Literasi Hukum – Hari ini, negeri kita tengah melewati fase yang bisa dibilang “tidak baik-baik saja.” Gejolak ekonomi global, konflik geopolitik, hingga lambatnya arus investasi internasional telah menekan kinerja ekonomi nasional. Semua ini tidak hanya terekam dalam angka-angka makroekonomi, namun sudah menjelma menjadi realitas sosial yang riil: meningkatnya pengangguran, ketidakpastian kerja, hingga meningkatnya kerentanan sosial bagi kelompok usia produktif.
Bicara soal ketenagakerjaan, kita dihadapkan pada fenomena yang sulit untuk diabaikan: PHK massal di berbagai sektor industri. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada triwulan I-2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,87 persen, menurun dibanding 5,11 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Di saat yang sama, pada Februari 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) berada di angka 4,76 persen, setara dengan 7,2 juta penduduk. Angka-angka ini menunjukkan bahwa perputaran ekonomi tidak cukup kuat untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Bahkan yang lebih mengkhawatirkan adalah fenomena pengangguran terdidik. Anak-anak muda lulusan perguruan tinggi kini banyak yang terjebak dalam kondisi overqualified namun underemployed. Bank Dunia mencatat bahwa 13,9 persen anak muda Indonesia menganggur—angka tertinggi di Asia Tenggara. Bahkan menurut laporan CELIOS, 33,4 persen pengangguran saat ini sudah dalam kondisi “putus asa” mencari kerja (hopeless job). Ini adalah sinyal keras bahwa sistem ketenagakerjaan kita mengalami stagnasi struktural.
Sayangnya, respons kebijakan kita masih terlalu ritualistik. Banyak program pelatihan kerja lebih tampil sebagai proyek seremonial ketimbang solusi konkret. Kurikulum pendidikan vokasi tidak sinkron dengan kebutuhan industri. Inkonsistensi regulasi ketenagakerjaan membuat pengusaha gamang untuk merekrut, sementara pekerja merasa tidak terlindungi.
Di tengah berbagai tekanan tersebut, isu-isu krusial seperti penahanan ijazah oleh perusahaan, diskriminasi rekrutmen, PHK mendadak, hingga upah minimum dan kesetaraan gender menjadi sorotan tajam publik. Polemik ini memperjelas bahwa ada jurang besar antara hukum ketenagakerjaan yang ideal dengan praktik yang berlangsung di lapangan.
Polemik Penggunaan SE
Dalam upaya merespons situasi ini, Menteri Ketenagakerjaan menerbitkan dua Surat Edaran pada Mei 2025, yaitu: SE Menaker Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 tentang Larangan Penahanan Ijazah dan/atau Dokumen Pribadi Milik Pekerja/Buruh, serta SE Menaker Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja.
Dari sudut pandang keilmuan pembentukan peraturan perundang-undangan, kedua surat edaran ini merupakan langkah progresif. Ia menjadi semacam “lampu sorot” terhadap praktik-praktik buruk yang selama ini menjadi rahasia umum namun sulit disentuh hukum. Namun muncul pertanyaan mendasar: apakah surat edaran memiliki kekuatan hukum yang cukup untuk menjamin perlindungan tenaga kerja?
Dalam kacamata Hukum Administrasi Negara, surat edaran adalah bentuk peraturan kebijakan administratif, lahir dari prinsip diskresi pejabat publik atau freies ermessen. Fitriani Ahlan Sjarif dan Efraim Jordi Kastanya dalam artikelnya di Jurnal Hukum & Pembangunan (2021) menyatakan bahwa surat edaran sebenarnya adalah instrumen komunikasi internal yang bersifat tidak mengikat secara hukum bagi pihak eksternal, seharusnya tidak menimbulkan norma hukum baru, apalagi “mengatur” masyarakat secara langsung.
Kondisi serupa pernah terjadi saat pandemi COVID-19. Banyak surat edaran yang diterbitkan oleh Gugus Tugas atau kementerian justru menjelma menjadi “quasi-regulation” yang melampaui batas otoritas administratif. Guru Besar Hukum UI, Maria Farida Indrati, dengan tegas menyatakan bahwa surat edaran hanya boleh memperjelas pelaksanaan hukum yang sudah ada, bukan menciptakan hukum baru.
Surat Edaran Bukan Peraturan
Jika tujuannya adalah perlindungan buruh yang konsisten dan mengikat secara hukum, maka Surat Edaran bukanlah solusi teknokratik yang ideal. Pilihan yang lebih tepat secara hukum administrasi adalah Peraturan Menteri. Merujuk pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Menteri diakui eksistensinya sebagai bagian dari sistem hukum nasional meski tidak disebut eksplisit dalam hierarki. Peraturan ini dapat digunakan untuk menurunkan norma dari undang-undang ketenagakerjaan yang lebih tinggi, serta memberikan kepastian hukum bagi pemberi kerja dan pekerja.
Lebih dari itu, Peraturan Menteri bisa dijadikan dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah. Dalam kerangka desentralisasi, peran pemerintah daerah sangat penting dalam isu ketenagakerjaan. Dalam kerangka desentralisasi asimetris, daerah memiliki kewenangan urusan ketenagakerjaan. Oleh karena itu, Peraturan Menteri tersebut dapat dijadikan dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah (Perda). Perda memiliki kekuatan hukum untuk menetapkan sanksi, baik administratif maupun pidana, sesuai prinsip no punishment without representation. Dengan menjadikan Peraturan Menteri sebagai dasar hukum dalam ketentuan “Mengingat” di Rancangan Perda, maka akan tercipta harmonisasi vertikal antara pusat dan daerah.
Hindari Siklus Regulasi Semu
Secara teknis, agar Perda dapat berjalan efektif, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah dan Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah harus berperan aktif dalam proses harmonisasi dan fasilitasi pembentukan Perda ini. Tentu ini juga bagian penting mengingat kondisi birokrasi kita yang saat ini masih “menomorsatukan” Kemendagri sebagai instansi pembina pemerintah daerah. Peran ini sangat strategis karena pemerintah pusat tidak bisa bekerja sendiri dalam merumuskan solusi atas persoalan ketenagakerjaan yang menyentuh langsung pada domain otonomi daerah.
Menurut yang saya pahami, surat edaran bukanlah jawaban jangka panjang atas krisis ketenagakerjaan kita. Dalam kondisi darurat, memang surat edaran bisa digunakan sebagai langkah sementara. Namun untuk keberlanjutan dan keberlakuan norma hukum, pemerintah wajib menyusun regulasi yang hierarkis, substantif, dan mengikat. Surat Edaran meskipun cepat dan mudah diterbitkan, tidak memiliki daya paksa hukum yang diperlukan untuk mengatur masyarakat luas, apalagi menghadapi praktik ketenagakerjaan yang semakin kompleks dan sering kali eksploitatif. Kegagalan untuk itu hanya akan membuat kita terus mengulang siklus pseudo-regulasi yang tampak aktif secara administratif, tapi mandul secara normatif.
Pada akhirnya, problem ketenagakerjaan tidak akan selesai hanya dengan instrumen administratif yang lemah secara legalitas. Surat Edaran, Solusi nyata membutuhkan regulasi yang kuat, sistemik, dan implementatif. Kementerian Ketenagakerjaan seharusnya memprioritaskan pembuatan Peraturan Menteri yang mengikat, lalu bekerja sama dengan daerah dalam bentuk regulasi turunan seperti Peraturan Daerah (Perda).
Dengan cara ini, kita tidak hanya mengobati gejala, tetapi memperbaiki sistem dari akar. Mengelola tenaga kerja bukan hanya soal mengatur jumlah dan kualitas, tetapi juga tentang membangun keadilan sosial dalam pasar kerja. Dan keadilan tidak bisa ditegakkan hanya dengan Surat Edaran.