12 Oktober 2002 Indonesia digemparkan dengan suatu peristiwa tragedi kemanusiaan yang menjadi catatan gelap dalam Sejarah Indonesia, peristiwa yang mengakibatkan kerusakan di kawasan wisata kuta, Bali dengan menggunakan bom yang menewaskan lebih dari yang menewaskan sedikitnya 202 orang dan melukai lebih dari 300 lainnya, termasuk wisatawan asing dari Australia, Inggris, dan negara lainnya (ICRC, 2003), dengan terjadi pengeboman yang menargetkan objek wisata tersebut, mengakibatkan bukan hanya mencoreng wajah Indonesia di mata Internasional, tetapi dengan terjadinya peristiwa ini timbul rasa ketakutan yang luas dan membekas di warga negara Indonesia sendiri terhadap ancaman terorisme yang nyata di wilayah nasional, yang kemudian tragedi pengeboman tersebut dinamakan tragedi Bom Bali.
Dengan terjadinya peristiwa tersebut pemerintah melakukan pergerakan yang sangat progresif dalam menganggulangi peristiwa serupa yang diakibatkan oleh aksi terorisme, salah satu dengan diberlakukanya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun, terjadi polemik dalam pemberlakuan Undang-Undang ini terhadap tragedi Bom Bali, yang dimana pemberlakuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini diberlakukan secara Retroaktif (Surut), yaitu diberlakukan surut terhadap perbuatan yang terjadi sebelum undang-undang tersebut disahkan, khususnya terhadap para pelaku Bom Bali.
Dalam penerapan Undang-Undang tersebut mengalami polemic terutama dalam penggunaannya terhadap pelaku Bom Bali yang dalam tanda kutip melakukan perbuatan terorisme sebelum adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai terorisme, terutama dalam asas legalitas (nullum crimen sine lege) dan asas non-retroaktif, yang merupakan prinsip yang sangat dasar atau fundamental dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pindana Pasal 1, yang menyatakan:“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.” Yang secara tersirat menyatakan bahwa dalam hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Meskipun pada akhirnya pemerintah berdalih bahwa tragedi Bom Bali tersebut adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang pada hal menyikapinya perlu penanganan khusus, namun secara normatif pemberlakuan hukum secara retroaktif (surut) menuai berbagai kritikan, yang dimana dalam kasus tersebut telah melanggar hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam “hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”
Polemik ini menunjukkan bahwa adanya gesekan antara kepentingan negara unutk menjamin keamana nasional melalui perangkat hukum anti terorisme dengan prinsip-prinsip dasar hukum pidana yang seharusnya diberlakukan secara adil dan konsisten, Oleh karena itu, kajian kritis terhadap penerapan hukum dalam kasus Bom Bali menjadi penting untuk menilai sejauh mana tindakan tersebut sesuai dengan prinsip dasar hukum nasional dan internasional, serta untuk mengkaji implikasi hukumnya terhadap masa depan penegakan hukum di Indonesia
Dalam ajaran hukum pidana,dikenal kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime), yang dituju untuk menetapkan status tindak pidana yang sangat serius dan menimbulkan ancaman sistematik terhadap negara dan pemerintahan, tindakan tersebut seperti seperti terorisme, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia berat. Kejahatan-kejahatan ini sering kali ditangani dengan mekanisme hukum yang luar biasa (extraordinary legal measures), termasuk pembentukan pengadilan ad hoc, penghilangan hak remisi, hingga, dalam beberapa kasus, penggunaan hukum secara retroaktif (Setiyono, 2011).
Dalam penetapan status penggunaan hukum luar biasa yang dapat dintentukan dalam teori keadaan darurat (state of emergency theory) yang dimana negara dapat melakukan tindakan yang dianggap sangat perlu dan khusus demi keamanan dan untuk melindungi kepentingan umum, sebagaimana adagium yang menyatakan “Salus populi suprema lex esto” (Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi).
Peristiwa Bom Bali yang terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002 di kawasan Legian, Kuta, Bali, yang merupakan pusat wisata internasional. Dalam teragedi tersebut terjadi dua kali ledakan besar dalam saru waktu yang bersamaan salah satunya di dalam Paddy’s Pub, dan di depan Sari Club. Dalam ledakan tersebut dilakukan melalui bom mobil, yang mengakibatkan 202 orang tewas dan 300 lainya terluka, pemerintah Indonesia menanggulangi ancaman tersebut secara progresif, setelah dilakukan penyelidikan intensif terdapat nama-nama pelaku dalam tragedi tersbut seperti, Amrozi, Ali Imron, dan Imam Samudra, yang di Adili dan divonis hukuman mati, yang mana dalam penetapan hukuman tersebut menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam tragedi Bom Bali terdapat polemik yang menjadi perdebatan besar adalah penggunaan Undang-Undang No. 15 tahun 2003 terhadap pelaku Bom Bali, yang dimana pada pengesahanya Bom Bali terjadi terlebih dahulu sebelum adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam penetapan tersebut negara berdalih menjatuhkan para pelaku Bom Bali dengan hukuman mati karena telah melakukan kejahatan yang bersifat luar biasa (extraordinary legal measures).
Dalam aspek yurudis, Langkah yang diambil oleh pemerintah dinilai melanggar aturan mengenai legalitas suatu aturan yang sesuai dengan Kitab-Kitab Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat (1) dan pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa hak asasi manusia tidak dapat dibatasi dengan alasan keamanan negara dan kepentingan umum
Maka dalam hal ini dapat dikeathui bahwa negara telah melakukan pelanggaran konstitusi yang dimana pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28I ayat (1) yang menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Dalam hal ini secara tegas larangan dalam pemberlakuan hukum secara rektroaktif, Bahkan dalam instrumen internasional, seperti Pasal 15 ICCPR, asas non-retroaktif hanya dapat dikesampingkan dalam kasus kejahatan berat yang telah dianggap sebagai tindak pidana menurut hukum internasional umum (general principles of law) – seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan dan bukan kejahatan terorisme, kecuali jika diklasifikasikan secara khusus oleh komunitas internasional.
Penerapan hukum secara retroaktif telah menuai banyak kritik dari pada akademisi dan pratiksi hukum, Muladi (2005) menyatakan bahwa pemberlakuan hukum secara surut dalam sistem pidana Indonesia tidak dapat dibenarkan kecuali terdapat keadaan luar biasa yang benar-benar tidak dapat diatasi dengan hukum yang berlaku saat itu, dan harus melalui mekanisme konstitusional yang ketat. Romli Atmasasmita (2004) juga mengkritik langkah tersebut karena mengancam prinsip kepastian hukum dan rule of law, serta berpotensi menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum pidana di masa depan. Penerapan retroaktif dalam kasus Bom Bali, meskipun bersifat politis dan didukung publik saat itu, dinilai telah melemahkan asas legalitas yang menjadi sendi utama sistem hukum pidana.
Jika dibandingkan dengan negara lain, penerapan asas legalitas dan non-retroaktif dijaga dengan ketat. Di Amerika Serikat, konstitusi secara eksplisit melarang ex post facto laws dalam Pasal I Section 9. Di Jerman, Mahkamah Konstitusi Jerman menolak pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif bahkan untuk kasus berat, kecuali merujuk pada prinsip hukum internasional universal yang sudah ada sebelumnya. Di Prancis, pengadilan hanya dapat menerapkan hukum retroaktif jika kejahatan yang dilakukan telah diakui sebagai pelanggaran terhadap hukum umum umat manusia sebelum tindakan dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun banyak negara memiliki fleksibilitas dalam menghadapi kejahatan berat, penerapan retroaktif tetap harus tunduk pada prinsip legalitas dan harus berada dalam koridor hukum internasional yang ketat (Cassese, 2008; Ashworth, 2006).
Dengan demikian, penerapan hukum retroaktif dalam kasus Bom Bali, meskipun dilandasi kebutuhan negara untuk menanggulangi terorisme, tetap menghadapi kritik mendasar dari perspektif hukum positif Indonesia maupun standar hukum internasional. Situasi ini menunjukkan adanya ketegangan antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan prinsip dasar dalam sistem hukum pidana.
Dalam penerapan rektroaktif pada tragedi Bom Bali menimbulkan kekhawatiran terhadap kominten negara untuk tetap konsisten dalam prinsip rule of law Indonesia Salah satu pilar utama rule of law adalah kepastian hukum, yang antara lain dijamin melalui asas legalitas dan non-retroaktif. Ketika negara memberlakukan norma pidana secara surut, bahkan untuk alasan darurat sekalipun, maka hal ini secara langsung melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan merusak jaminan atas perlindungan hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Dalam jangka panjang, praktik seperti ini dapat menimbulkan preseden berbahaya, di mana hukum dijadikan alat kekuasaan semata dan bukan sebagai instrumen keadilan (Hadjon, 2005).
Fenomena ini juga mencerminkan ketegangan antara pertimbangan moral (keadilan substantif) dan keadilan prosedural (legalitas formal). Di satu sisi, terdapat dorongan kuat dari masyarakat untuk menghukum pelaku terorisme secara tegas demi rasa keadilan korban dan ketertiban umum. Namun di sisi lain, sistem hukum mengharuskan bahwa proses pemidanaan tetap tunduk pada prinsip legalitas dan non-retroaktif. Dalam konteks ini, pertanyaan kritis muncul: apakah hasil yang “adil” secara moral dapat dibenarkan jika dicapai melalui pelanggaran prosedur hukum yang sah? Teori keadilan prosedural menegaskan bahwa cara sama pentingnya dengan tujuan, karena legitimasi sistem hukum dibangun atas dasar aturan yang konsisten dan dapat diprediksi (Rawls, 1971). Oleh karena itu, dilema antara “keadilan” dan “kepastian hukum” menjadi tantangan besar bagi sistem peradilan pidana.
Melihat implikasi tersebut, maka perlu adanya kebijakan hukum yang lebih tegas dan jelas dalam menjawab persoalan serupa di masa depan. Pertama, revisi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan harus dilakukan agar tidak membuka ruang penafsiran yang luas terhadap penerapan hukum retroaktif. Misalnya, melalui pembatasan ketat terhadap pengecualian asas legalitas, yang hanya dapat dilakukan dalam kondisi yang benar-benar darurat, dan hanya untuk jenis kejahatan tertentu yang telah diterima secara universal dalam hukum internasional. Kedua, penting untuk meneguhkan kembali prinsip non-retroaktif dalam sistem hukum nasional melalui instrumen yudisial (putusan Mahkamah Konstitusi) maupun legislasi. Dengan demikian, Indonesia dapat menjaga reputasi sebagai negara hukum yang menghormati HAM sekaligus mampu merespons kejahatan luar biasa secara proporsional dan konstitusional.
Penetapan hukum dalam kasus Bom Bali dengan menggunakan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 secara retroaktif telah menimbulkan perdebatan serius terhadap penerapan asas legalitas (nullum crimen sine lege) dan asas non-retroaktif dalam sistem hukum pidana Indonesia. Secara yuridis, penerapan norma pidana yang belum berlaku pada saat peristiwa terjadi bertentangan dengan prinsip dasar hukum pidana nasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, serta tidak sejalan dengan komitmen internasional Indonesia dalam ICCPR Pasal 15. Walaupun alasan keadilan substantif dan kebutuhan negara untuk menanggulangi kejahatan luar biasa seperti terorisme dapat dipahami, cara yang ditempuh tidak dapat mengesampingkan pentingnya menjunjung tinggi hukum yang pasti dan adil. Pengabaian terhadap asas legalitas dan non-retroaktif berpotensi merusak struktur dasar negara hukum, serta dapat menjadi preseden negatif dalam proses legislasi dan peradilan pidana di masa mendatang.
Berdasarkan analisis tersebut, terdapat beberapa rekomendasi yang perlu diperhatikan. Pertama, kepada pembentuk undang-undang, perlu dilakukan evaluasi dan pembaruan terhadap perangkat hukum pidana agar lebih siap menghadapi kejahatan luar biasa tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip dasar hukum. Kedua, kepada aparat penegak hukum, penting untuk menjunjung tinggi asas legalitas dan kehati-hatian dalam menafsirkan kewenangannya, agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Ketiga, kepada akademisi dan praktisi hukum, perlu terus dilakukan kajian kritis terhadap praktik-praktik penegakan hukum yang berpotensi menyimpang dari prinsip rule of law, serta memberikan masukan berbasis ilmiah untuk memperkuat sistem hukum nasional. Dengan cara ini, Indonesia dapat menegakkan hukum secara efektif dan adil, tanpa mengorbankan fondasi konstitusional dan nilai-nilai hak asasi manusia.
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini