Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Opini

Membongkar Siklus Pork Barrel Politics dalam Korupsi Pemilu di Indonesia

Yayang Nanda Budiman, SH
33
×

Membongkar Siklus Pork Barrel Politics dalam Korupsi Pemilu di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Membongkar Siklus Pork Barrel Politics dalam Korupsi Pemilu di Indonesia
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi Hukum – Politik Indonesia, sebagai arena kontestasi beragam kepentingan dipertarungkan, nampaknya semakin hari ia memperlihatkan wajah yang muram, meski di beranda media massa ia dipoles dengan citra yang ceria dan menggembirakan.

Fenomena politik gentong babi atau akrab disebut sebagai pork barrel politics, adalah salah satu isu yang tengah menjadi bahan diskursus sejumlah kalangan di tengah kondisi korupsi politik yang kian menggerogoti pilar demokrasi negeri ini. 

Dalam konteks kita saat ini, pork barrel politics diasosiasikan sebagai bentuk penyalahgunaan penyaluran anggaran negara yang dilakukan secara selektif terhadap sejumlah daerah yang dipandang strategis dalam meraup dukungan dari konstituen.

Strategi ini telah menjadi salah satu senjata pamungkas bagi para politisi untuk mempertahankan kursi kepemimpinan yang telah ia kuasai, namun pada waktu yang bersamaan, cara demikian memperkeruh wajah demokrasi yang idealnya ia harus berbasis pada prinsip keadilan dan transparansi.

Inilah paradoks yang terjadi dalam sistem politik kita selama lima tahun ke belakang: di tengah klaim dan glorifikasi cita-cita reformasi, praktik korupsi masih mencengkeram, bahkan semakin terorganisir secara paripurna. 

Di Indonesia, fenomena pork barrel menjadi bagian dari kultur politik yang sulit untuk di sanggah. Di hampir setiap kontestasi pemilu, kita dapat menyaksikan bagaimana calon legislatif atau eksekutif mempergunakan jabatan publik, anggaran atau fasilitas negara untuk kepentingan mereka sendiri yang seolah-olah didesain atas nama “kesejahteraan rakyat”. 

Jabatan dan anggaran negara yang semestinya dikelola secara adil dan transparan tak jarang dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral, tanpa mempertimbangkan pemerataan dan keberlanjutan program.

Praktik kotor jangka pendek ini semakin memperparah kondisi sosial yang kian timpang, di mana bantuan lebih banyak diprioritaskan ke daerah yang dianggap mempunyai potensi perolehan suara yang menjanjikan, sementara daerah lain semakin termarjinalkan.

Tentu saja, strategi politik demikian sangat merugikan kondisi rakyat. Mereka seakan disuapi obat pereda penderitaan sementara, dengan tujuan untuk mengalihkan perhatian mereka dari masalah pokok yang sesungguhnya.

Kemiskinan yang semestinya menjadi masalah sosial, di hadapan para politisi ia justru menjadi target utama pendulang suara. Akibatnya, praktik “serangan fajar” menjelang jam pencoblosan, tukar-tambah suara dengan uang atau sembako menjadi masalah akut di lapangan yang sulit diselesaikan. 

Korupsi Politik dan Demokrasi yang Terperosok

Praktik politik gentong babi tak bisa dilepaskan dari fenomena korupsi politik yang telah menggerogoti tubuh demokrasi sejak lama. Korupsi politik merupakan salah satu ancaman serius terhadap kredibilitas dan legitimasi pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Fenomena ini tidak hanya merusak integritas individu yang terlibat, tetapi juga melemahkan struktur dan fungsi pemerintahan secara keseluruhan.

Korupsi dalam konstelasi politik telah menciptakan efek domino yang sangat destruktif. Bahkan yang lebih riskan lagi, impotensi hukum yang tidak berdaya dalam menyelesaikan praktik korupsi politik, membuat para pelaku merasa mempunyai impunitas.

Para politisi hingga partai politik yang terlibat dalam politik gentong babi hampir selalu kebal dari jeratan hukum, selain karena cara yang mereka lakukan cenderung terorganisir, rapi dan sulit untuk dibuktikan secara materil, mereka juga mempunyai jangkauan relasi politik yang lebih luas. Inilah yang membuat arus sirkulasi kekuasaan menjadi sangat sulit, dan justru semakin memperkeruh sistem politik kita yang kian kotor. 

Di tengah kegamangan masa depan kualitas demokrasi kita, apa yang terjadi jika praktik pork barrel terus dibiarkan berkembang biak? Secara ideal, demokrasi semestinya menjadi mekanisme untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan instrumen untuk kepentingan politik elektoral semata. Ketika kewenangan jabatan publik dan anggaran negara dialokasikan sebagai alat tukar tambah suara, maka demokrasi kita telah kehilangan esensinya. 

Dalam sudut pandang yang lebih luas, praktik pork barrel adalah bentuk dari pengingkaran terhadap demokrasi yang sejatinya mengedepankan keterbukaan, partisipasi, dan keadilan, justru terdistorsi oleh kepentingan pragmatisme politik yang sempit.

Akhirnya, sistem yang terbentuk adalah cara panddang yang tidak lagi memprioritaskan kualitas pembangunan atau pelayanan publik, melainkan sistem yang yang berorientasi pada kekuasaan dan pengaruh politik belaka. 

Pada saat pejabat publik terlibat dalam praktik korupsi, dampaknya jauh melampaui kerugian finansial. Pada tataran yang lebih mendalam, korupsi menggerogoti kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dalam kondisi di mana pemerintah krisis legitimasi, efektivitas dalam memberlakukan kebijakan dan menyelenggarakan sejumlah program juga terdampak pengaruhnya. 

Di tahap ekstrimnya, publik kian skeptis bahkan cenderung tidak mematuhi aturan dan mengabaikan kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah yang nir-legitimasi akibat praktik korup yang secara vulgar dipertontonkan, karena mereka merasa tidak ada keadilan, etika publik, dan transparansi dalam proses pengambilan keputusan. 

Membongkar Akar Masalah

Lantas, adakah solusi untuk membongkar akar masalah ini? Pertama, kita perlu kembali pada prinsip dasar demokrasi: keadilan dan transparansi. Pemilu tidak bisa diposisikan sebagai ajang bagi para politisi untuk mempergunakan uang negara dan jabatan publik demi kepentingan jangka pendek. 

Oleh karena itu, sinyal pembenahan dan reformasi besar-besaran dalam sistem pemilu, dan etika pejabat publik dalam pengelolaan anggaran negara menjadi urgensitas yang mesti diketengahkan. 

Kedua, untuk memutus kultur politik gentong babi, perlu adanya sistem pengawasan yang lebih ketat terhadap setiap ucapan dan tindakan dari pejabat publik agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam mendukung salah satu pasangan calon yang andil dalam kontestasi pemilu dengan menggunakan peralatan yang disediakan oleh negara.

Selain itu, tantangan utama dalam upaya penegakan hukum terhadap korupsi politik di Indonesia sangat kompleks, dengan sejumlah aspek paling menonjol seperti intervensi kekuasaan yang tidak netral dalam kontestasi pemilu dan independensi lembaga penegak hukum yang tebang pilih.

Intervensi politik ini seringkali terjadi dalam berbagai bentuk pola, mulai dari intervensi langsung maupun melalui cara lain yang lebih halus untuk mempengaruhi arah persaingan pemilu yang tengah diselenggarakan. 

Penguatan independensi dan ketajian lembaga pengawasan, baik dari internal pemerintah maupun masyarakat sipil, mesti diberdayakan agar dapat memantau dan mengawal setiap proses penyelenggaraan pemilu yang bebas dari segala bentuk kecurangan yang dilakukan.

Dalam hal ini, peran media massa juga mempunyai posisi strategis dalam mengawasi tingkah laku kekuasaan yang tidak transparan, menyalahgunakan jabatan dan merugikan kepentingan rakyat.

Namun yang lebih penting dari semua itu adalah kesadaran kolektif publik yang mesti dibangunkan kembali. Tanpa didukung dengan transformasi paradigma dari masyarakat sebagai konstituen yang sebelumnya berorientasi pada uang hingga terbuai dengan janji manis atau proyek jangka pendek, harus beralih pada perspektif pemilih yang mengedepankan rasionalitas dan kritisisme. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses