JAKARTA, LiterasiHukum.com — Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima, dan menolak seluruh permohonan Pemohon III. Putusan ini tertuang dalam Putusan Nomor 64/PUU-XXIII/2025 terkait pengujian formil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 (perubahan ketiga atas UU 19/2003 tentang BUMN) terhadap UUD 1945. Permohonan diajukan oleh LKBH Mahasiswa Islam Cabang Jakarta Barat (Pemohon I), Yayasan Citta Lokataru/Lokataru Foundation (Pemohon II), dan warga negara Kusuma Al Rasyid Agdar Maulana Putra (Pemohon III).
MK menilai pembentukan UU 1/2025 telah memenuhi asas keterbukaan dan meaningful participation. Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, saat membacakan pertimbangan pada Rabu (17/9/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, menyebut dalil para Pemohon tentang absennya keterbukaan dan partisipasi bermakna tidak beralasan menurut hukum.
Menurut MK, pembentuk undang-undang telah membuka akses bagi masyarakat, menghimpun pandangan dari pihak yang memahami isu dan terdampak langsung—termasuk para direktur atau perwakilan BUMN—serta akademisi dan pakar. Draf RUU dan Naskah Akademik tersedia di laman resmi DPR (puuekkukesra.dpr.go.id, menu SIMAS PUU), disertai kanal pengisian kuesioner untuk masukan publik. Proses pembahasan juga disiarkan langsung melalui YouTube.
MK menegaskan, terbukanya akses publik sudah cukup membuktikan pemenuhan prinsip partisipasi dan keterbukaan. Adapun masukan masyarakat yang tidak seluruhnya diakomodasi ke dalam UU 1/2025 merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, sepanjang relevansinya telah dipertimbangkan.
Meski demikian, MK mendorong agar ke depan pembentuk undang-undang senantiasa mendengar dan memprioritaskan masukan para pemangku kepentingan sebagai bahan pertimbangan substantif, sehingga produk undang-undang sesuai kebutuhan masyarakat.
Menanggapi dalil adanya rapat pembahasan RUU yang tertutup, MK merujuk Pasal 229 UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Peraturan DPR RI 1/2020 tentang Tata Tertib: pada prinsipnya rapat DPR terbuka, kecuali dinyatakan tertutup. Selama pimpinan rapat—atas kesepakatan DPR dan Pemerintah—menetapkan rapat tertutup, maka rapat beserta pembicaraan dan keputusannya bersifat rahasia dan tidak untuk diumumkan. Jika rapat tertutup namun isinya tidak dinyatakan rahasia, ringkasan atau catatan rapat dapat dibuka sebagian atau seluruhnya kepada publik.
Kendati demikian, MK menganjurkan evaluasi agar penetapan rapat tertutup lebih selektif, disertai alasan yang jelas, dan desain tata tertib mendorong sebanyak mungkin rapat terbuka demi menjamin asas keterbukaan.
Empat hakim menyampaikan pendapat berbeda. Hakim Konstitusi Suhartoyo bersama Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih menilai permohonan seharusnya beralasan menurut hukum dan sebagian dikabulkan. Sementara Hakim Konstitusi Arsul Sani berpandangan Pemohon III juga tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagaimana Pemohon I dan II, sehingga permohonan semestinya dinyatakan tidak dapat diterima seluruhnya.
Para Pemohon—lembaga yang bergerak di bidang konsultasi dan advokasi hukum—menyatakan tidak pernah mengetahui ataupun dilibatkan dalam proses pembentukan UU BUMN, sehingga menilai tidak terpenuhinya meaningful participation sebagaimana jaminan konstitusional. Mereka juga berpendapat RUU BUMN bukan bagian dari Prolegnas Prioritas Tahunan, sehingga terdapat cacat prosedural.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan UU 1/2025 tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, menyatakan UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mengikat, serta memohon penundaan pelaksanaan UU 1/2025 sebagai provisi hingga putusan akhir dijatuhkan.
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini