Literasi Hukum – DPR dan Pemerintah tolak gugatan UU TNI dengan dalih ‘legal standing’. Simak analisis hukum mengapa argumen ini berbahaya dan mengancam hak konstitusional seluruh warga negara.
Pendahuluan
Sidang lanjutan uji formil Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya menjadi ruang dialog substantif. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sidang ini memperlihatkan kecenderungan berbahaya: negara, melalui argumen DPR dan Pemerintah, berusaha menutup pintu partisipasi warga negara dalam mengawasi proses pembentukan undang-undang.
Dalam sidang yang digelar pada Senin, 23 Juni 2025 lalu, DPR dan Pemerintah bersikeras bahwa para pemohon dari koalisi masyarakat sipil tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Alasannya? Karena mereka bukan prajurit, calon anggota TNI, atau ASN di sektor pertahanan. Dengan kata lain, mereka dianggap bukan “pihak yang berkepentingan langsung”.
Argumen ini tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga mengkhianati esensi demokrasi. Ia mereduksi hak konstitusional warga negara menjadi sekadar urusan administratif dan menegaskan bahwa hanya elite tertentu yang boleh bersuara.
Membantah Argumen ‘Legal Standing’: Hak Menggugat Milik Semua Warga Negara
Konstitusi kita tidak pernah membatasi bahwa hanya korban langsung yang boleh mengajukan gugatan. Terlebih dalam konteks uji formil, yang dipermasalahkan adalah proses pembentukan sebuah undang-undang, bukan isi normanya. Mahkamah Konstitusi sendiri telah memiliki preseden kuat, seperti dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009, yang tidak mengharuskan adanya kerugian langsung bagi pemohon uji formil.
Menafikan peran koalisi masyarakat sipil, yang memiliki rekam jejak panjang dalam mengawal reformasi sektor keamanan sejak 1998, adalah sebuah pengingkaran sejarah. Mereka adalah bagian dari publik yang memastikan militer tunduk pada prinsip demokrasi. Bahkan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang mengakui bahwa gugatan ini justru menunjukkan kesadaran hukum generasi muda yang patut dihargai, bukan dibatasi.
Ilusi Partisipasi Publik: Ketika Keterbukaan Hanya Sebatas Prosedur Kosong
Dalih Pemerintah dan DPR bahwa proses pembentukan UU TNI telah memenuhi asas partisipasi publik terbantahkan di ruang sidang. Ketika Mahkamah menuntut bukti konkret, tak satu pun dokumen yang membuktikan keterlibatan masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dapat ditunjukkan. Tidak ada notulensi rapat, rekaman, atau daftar undangan yang membuktikan adanya dialog serius dengan publik.
Partisipasi publik bukanlah sekadar formalitas mengunggah draf di situs resmi. Ia adalah kewajiban untuk memberi ruang bagi masyarakat agar masukannya didengar dan dipertimbangkan. Jika publik hanya dijadikan stempel untuk melegitimasi proses yang tertutup, maka itu adalah kemunduran demokrasi. Tindakan MK yang memerintahkan penyerahan seluruh dokumen pembahasan adalah langkah tepat untuk menegaskan bahwa proses hukum tidak boleh berjalan dalam senyap.
Menjaga Rel Demokrasi: Urgensi Uji Formil dan Putusan Provisi
Penting untuk ditegaskan, pengujian formil atas UU TNI ini bukanlah bentuk permusuhan terhadap militer. Sebaliknya, ini adalah upaya menjaga agar TNI tetap berada dalam koridor profesionalisme dan tunduk pada kontrol sipil-demokratik. TNI adalah institusi perkasa yang memegang senjata atas nama negara; maka pengaturannya harus melibatkan publik seluas-luasnya.
Dalam konteks inilah, permohonan provisi (penundaan pemberlakuan UU) yang diajukan pemohon menjadi sangat mendesak. Mahkamah pernah mengabulkan permohonan serupa dalam perkara lain. Jika sebuah undang-undang yang diduga cacat secara prosedural dibiarkan berlaku, maka setiap hari Mahkamah membiarkan potensi pelanggaran konstitusi terus berjalan. Mahkamah harus bertindak proaktif sebagai penjaga konstitusi.
Siapa Pemilik Republik Ini? Pertaruhan Demokrasi di Balik Gugatan UU TNI
Pada akhirnya, gugatan ini menyentuh pertanyaan paling mendasar: siapa sesungguhnya pemilik republik ini?
Ketika negara menyatakan bahwa warga biasa tak punya hak menggugat UU sepenting ini, mereka sedang menyiratkan bahwa republik ini hanya milik elite. Namun, Konstitusi tidak pernah mengenal adanya kelas-kelas dalam partisipasi publik. Hak untuk bersuara, mengkritik, dan menggugat adalah milik semua warga negara, baik yang berseragam maupun tidak.
Justru warga biasalah yang menjadi fondasi utama demokrasi. Dan ketika fondasi itu terancam oleh undang-undang yang dibentuk secara tergesa-gesa dan tertutup, maka bersuara adalah sebuah kewajiban.