Jakarta, LiterasiHukum.com – Pemerintah berencana untuk mereformasi sistem peradilan pidana dengan membatasi akses upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Melalui Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang baru, hanya perkara dengan ancaman pidana di atas lima tahun yang dapat diajukan kasasi. Perkara dengan ancaman lima tahun atau di bawahnya akan diselesaikan di tingkat banding atau Pengadilan Tinggi.
Wakil Menteri Hukum, Edward OS Hiariej, menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi beban perkara yang menumpuk di MA, sekaligus membangun sistem peradilan pidana yang lebih efisien dan komprehensif. “Selama ini, perjalanan perkara dari pengadilan tingkat pertama hingga ke Mahkamah Agung (MA) dapat diibaratkan seperti pipa paralon, padahal seharusnya berbentuk kerucut,” ujar Hiariej dalam diskusi “Peluncuran Studi Pembaharuan KUHAP: Hal-hal Mendasar” di STHI Jentera pada Senin (15/9/2025).
Hiariej menekankan bahwa masyarakat seringkali salah memahami Peninjauan Kembali (PK) sebagai peradilan tingkat keempat, padahal PK merupakan upaya hukum luar biasa yang tidak bisa digunakan sembarangan. Data MA menunjukkan beban perkara terus meningkat, dari 19.408 pada 2021 menjadi 31.138 pada 2024, mengindikasikan urgensi reformasi ini.
RKUHAP juga membawa perubahan fundamental lainnya, termasuk penambahan jenis putusan hakim dan penguatan peran hakim dalam pengawasan upaya paksa. Selain putusan bebas, lepas, dan pidana, RKUHAP memperkenalkan dua jenis putusan baru: putusan berupa tindakan dan pemaafan hakim. Putusan pemaafan hakim, misalnya, tidak dapat diajukan upaya hukum, memberikan batasan baru dalam proses peradilan.
Salah satu inovasi penting dalam RKUHAP adalah penempatan peran hakim sebagai sentral dalam setiap tindakan upaya paksa. Edward Hiariej menyebutkan sembilan macam upaya paksa (termasuk pencegahan ke luar negeri, pemblokiran, penyadapan, penangkapan, dan penyitaan) yang seluruhnya harus mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan.
“Semua upaya paksa harus ada izin dari ketua pengadilan. Ini sebagai suatu upaya preventif jangan sampai kemudian kewenangan yang dimiliki oleh aparat itu disalahgunakan,” tegas Eddy. Dalam keadaan mendesak, upaya paksa dapat dilakukan tanpa izin awal, namun harus dimintakan persetujuan pengadilan dalam waktu dua hari. Jika tidak sah, tindakan tersebut harus dihentikan seketika.
RKUHAP juga memperkuat peran advokat, yang kini dapat mendampingi seseorang sejak tahap penyelidikan, bukan hanya setelah berstatus tersangka, serta berhak mencatatkan keberatan dalam Berita Acara Pemeriksaan.
Pemerintah menargetkan RKUHAP dapat diterapkan mulai 2 Januari 2026, bersamaan dengan pemberlakuan KUHP baru. Sinkronisasi ini krusial karena beberapa ketentuan KUHAP saat ini merujuk pada KUHP lama yang akan tidak berlaku lagi, berpotensi menimbulkan komplikasi hukum.
Pengajar STHI Jentera, Asfinawati, dalam kesempatan yang sama, mengingatkan bahwa norma-norma dalam RKUHAP harus selaras dengan standar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Hal ini mencakup jaminan perlakuan hukum yang adil, persidangan yang tidak memihak, penjatuhan pidana yang proporsional, serta mekanisme akuntabilitas bagi aparat penegak hukum.
Pembahasan RKUHAP masih dinamis, dengan pemerintah terus mengidentifikasi dan menginventarisasi masukan dari berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan partisipasi bermakna dalam proses legislasi.
Sumber Berita: Artikel ini merupakan hasil parafrase dan analisis dari berita yang dilansir oleh Kompas.id pada 15 September 2025.
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini