Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Opini

Scroll Aman, Bicara Bebas: Hari Media Sosial 2025 dan Tuntutan Regulasi Bijak

Adam Ilyas
140
×

Scroll Aman, Bicara Bebas: Hari Media Sosial 2025 dan Tuntutan Regulasi Bijak

Sebarkan artikel ini
Scroll Aman, Bicara Bebas: Hari Media Sosial 2025 dan Tuntutan Regulasi Bijak
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Setiap tanggal 10 Juni, kita merayakan Hari Media Sosial Indonesia, sebuah momen yang digagas oleh Handi Irawan D. pada tahun 2015 dengan niat luhur 1: mendorong kita semua agar semakin bijak berselancar di dunia maya dan mampu menebar dampak positif bagi sesama.1 Namun, satu dekade berselang, di tengah derasnya arus informasi dan lompatan teknologi, kita tersadar: kebijaksanaan individu saja ternyata tak cukup. Ruang digital yang kian kompleks dan telah menyatu dengan denyut nadi kehidupan kita sehari-hari, kini menuntut adanya aturan main hukum yang kokoh sekaligus adil.

Peringatan Hari Media Sosial tahun 2025 ini menjadi titik krusial. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan penetrasi pengguna internet dan media sosial yang begitu masif 3, tak bisa lagi hanya sekadar merayakan kemudahan terhubung. Inilah saatnya untuk secara serius menata ulang lanskap hukum digital kita. Jangan sampai euforia kemajuan teknologi melenakan kita dari berbagai persoalan hukum yang mengikutinya. Upaya mewujudkan ruang digital yang inovatif harus berjalan seiring dengan penegakan keadilan, keamanan, dan penghormatan terhadap hak-hak fundamental setiap warga negara. Paradoks abadi antara kebebasan berekspresi dan kebutuhan melindungi diri dari penyalahgunaan platform digital—seperti disinformasi, ujaran kebencian, dan pelanggaran privasi—menjadi tantangan besar yang harus dijawab. Fokus peringatan yang semula menitikberatkan pada “penggunaan bijak” oleh individu kini perlu diperluas menjadi “regulasi bijak” oleh negara. Sebab, tanpa ekosistem hukum yang mendukung, impian akan media sosial yang positif dan aman akan sulit terwujud.

Rimba Regulasi Medsos: UU ITE dan UU PDP dalam Sorotan

Indonesia sejatinya telah memiliki serangkaian perangkat hukum untuk mengatur dinamika di jagat maya. Namun, implementasinya kerap kali menuai perdebatan dan dirasa belum sepenuhnya menjawab tantangan zaman.

UU ITE: Pedang Bermata Dua?

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), beserta serangkaian perubahannya termasuk UU Nomor 1 Tahun 2024, seringkali menjadi pusat perhatian. Beberapa pasalnya, yang populer dengan sebutan “pasal karet”, dinilai multitafsir dan berpotensi menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi. Pasal-pasal seperti Pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian, menjadi contoh bagaimana regulasi dapat berujung pada kriminalisasi berlebihan (overcriminalization) dan justru mengekang iklim demokrasi.4 Berbagai organisasi masyarakat sipil dan pakar hukum telah lama menyuarakan kekhawatiran bahwa pasal-pasal ini rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik dan suara-suara minoritas, menciptakan apa yang disebut sebagai chilling effect atau efek jeri di tengah masyarakat.6

Meskipun revisi UU ITE telah dilakukan beberapa kali, dengan klaim untuk memperjelas dan memberikan kepastian hukum 7, kritik substansial masih saja terdengar.10 Laporan Freedom House mencatat bahwa revisi Desember 2023 memang mempersempit definisi pencemaran nama baik dan menurunkan ancaman hukuman, namun kasus-kasus kontroversial, seperti yang menimpa Lina Lutfiawati terkait dugaan penistaan agama, masih terjadi pasca-revisi.9 Ini mengindikasikan bahwa revisi UU ITE yang berulang kali bukanlah sekadar persoalan teknis perumusan norma, melainkan cerminan dari tarik-menarik kepentingan yang kompleks antara kebutuhan melindungi individu dari dampak negatif media sosial dan kekhawatiran akan pembatasan kebebasan sipil yang berlebihan. Dinamika politik hukum yang melatarbelakangi setiap perubahan UU ITE menunjukkan betapa peliknya mencari titik keseimbangan ideal dalam mengatur ruang digital yang begitu dinamis.

UU PDP: Asa Privasi di Era Digital

Di sisi lain, kehadiran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) disambut laksana angin segar. UU ini menjadi payung hukum penting untuk melindungi hak fundamental warga negara atas privasi data pribadi mereka di era digital, di mana data telah menjelma menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi dan sekaligus rentan disalahgunakan.3 UU PDP mengatur berbagai aspek krusial, mulai dari hak subjek data, kewajiban pengendali dan pemroses data, hingga sanksi administratif dan pidana bagi pelanggarnya.3

Namun, harapan besar yang disematkan pada UU PDP kini menghadapi tantangan berat dalam implementasinya. Salah satu kendala utama adalah keterlambatan penerbitan peraturan pelaksana yang komprehensif.3 Ketiadaan aturan turunan yang detail dan jelas dapat menciptakan ketidakpastian hukum, menghambat upaya pengendali data (termasuk platform media sosial) untuk patuh, sekaligus membuka celah bagi pihak tidak bertanggung jawab untuk terus melakukan praktik yang merugikan subjek data. Pengalaman pahit dengan UU ITE, di mana peraturan pelaksananya baru terbit beberapa tahun setelah undang-undangnya disahkan, menjadi pelajaran berharga.3 Keterlambatan ini bukan hanya masalah administratif, tetapi berpotensi menciptakan “regulatory vacuum” yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap efektivitas UU PDP bahkan sebelum ia terimplementasi penuh, terutama mengingat masa transisi dua tahun bagi pengendali data untuk menyesuaikan diri akan berakhir pada Oktober 2024.3 Isu spesifik seperti perlindungan data anak di media sosial, khususnya terkait fenomena sharenting (penyebaran data anak oleh orang tua), juga memerlukan perhatian serius dan panduan yang jelas.12

Potensi disharmoni dan tumpang tindih regulasi, khususnya antara UU ITE dan UU PDP, juga menambah kerumitan lanskap hukum digital Indonesia.11 Sebagai contoh, kasus penyebaran data pribadi tanpa izin (doxing) yang disertai dengan narasi pencemaran nama baik dapat menimbulkan pertanyaan: hukum mana yang harus menjadi acuan utama? Apakah UU ITE dengan pasal pencemaran nama baiknya, atau UU PDP yang secara spesifik mengatur data pribadi, atau keduanya secara kumulatif? Ketidakjelasan mengenai hubungan lex specialis antara kedua undang-undang ini dapat menciptakan kebingungan, tidak hanya bagi masyarakat pencari keadilan tetapi juga bagi aparat penegak hukum. Akibatnya, penegakan hukum berisiko menjadi tidak konsisten.

Munculnya berbagai regulasi turunan di tingkat kementerian, seperti Keputusan Menteri Kominfo Nomor 172 Tahun 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan PNBP dari Sanksi Denda Administratif atas Pelanggaran Pemutusan Akses oleh PSE Lingkup Privat User Generated Content 14, juga patut dicermati. Meskipun bertujuan untuk memperkuat penegakan hukum terhadap konten ilegal, regulasi teknis semacam ini berpotensi menambah lapisan birokrasi dan memperbesar ruang kontrol pemerintah terhadap platform dan konten pengguna. Kekhawatiran bahwa Kepmenkominfo 172/2024 rentan disalahgunakan, terutama dalam konteks isu-isu sensitif atau politik seperti Pilkada, telah disuarakan oleh beberapa pihak.15

Jebakan di Dunia Maya: Konten Ilegal, Ujaran Kebencian, dan Privasi Terancam

Berbagai persoalan hukum konkret terus mewarnai penggunaan media sosial di Indonesia, menuntut perhatian serius dari berbagai pihak.

Perang Melawan Konten Negatif

Media sosial, di samping segudang manfaatnya, juga menjadi ladang subur bagi penyebaran konten ilegal. Data dari Kepolisian RI menunjukkan ratusan kasus pornografi yang melibatkan media sosial, bahkan menjerat anak di bawah umur sebagai pelaku maupun korban.16 Kementerian Kominfo juga telah melakukan pemblokiran terhadap ratusan ribu konten pornografi.16 Namun, upaya penegakan hukum dan pemblokiran konten seringkali bersifat reaktif, ibarat memadamkan kebakaran yang baru dilakukan setelah api membesar. Pendekatan ini belum menyentuh akar permasalahan yang lebih dalam, seperti rendahnya tingkat literasi digital masyarakat, motif ekonomi yang mendorong penyebaran konten ilegal, serta tanggung jawab platform media sosial yang seharusnya lebih proaktif dalam melakukan moderasi konten.

Frekuensi vs. Fitnah: Di Mana Batasnya?

Persoalan klasik mengenai batasan antara kebebasan berpendapat yang sah dengan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik terus menjadi perdebatan hangat, terutama dalam konteks penerapan pasal-pasal UU ITE. Kasus-kasus seperti yang menimpa Ratu Thalisa, yang divonis bersalah atas ujaran kebencian meskipun menurut Amnesty International komentarnya tidak mencapai ambang batas hasutan 17, atau kasus Lina Lutfiawati yang dihukum karena konten yang dianggap menista agama 9, menjadi contoh nyata betapa sulitnya menarik garis demarkasi yang tegas.

Ketidakjelasan definisi yuridis mengenai “ujaran kebencian” dan “pencemaran nama baik” dalam konteks digital, ditambah dengan subjektivitas penafsiran oleh pelapor dan aparat penegak hukum, menciptakan “zona abu-abu” yang sangat luas. Zona ini tidak hanya berpotensi mengancam individu yang menyampaikan kritik atau pandangan berbeda, tetapi juga dapat dimanipulasi untuk membungkam suara-suara yang tidak populer.

Berikut adalah tabel yang menggambarkan skala pelaporan kasus terkait pasal-pasal kontroversial UU ITE berdasarkan data yang tersedia hingga akhir tahun 2022:

Tabel 1: Contoh Pelaporan Kasus Terkait Pasal Kontroversial UU ITE (Data SAFEnet per Nov 2022)

Pasal UU ITE yang DigunakanJumlah Kasus DilaporkanCatatan Signifikan
Pasal 27 ayat (3)209 kasusTerkait pencemaran nama baik
Pasal 28 ayat (2)76 kasusTerkait ujaran kebencian berdasarkan SARA
Total Kasus UU ITE (berbagai pasal)324 kasusMayoritas berasal dari unggahan di media sosial

Sumber: Diolah dari data SAFEnet yang dikutip dalam 18

Data yang lebih baru dari Amnesty International menunjukkan bahwa antara 2019 hingga 2024, setidaknya 560 individu yang mengekspresikan diri mereka dijerat dengan UU ITE, dengan 421 di antaranya divonis bersalah.17 Angka-angka ini menggarisbawahi urgensi untuk terus mengevaluasi dampak nyata dari UU ITE.

Data Pribadi: Komoditas atau Hak Asasi?

Hak atas perlindungan data pribadi adalah hak asasi manusia yang dijamin konstitusi [3, mengutip Pasal 28G ayat (1) UUD 1945]. Namun, di media sosial, hak ini seringkali terancam oleh praktik pengumpulan, penggunaan, dan pembagian data pribadi oleh platform maupun pengguna lain. UU PDP telah meletakkan dasar kewajiban bagi platform untuk memastikan keamanan data, transparansi dalam pemrosesan, dan perolehan persetujuan yang sah dari pengguna.11

Meskipun demikian, kesadaran masyarakat mengenai hak-hak data pribadi mereka dan bagaimana platform media sosial sebenarnya memanfaatkan data tersebut acapkali masih rendah. Pengguna seringkali dihadapkan pada syarat dan ketentuan penggunaan platform yang panjang dan rumit. Akibatnya, persetujuan yang diberikan seringkali bukanlah informed consent yang sesungguhnya.

Menuju Medsos yang Lebih Baik: Sinergi Tiga Pilar

Membenahi ekosistem media sosial di Indonesia memerlukan pendekatan multidimensional yang melibatkan berbagai aktor dan strategi.

Peran Kunci Penegak Hukum

Lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA), memegang peran sentral. Putusan-putusan MK terkait uji materi UU ITE, misalnya, telah memberikan arah baru dalam interpretasi pasal-pasal kontroversial. Sebagai contoh, putusan MK pada April 2025 (sebagaimana dilaporkan) mempertegas bahwa delik pencemaran nama baik dalam UU ITE tidak berlaku untuk pemerintah atau korporasi, melainkan hanya untuk individu, dan merupakan delik aduan absolut.19 MK juga memberikan pemaknaan yang lebih ketat terhadap frasa “suatu hal” dan “tanpa hak” dalam pasal-pasal UU ITE.20 Efektivitasnya sangat bergantung pada konsistensi implementasi oleh aparat penegak hukum. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) atau pedoman bersama 21 dapat membantu, tetapi sosialisasi berkelanjutan tetap menjadi kunci.

Literasi Digital: Bekal Wajib Warganet Cerdas

Regulasi secanggih apapun tidak akan efektif tanpa diimbangi oleh masyarakat yang cakap digital dan sadar hukum.3 Upaya peningkatan literasi digital harus melampaui sekadar kemampuan teknis. Masyarakat perlu dibekali kemampuan berpikir kritis untuk mengidentifikasi disinformasi, memahami risiko siber, melindungi data pribadi, dan berinteraksi secara etis. Lebih dari itu, literasi digital juga harus mencakup pemahaman mengenai hak dan kewajiban hukum di dunia maya.

Langkah Maju Bersama: Rekomendasi Konstruktif

Untuk mewujudkan ekosistem digital yang lebih adil, beberapa langkah konkret perlu dipertimbangkan:

  1. Pemerintah dan DPR: Melanjutkan penyempurnaan UU ITE secara hati-hati dengan partisipasi publik yang bermakna 10, serta mempercepat penerbitan seluruh peraturan pelaksana UU PDP.
  2. Aparat Penegak Hukum: Meningkatkan kapasitas mengenai hukum siber dengan perspektif HAM dan menerapkan putusan MK secara konsisten.
  3. Platform Media Sosial: Meningkatkan transparansi dalam kebijakan moderasi konten dan pengelolaan data, serta proaktif mencegah konten ilegal.
  4. Akademisi dan OMS: Terus melakukan kajian kritis, advokasi, dan edukasi publik.
  5. Sistem Pendidikan: Mengintegrasikan kurikulum literasi digital hukum.

Yang dibutuhkan adalah sebuah peta jalan (roadmap) nasional yang komprehensif dan visioner untuk tata kelola ruang digital, bukan sekadar tambal sulam regulasi.

Medsos Berkeadilan: Mimpi atau Realita di Hari Esok?

Kompleksitas hukum yang melingkupi media sosial di Indonesia menunjukkan bahwa perjalanan menuju ruang digital yang ideal masih panjang. Tantangan dalam implementasi UU ITE dan UU PDP, maraknya konten ilegal, serta dilema antara kebebasan berekspresi dan perlindungan hak individu adalah sebagian dari persoalan yang harus dihadapi secara komprehensif.

Hukum, jika dirancang dengan bijak, partisipatif, dan ditegakkan secara adil, adalah instrumen vital. Ia tidak hanya berfungsi untuk menindak, tetapi juga untuk mencegah, mengedukasi, dan memberdayakan.

Peringatan Hari Media Sosial Indonesia 2025 seyogianya menjadi pengingat bagi kita semua—pemerintah, legislatif, yudikatif, platform media sosial, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan setiap pengguna—untuk bersinergi. Kolaborasi lintas sektor adalah ikhtiar bersama untuk memastikan media sosial benar-benar menjadi sarana yang mencerahkan, mencerdaskan, dan menyejahterakan, sejalan dengan semangat awal peringatannya.

Karya yang dikutip

  1. Hari Media Sosial Diperingati Tiap 10 Juni, Begini Sejarah dan …, diakses Juni 8, 2025, https://www.kompas.tv/lifestyle/414095/hari-media-sosial-diperingati-tiap-10-juni-begini-sejarah-dan-tujuannya?page=all
  2. 10 Juni Diperingati Hari Media Sosial di Indonesia, Ini Sejarah Singkatnya – detikcom, diakses Juni 8, 2025, https://www.detik.com/jatim/berita/d-7381881/10-juni-diperingati-hari-media-sosial-di-indonesia-ini-sejarah-singkatnya
  3. IMPLEMENTASI UU PERLINDUNGAN DATA PRIBADI TERHADAP …, diakses Juni 8, 2025, https://journal.upnvj.ac.id/index.php/esensihukum/article/download/240/114
  4. Urgensi Perlindungan Hukum terhadap Jurnalis dari Risiko Kriminalisasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia – E Journal Undip, diakses Juni 8, 2025, https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jphi/article/download/13547/6840
  5. problematika operasionalisasi delik pasal 27 ayat (3) uu ite dan formulasi hukum perlindungan freedom – Jurnal UNS, diakses Juni 8, 2025, https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/download/52779/34391
  6. Revisi UU ITE Mendesak Dilakukan: Kebebasan Berekspresi Jadi Taruhan! – Komdigi, diakses Juni 8, 2025, https://www.komdigi.go.id/berita/pengumuman/detail/revisi-uu-ite-mendesak-dilakukan-kebebasan-berekspresi-jadi-taruhan
  7. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN UU ITE TERHADAP KEBEBASAN BERPENDAPAT, diakses Juni 8, 2025, https://jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/analisis-dampak-perubahan-uu-ite-terhadap-kebebasan-berpendapat
  8. Pasal Karet UU ITE : Sejoli Pembungkam Kritik – Tempo.co, diakses Juni 8, 2025, https://interaktif.tempo.co/proyek/pasal-karet-uu-ite-sejoli-pembungkam-kritik/index.php
  9. Indonesia: Freedom on the Net 2024 Country Report, diakses Juni 8, 2025, https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-net/2024
  10. REVISI KEDUA UU ITE: MASIH MEMPERTAHANKAN PASAL-PASAL KARET YANG LAMA, MENAMBAH PASAL BARU YANG SANGAT BERBAHAYA, diakses Juni 8, 2025, https://aji.or.id/informasi/revisi-kedua-uu-ite-masih-mempertahankan-pasal-pasal-karet-yang-lama-menambah-pasal-baru
  11. Dilema Media Massa di Era Digital: Antara Perlindungan Data Pribadi dan Kebebasan Pers Dalam UU PDP – Open Journal Systems, diakses Juni 8, 2025, https://ojs.daarulhuda.or.id/index.php/MHI/article/download/1420/1550
  12. perlindungan hukum penyebaran data pribadi anak oleh orang tua – Jurnal Wicarana, diakses Juni 8, 2025, https://ejournal-kumhamdiy.com/wicarana/article/download/66/36/643
  13. Tinjauan Yuridis Tentang Perlindungan Data Pribadi Masyarakat Pada Era Digitalisasi – Journal Of UNIBA, diakses Juni 8, 2025, https://journal.uniba.ac.id/index.php/SH/article/download/1216/805/3115
  14. KEPUTUSAN MENTERI KOMINFO, diakses Juni 8, 2025, https://diskominfo.mentawaikab.go.id/2024/07/keputusan-menteri-kominfo.html
  15. Ancaman Kebebasan Media Sosial Pilkada 2024 – Rumah Pemilu, diakses Juni 8, 2025, https://rumahpemilu.org/ancaman-kebebasan-media-sosial-pilkada-2024/
  16. Waspada! Konten Pornografi Lebih Banyak Disebar di Media Sosial – Pusiknas POLRI, diakses Juni 8, 2025, https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/waspada!_konten_pornografi_lebih_banyak_disebar_di_media_sosial
  17. Indonesia: Trans woman’s prison sentence for ‘insulting’ Jesus must be quashed, diakses Juni 8, 2025, https://www.amnesty.org/en/latest/news/2025/03/indonesia-trans-womans-prison-sentence-for-insulting-jesus-must-be-quashed/
  18. AnAlisis Yuridis sAnksi PidAnA informAsi dAn TrAnsAksi ElEkTronik dAlAm undAng – Jurnal Risalah Kenotariatan, diakses Juni 8, 2025, https://risalah.unram.ac.id/index.php/risalah/article/download/221/152/845
  19. Putusan MK Soal Uji Materi di UU ITE: Mengenal Delik Aduan dalam KUHP – Tempo.co, diakses Juni 8, 2025, https://www.tempo.co/hukum/putusan-mk-soal-uji-materi-di-uu-ite-mengenal-delik-aduan-dalam-kuhp-1304784
  20. MK Mempertegas Pemaknaan Unsur-Unsur Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diakses Juni 8, 2025, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=23133
  21. SEMA Nomor 3 Tahun 2023 – JDIH Mahkamah Agung RI, diakses Juni 8, 2025, https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/sema-nomor-3-tahun-2023/detail
  22. Keputusan Bersama Tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Uu Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (uu Ite) – Mahkamah Agung, diakses Juni 8, 2025, https://www.mahkamahagung.go.id/id/keputusan/4783/keputusan-bersama-tentang-pedoman-implementasi-atas-pasal-tertentu-dalam-uu-tentang-informasi-dan-transaksi-elektronik-uu-ite

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses