Literasi Hukum – Menganalisis lonjakan permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi sebagai cerminan krisis legislasi formalistik. Apakah ini tanda demokrasi yang hidup atau kegagalan proses pembentukan undang-undang di Indonesia? Simak analisis hukum mendalam mengenai penyebab, dampak, dan solusinya.
Sepanjang tahun 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) dihadapkan pada sebuah fenomena yang mencemaskan: lebih dari 240 permohonan pengujian undang-undang membanjiri meja para hakim konstitusi. Angka ini bukan sekadar statistik yang membanggakan partisipasi publik. Sebaliknya, ia adalah sebuah sirene yang nyaring, menandakan adanya kerapuhan fundamental dalam sistem legislasi nasional. Akar masalahnya teridentifikasi: produk hukum kita terlalu sering terjebak dalam jebakan pendekatan legalistik-formalistik.
Sebagian besar peraturan perundang-undangan memang dibentuk untuk memenuhi daftar periksa administratif: naskah akademik tersedia, pembahasan dengan pemerintah dilakukan, persetujuan paripurna diperoleh, dan tanda tangan dibubuhkan. Namun, di balik kelengkapan formalitas itu, gema pertanyaan publik justru semakin keras: Di manakah letak keadilan substantif? Mengapa undang-undang yang baru disahkan justru terasa merugikan? Dan yang terpenting, mengapa suara rakyat yang seharusnya menjadi sumber legitimasi tertinggi kerap kali diabaikan?
Akar Masalah: Jebakan Legislasi Formalistik yang Mengabaikan Substansi
Pendekatan legalistik-formalistik dalam pembentukan hukum adalah cara pandang yang memprioritaskan bentuk luar—legalitas prosedural, struktur teks, dan alur birokrasi—sambil mengesampingkan jiwa dari hukum itu sendiri: substansi keadilan, asas-asas fundamental, dan konteks sosial yang melingkupinya. Dalam pandangan Satjipto Rahardjo, hukum sejatinya bukanlah sekadar norma pasif yang terkunci dalam dokumen negara, melainkan manifestasi dari nilai-nilai keadilan yang hidup dan berdenyut dalam masyarakat (hukum progresif).
Dalam praktiknya, pendekatan formalistik ini mengubah proses legislasi menjadi sebuah mesin birokrasi yang steril dan terasing dari realitas. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) di parlemen cenderung berorientasi pada pengejaran tenggat waktu Program Legislasi Nasional (Prolegnas), bukan pada pencarian makna filosofis, analisis dampak sosiologis, atau penyerapan aspirasi publik yang tulus. Hasilnya? Sebuah undang-undang bisa lahir dengan semua stempel dan tanda tangan yang sah, tetapi tidak satu pun pasalnya mampu menyentuh atau menyelesaikan persoalan riil yang dihadapi masyarakat.
Menggugat Legislasi Tanpa Jiwa: Di Mana Filsafat dan Asas Hukum?
Para teoretisi hukum telah lama mengingatkan bahwa fungsi dan asas bukanlah sekadar pelengkap, melainkan inti dari setiap produk hukum. Bagir Manan membagi fungsi hukum ke dalam dua ranah: fungsi internal (seperti pembentukan hukum, pembaruan sistem, dan integrasi norma) dan fungsi eksternal (mencakup rekayasa sosial, pemeliharaan stabilitas, dan pelayanan hukum). Sayangnya, dalam banyak proses legislasi kita, fungsi-fungsi luhur ini sering kali tereduksi menjadi formalitas belaka.
Senada dengan itu, Achmad Ali melalui kerangka teori asas hukumnya menegaskan bahwa asas adalah “jantung” atau alasan keberadaan dari suatu aturan hukum (ratio legis). Asas bukanlah sekadar ornamen akademik, melainkan kompas moral yang memberikan arah dan tujuan pada legislasi. Tanpa pemikiran yang berlandaskan asas, hukum hanya akan menjadi serangkaian pasal kosong yang kehilangan orientasi keadilannya.
Kasus kontroversial seperti revisi UU KPK dan pengesahan UU Cipta Kerja (versi pertama) menjadi contoh konkret yang menyakitkan. Keduanya sah secara prosedural—disahkan dalam sidang paripurna, diundangkan dalam Lembaran Negara, dan dilengkapi naskah akademik. Namun, keduanya ditolak secara masif oleh publik karena substansinya dianggap mengkhianati semangat reformasi dan keadilan sosial. Puncaknya, MK sendiri menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena proses pembentukannya terbukti cacat secara formil, terutama karena tidak adanya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Dilema Klasik: Saat Kepastian Hukum Mengalahkan Keadilan Substansial
Salah satu jebakan paling berbahaya dari pendekatan formalistik adalah pemujaan berlebihan terhadap kepastian hukum, seringkali dengan mengorbankan dua pilar lainnya dari tujuan hukum: keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum memang esensial untuk menjaga ketertiban. Namun, jika ia diraih dengan cara menindas rasa keadilan dan mengabaikan dampak positif bagi masyarakat, maka hukum itu sendiri akan kehilangan legitimasi moral dan wibawanya.
Seperti yang ditekankan oleh Paul Scholten, hukum tidak hidup dalam pasal-pasal yang dingin, melainkan dalam hati nurani dan kesadaran hukum masyarakat (rechtsbewustzijn). Oleh karena itu, undang-undang yang secara formal tampak sempurna tetapi bertentangan dengan rasa keadilan sosial pada hakikatnya akan menjadi norma yang rapuh. Kekuatannya hanya akan bertumpu pada paksaan, bukan pada kepatuhan sukarela. Inilah alasan mengapa pasal-pasal kontroversial dalam UU ITE, UU Minerba, dan revisi UU KUHP terus-menerus digugat dan diperdebatkan tanpa henti.
Cermin dari Negara Lain: Bergerak Menuju Legislasi Substantif
Sementara Indonesia masih berkutat pada pemenuhan checklist administratif, banyak negara demokrasi lain telah bergerak maju melampaui formalisme menuju legislasi yang lebih substantif dan reflektif.
- Inggris secara rutin menerapkan post-legislative scrutiny, sebuah mekanisme di mana komite parlemen (seperti dari House of Lords) melakukan evaluasi mendalam terhadap efektivitas undang-undang beberapa tahun setelah diberlakukan untuk menilai apakah tujuannya tercapai.
- Swedia memiliki tradisi “remiss”, di mana draf legislasi dikirim ke berbagai lembaga relevan, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi untuk mendapatkan masukan komprehensif sebelum dibawa ke parlemen.
- Belanda dan negara-negara Uni Eropa lainnya mewajibkan impact assessment (penilaian dampak) yang tidak hanya mencakup aspek ekonomi, tetapi juga dampak sosial, hak asasi manusia, dan lingkungan sebelum sebuah RUU dapat disahkan.
Praktik-praktik ini menunjukkan pergeseran global menuju pengakuan bahwa kualitas legislasi tidak diukur dari kecepatan pengesahannya, melainkan dari kedalaman analisis, tingkat partisipasi, dan kemampuan adaptasinya.
Konsekuensi Sistemik: MK Sebagai “Ruang Gawat Darurat” Legislasi
Lonjakan uji materi pada akhirnya mengubah persepsi publik terhadap Mahkamah Konstitusi. MK tidak lagi hanya dipandang sebagai “penjaga terakhir konstitusi” (the final guardian of the constitution), tetapi telah bergeser perannya menjadi semacam “ruang gawat darurat” atau bengkel perbaikan bagi produk legislasi yang cacat sejak lahir. Fenomena ini adalah indikator paling jelas bahwa lembaga legislatif telah gagal menjalankan fungsinya sebagai penyaring utama terhadap ide-ide yang inkonstitusional, tidak adil, atau berpotensi merusak tatanan sosial.
Kondisi ini secara perlahan tetapi pasti menggerus prinsip fundamental trias politica. Terjadi sebuah siklus yang tidak sehat: DPR dan Pemerintah menghasilkan undang-undang yang problematik atau “setengah matang”, lalu secara implisit menyerahkan beban koreksi dan penyempurnaannya kepada sembilan hakim konstitusi. Dalam jangka panjang, hal ini tidak hanya menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan, tetapi juga mendorong “judisialisasi politik”—di mana ranah perdebatan kebijakan yang seharusnya berada di parlemen, berpindah ke ruang sidang pengadilan.
Jalan Keluar: Membangun Ekosistem Legislasi yang Substantif dan Partisipatif
Untuk memutus siklus ini, perbaikan yang bersifat tambal sulam tidaklah cukup. Diperlukan sebuah reformasi paradigma dalam budaya legislasi nasional.
- Revitalisasi Peran Filsafat dan Asas Hukum: Pembentukan undang-undang harus diawali dengan perdebatan mendalam mengenai landasan filosofis, tujuan sosiologis, dan asas-asas hukum yang menjiwainya, bukan sekadar riset hukum normatif yang kaku.
- Mekanisme Partisipasi Publik yang Bermakna, Bukan Seremonial: Konsultasi publik harus menjadi kewajiban yang dilaksanakan secara tulus. Libatkan organisasi masyarakat sipil, serikat pekerja, akademisi, dan kelompok masyarakat terdampak sejak tahap awal perumusan, bukan sekadar formalitas untuk melegitimasi draf yang sudah jadi.
- Implementasi Evaluasi Pasca-Legislasi: Setiap undang-undang strategis harus memiliki klausul evaluasi berkala (review clause) atau bahkan sunset clause (batas waktu berlaku) untuk memaksa parlemen meninjau kembali relevansi dan efektivitasnya setelah diimplementasikan.
- Naskah Akademik Sebagai Instrumen Analisis Substantif: Kembalikan marwah naskah akademik sebagai dokumen kajian yang tajam, kritis, dan komprehensif, bukan sekadar dokumen formalitas untuk melengkapi persyaratan administratif.
- Transformasi Budaya Legislatif di DPR: Mendorong dan membekali anggota dewan dengan pemahaman yang mendalam tentang teori dan filsafat hukum, agar mereka tidak hanya berperan sebagai representasi politik, tetapi juga sebagai negarawan yang menghasilkan hukum berkualitas.
Kesimpulan: Menuju Undang-Undang yang Bernyawa, Bukan Sekadar Teks Mati
Jika DPR dan Pemerintah terus memproduksi undang-undang dengan pendekatan legalistik-formal yang dangkal, kita hanya akan terus menyaksikan dua tren yang menyedihkan: angka permohonan uji materi yang terus meroket dan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga negara yang kian merosot.
Hukum harus dikembalikan pada hakikatnya sebagai produk peradaban yang bernilai—bukan sekadar produk prosedur administrasi. Sebab, undang-undang yang baik bukanlah yang paling cepat disahkan atau paling tebal halamannya, melainkan yang lahir dari rahim akal sehat, berlandaskan hati nurani, dan berpihak pada keadilan sosial.