konstitusi berarti menjaga masa depan demokrasi Indonesia.
Referensi
- Marzuki, M. L. (2010). Pemakzulan presiden/wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945. Jurnal Konstitusi, 7(1), 17–29. https://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1616610&title=Pemakzulan+PresidenWakil+Presiden+Menurut+Undang-Undang+Dasar+1945&val=1035
- Irfan Kamil & Ardito Ramadhan. (2025, 11 Juni). Mahfud sebut usul pemakzulan Gibran punya argumentasi kuat. Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2025/06/11/15180891/mahfud-sebut-usul-pemakzulan-gibran-punya-argumentasi-kuat
- Tempo.co. (2025, 13 Juni). Soal seruan pemakzulan Gibran, Jimly: hanya ekspresi kemarahan [Artikel]. Tempo.co. https://www.tempo.co/politik/soal-seruan-pemakzulan-gibran-jimly-hanya-ekspresi-kemarahan-1663051