Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Opini

Dari Tarif ke Tribunal: Menelisik Retaliasi China dalam Perang Dagang Global

Wahyu Hidayat
42
×

Dari Tarif ke Tribunal: Menelisik Retaliasi China dalam Perang Dagang Global

Sebarkan artikel ini
Dari Tarif ke Tribunal: Menelisik Retaliasi China dalam Perang Dagang Global
Dari Tarif ke Tribunal: Menelisik Retaliasi China dalam Perang Dagang Global

Literasi Hukum – Perang dagang antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok sejak tahun 2018 menjadi salah satu konflik ekonomi terbesar abad ke-21. Dimulai dari kebijakan proteksionis yang diterapkan oleh pemerintahan Donald Trump, konflik ini segera meluas menjadi sengketa internasional yang melibatkan bukan hanya dua negara adidaya, tetapi juga menimbulkan efek domino ke berbagai belahan dunia. Retaliasi yang dilakukan China terhadap kebijakan tarif AS tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga strategis dan berdampak luas—baik dari sisi ekonomi, politik, maupun hukum internasional.

Latar Belakang dan Eskalasi Perang Dagang

Pemerintah AS pada tahun 2018 mulai menerapkan tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari China dengan nilai mencapai lebih dari USD 360 miliar. Kebijakan ini didasarkan pada tuduhan bahwa China melakukan praktik perdagangan tidak adil, seperti subsidi besar-besaran terhadap industri dalam negeri, transfer teknologi secara paksa, serta pencurian kekayaan intelektual. Selain itu, defisit perdagangan yang terus meningkat dianggap sebagai indikator ketimpangan dalam hubungan dagang bilateral.

China membalas kebijakan ini dengan mengenakan tarif serupa terhadap barang ekspor dari AS, dengan nilai mencapai sekitar USD 110 miliar. Eskalasi ini menandai awal dari siklus saling balas tarif yang memengaruhi berbagai sektor strategis di kedua negara, menciptakan ketegangan yang belum mereda hingga kini.

Strategi Retaliasi China: Antara Tekanan Ekonomi dan Diplomasi Global

Retaliasi yang dilakukan China dirancang dengan sangat terstruktur dan penuh perhitungan. Dalam aspek tarif, China menyasar produk-produk pertanian seperti kedelai, jagung, dan daging babi—komoditas yang diproduksi di negara bagian AS yang menjadi basis politik penting bagi Presiden Trump. Tujuan strategi ini adalah menciptakan tekanan domestik yang cukup besar agar AS bersedia meninjau ulang kebijakan tarifnya.

Selain instrumen tarif, China juga mengadopsi langkah-langkah non-tarif. Pemerintah memperketat inspeksi dan sertifikasi impor produk asal AS, memperlambat proses kepabeanan, serta memperketat pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di wilayah China. Pendekatan ini lebih lunak dibandingkan tarif, namun tetap efektif dalam menekan kepentingan ekonomi AS.

Tidak hanya itu, China juga menjalankan strategi diversifikasi pasar secara agresif. Mereka memperkuat kerja sama dagang dengan negara-negara berkembang, serta meningkatkan impor komoditas dari Brasil, Rusia, dan kawasan Asia Tenggara. Langkah ini dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS, sekaligus memperkuat posisi tawar China dalam arsitektur perdagangan global.

Dampak Ekonomi dan Politik Global

Dampak dari perang dagang ini sangat luas dan multidimensi. Di Amerika Serikat, para petani merasakan pukulan keras akibat menurunnya permintaan atas produk pertanian mereka. Banyak dari mereka mengalami kerugian besar hingga memerlukan subsidi pertanian dari pemerintah. Sektor manufaktur pun tidak luput dari dampak, di mana kenaikan tarif atas bahan baku dari China meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing produk-produk AS di pasar global.

Di pihak lain, China juga mengalami penurunan ekspor ke AS. Namun, pemerintah China merespons kondisi ini dengan kebijakan stimulus domestik, termasuk memperkuat konsumsi dalam negeri, membangun infrastruktur besar-besaran, dan mendukung transformasi digital industri. Meskipun pertumbuhan ekonomi China sempat melambat, respons yang cepat dan terorganisir berhasil memitigasi sebagian besar dampaknya.

Secara global, perang dagang ini menciptakan ketidakpastian yang memengaruhi nilai tukar, arus investasi asing langsung (FDI), dan harga komoditas. Negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Vietnam, dan Thailand justru mendapat limpahan manfaat, dengan meningkatnya relokasi basis produksi perusahaan dari China dan AS ke negara-negara tersebut.

Ketegangan di WTO dan Krisis Legitimasi Hukum Perdagangan Internasional

Konflik ini tidak hanya berlangsung dalam ranah kebijakan ekonomi, tetapi juga merambah ke arena hukum internasional. Kedua negara mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). AS menuduh China melanggar prinsip perdagangan bebas dan adil, sementara China menganggap tarif AS sebagai tindakan sepihak yang bertentangan dengan ketentuan Pasal XXIII GATT 1994.

Pada 2020, panel WTO dalam putusan awal menyatakan bahwa kebijakan tarif AS terhadap China melanggar aturan WTO. Akan tetapi, AS menolak mematuhi keputusan tersebut dan menyatakan bahwa WTO tidak memiliki yurisdiksi untuk menilai kebijakan ekonomi nasionalnya. Penolakan ini menjadi preseden berbahaya dan mencerminkan krisis otoritas dalam sistem hukum ekonomi internasional.

Lebih jauh, sistem penyelesaian sengketa WTO mengalami stagnasi akibat tidak berfungsinya Badan Banding (Appellate Body), sebagai akibat dari penolakan AS untuk menyetujui penunjukan hakim baru. Akibatnya, mekanisme penyelesaian sengketa menjadi macet dan menimbulkan ketidakpastian hukum global.

Penutup: Reformasi Sistem Perdagangan Global Sebagai Keniscayaan

Retaliasi China dalam perang dagang dengan AS memperlihatkan bahwa konflik perdagangan tidak hanya berkisar pada persoalan tarif atau defisit semata, tetapi juga merupakan bagian dari strategi politik dan diplomasi yang kompleks. China menunjukkan bahwa langkah-langkah balasan dapat dirancang secara sah dan efektif, tanpa harus melanggar prinsip sistem internasional yang berlaku.

Namun, konflik ini juga menjadi cermin kelemahan sistem perdagangan global yang selama ini bergantung pada peran WTO. Ketika dua kekuatan ekonomi utama dunia memilih untuk tidak patuh pada mekanisme hukum internasional, maka legitimasi tatanan hukum itu sendiri menjadi dipertanyakan. Dunia membutuhkan reformasi kelembagaan dalam sistem hukum ekonomi global agar dapat menjawab tantangan baru, serta menjaga keseimbangan antara kebebasan perdagangan dan perlindungan kepentingan nasional.

Perang dagang AS-Tiongkok memberikan pelajaran penting bahwa dalam era keterhubungan global, konflik dua negara besar dapat berimbas pada stabilitas ekonomi dunia. Oleh karena itu, dialog, kompromi, dan pembaruan tata kelola internasional adalah jalan menuju masa depan yang lebih stabil dan adil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses