Literasi Hukum – Teknologi informasi menyumbang krisis iklim. Namun, Indonesia hadapi kekosongan hukum untuk menerapkan Green IT. Pelajari celah regulasi dan solusinya di sini.
Pendahuluan
Teknologi informasi (TI) tidak lagi sekadar pendukung, melainkan telah menjadi tulang punggung kehidupan modern. Namun, di balik kemampuannya mempercepat produktivitas, tersembunyi sebuah biaya lingkungan yang mahal. Pesatnya pertumbuhan TI, sebagaimana diungkapkan dalam penelitian Zuraidah (2022), telah membawa dampak negatif signifikan melalui konsumsi energi yang masif dan peningkatan emisi karbon dioksida (CO₂), yang pada akhirnya berkontribusi pada pemanasan global.
Jejak Karbon Sektor Digital: Ancaman Nyata yang Terus Tumbuh
Sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) kini tercatat sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Sebuah laporan dalam Journal of Cleaner Production menyoroti bahwa kontribusinya meningkat drastis dari hanya 1% pada 2007 menjadi 3,5% pada 2020. Angka ini bahkan diprediksi akan melonjak hingga 14% pada 2040. Secara spesifik, emisi dari perangkat yang kita genggam sehari-hari seperti smartphone telah meroket hingga 730% dalam satu dekade terakhir.
Di Indonesia, tren ini sejalan dengan peningkatan jumlah pengguna internet yang menurut survei APJII telah mencapai 196,7 juta jiwa pada 2020. Ketergantungan masif ini, jika tidak dikelola dengan kerangka kebijakan yang bijak, hanya akan memperparah krisis lingkungan yang sudah di depan mata.
Green IT sebagai Jawaban: Konsep Teknologi Berkelanjutan
Sebagai respons terhadap tantangan tersebut, lahirlah konsep Green IT atau Green Computing. Ini adalah sebuah pendekatan yang mendorong pemanfaatan teknologi secara lebih efisien, hemat energi, dan ramah lingkungan. Praktiknya mencakup efisiensi daya pada pusat data (data center), digitalisasi proses kerja untuk mengurangi penggunaan kertas, hingga pengadaan perangkat rendah emisi. Di tingkat nasional, Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) sejatinya telah merespons isu ini melalui Surat Edaran No. 01/SE/M.KOMINFO/4/2012, yang bersifat imbauan.
Sinergi Green IT dan CER: Lebih dari Sekadar Teknologi, Ini Soal Komitmen
Implementasi Green IT tidak akan efektif jika hanya dipandang sebagai proyek teknis. Ia harus menjadi bagian dari komitmen organisasi yang lebih luas, yang dikenal sebagai Corporate Environmental Responsibility (CER). CER adalah cerminan tanggung jawab perusahaan untuk memastikan seluruh operasional bisnisnya mendukung pelestarian lingkungan. Ketika Green IT diintegrasikan ke dalam strategi CER, ia berubah dari sekadar inisiatif menjadi bagian dari visi dan misi keberlanjutan jangka panjang sebuah organisasi.
Tuntutan Kepatuhan: Peran Regulasi Lingkungan dalam Mendorong Green IT
Di tingkat global, penerapan Green IT sangat erat kaitannya dengan tuntutan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan yang ketat. Kebijakan seperti EU Green Deal dan standar internasional seperti ISO 14001 menjadi acuan bagi perusahaan untuk membangun sistem manajemen lingkungan yang kredibel. Organisasi yang gagal mematuhi standar ini tidak hanya berisiko menghadapi sanksi hukum, tetapi juga kehilangan kepercayaan publik dan daya saing di pasar.
Beberapa negara, seperti Jerman dengan “Green Digital Charter”-nya dan Swedia dengan pajak karbon untuk data center, telah membuktikan bahwa kerangka hukum yang kuat adalah kunci untuk mendorong transformasi teknologi yang berkelanjutan.
Kekosongan Hukum di Indonesia: Celah Regulasi yang Menghambat Aksi
Di sinilah letak tantangan terbesar bagi Indonesia. Meskipun kesadaran akan pentingnya Green IT mulai tumbuh, kita menghadapi kekosongan hukum yang signifikan pada aspek teknis pelaksanaannya. Surat edaran yang ada saat ini hanya bersifat imbauan, tanpa kekuatan hukum yang mengikat untuk mendorong adopsi secara luas.
Ketiadaan panduan ini menciptakan hambatan nyata. Bayangkan, hingga saat ini Indonesia belum memiliki standar nasional yang mengikat untuk efisiensi energi perangkat TI. Belum ada pula regulasi spesifik mengenai kewajiban audit emisi karbon dari pusat data, panduan teknis yang jelas untuk pengelolaan limbah elektronik (e-waste), hingga skema insentif fiskal atau sanksi yang bisa mendorong perusahaan beralih ke praktik teknologi hijau.
Kondisi ini membuat banyak organisasi, terutama di sektor publik dan UMKM digital, kebingungan karena tidak memiliki referensi kebijakan yang dapat diandalkan untuk mengukur, melaporkan, dan mengoptimalkan inisiatif Green IT mereka.
Mendesak: Perlunya Kerangka Hukum Green IT yang Komprehensif
Mengatasi kesenjangan ini memerlukan pendekatan strategis yang menyatukan pemerintah dan industri. Pemerintah perlu segera merumuskan regulasi teknis yang operasional dan mengikat, sehingga Green IT menjadi kebijakan publik yang terukur, bukan sekadar jargon. Di sisi lain, pelaku industri juga harus proaktif menyelaraskan praktik digital mereka dengan prinsip keberlanjutan dan kepatuhan hukum (legal compliance).
Penutup: Menata Masa Depan Digital yang Hijau dan Legal
Ke depan, tolok ukur kemajuan teknologi sebuah bangsa tidak lagi hanya dinilai dari kecanggihannya, tetapi juga dari tanggung jawabnya terhadap lingkungan. Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin implementasi Green IT di Asia Tenggara, namun itu hanya bisa terwujud jika kita mampu membangun kebijakan yang tegas dan terarah. Kini adalah saatnya bagi semua pemangku kepentingan untuk bergerak bersama menata masa depan digital yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bersih, berkelanjutan, dan patuh pada hukum.